Temui Direktur PD Pontren Kemenag, Abiya Anwar Sampaikan 4 Persoalan yang Dihadapi Dayah Aceh
Theacehpost.com | JAKARTA – Pimpinan Umum Pesantren Darul Munawwarah Pidie Jaya, Abiya Tgk H Anwar Usman, beraudiensi dengan Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kementerian Agama RI, Dr H Waryono Abdul Ghafur MPd.
Pertemuan yang berlangsung di Kantor Kemenag RI, Jakarta pada Kamis, 29 Juli 2022 itu membahas persoalan penting yang dihadapi pesantren-pesantren di Aceh.
Pertama, Abiya Anwar menyampaikan kepada Direktur PD Pontren terkait penyaluran bantuan pemerintah pusat yang masih melalui bank konvensional.
Abiya Anwar mengatakan, sejak berlakunya Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS), proses konversi dari bank konvensional ke syariah yang tidak matang itu telah meninggalkan berbagai dampak dan persoalan yang belum ditangani dengan baik oleh para stakeholder terkait.
Seperti bantuan Kemenag RI melalui Program Indonesia Pintar (PIP), yang saat ini pencairannya masih dilakukan lewat bank konvensional.
Sementara saat ini tak ada lagi bank konvensional yang beroperasi di Aceh, sehingga kemudian mengakibatkan tidak adanya akses bagi masyarakat Aceh untuk dapat mencairkan bantuan.
“Saya harap agar Kemenag dapat mengeluarkan kebijakan khusus untuk Aceh, sebagai solusi atas persoalan tersebut. Apakah kebijakan itu berupa penyaluran via BSI atau solusi alternatif lainnya,” pintanya.
Kemudian soal beasiswa bagi guru-guru Ma’had Aly. Abiya Anwar juga menyinggung terkait kesungguhan komitmen pemerintah untuk mewujudkan Ma’had Aly yang setara dan semartabat, dengan lembaga pendidikan tinggi keagamaan lainnya.
Menurutnya, komitmen ini bisa diimplementasikan salah satunya lewat peningkatan SDM guru-guru Ma’had Aly melalui penyediaan dana beasiswa.
Dia menilai, hal tersebut cukup beralasan mengingat posisi Ma’had Aly memiliki legalitas yang yang sangat kuat dan menjadi bagian di sistem pendidikan nasional, sebagaimana secara jelas nomenklatur Ma’had Aly telah disebutkan dalam dua UU, yakni UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
“Kedua undang-undang ini telah diturunkan ke dalam sejumlah regulasi turunannya di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pendidikan Tinggi Keagamaan dan Peraturan Menteri Agama Nomor 32 Tahun 2020,” sebutnya.
Persoalan lainnya yakni tentang akselerasi pengembangan Ma’had Aly. Abiya meminta Kemenag RI bisa mempercepat akselerasi pengembangan Mahad Aly, baik yang berkaitan dengan regulasi, kompetensi, afirmasi, serta penjaminan mutu kelembagaan.
“Kami mohon kepada direktur dengan tim resmi Kemenag yang telah dibentuk bisa membantu mempercepat hal tersebut,” sebutnya.
Terakhir mengenai rekognisi syahadah pesantren salafiyah non mu’adalah.
Abiya Anwar juga meminta Kemenag mengakui ijazah pesantren salafiyah yang tidak menerapkan satuan pendidikan muadalah (sistem pendidikan formal yang diselenggarakan pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah islamiah dengan pola pendidikan muallimin secara berjenjang dan terstruktur).
“Syahadah pesantren salafiyah juga membutuhkan rekognisi yang mesti diatur lewat regulasi turunan. Sebab UU Pesantren secara jelas telah memberikan jaminan terhadap keberadaan pesantren secara umum tanpa membeda-bedakan sistem pendidikan yang dijalankannya,” pungkasnya. []