Telaah Eskalasi Konflik di Pilkada Aceh 2024, dari Visualisasi IKP, Parlok hingga Netralitas Aparat
THEACEHPOST.COM | Banda Aceh – Pernyataan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Agus Subiyanto yang menyebut Aceh sebagai salah satu provinsi potensial terjadi konflik besar karena eksistensi partai lokal (Parlok) menimbulkan kesangsian publik.
Jenderal Agus Subiyanto dalam rapat bersama Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis (21/3/2024) kemarin menyatakan bahwa Aceh merupakan salah satu provinsi dengan indeks kerawanan tinggi pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 mendatang.
“Aceh memiliki potensi konflik besar karena di provinsi tersebut terdapat Parlok yang disinyalir menjadi wadah aspirasi bekas kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sehingga diperkirakan bisa memicu konflik kepentingan antara bekas kombatan dan non kombatan,” ujar Jenderal Agus Subiyanto.
Panglima TNI itu juga mencermati upaya menarik perhatian massa di Aceh dengan pengibaran Bendera Bulan Bintang yang disebut identik dengan GAM.
Sehingga deteksi dini terhadap kerawanan Pilkada di tanah Serambi Mekkah perlu diantisipasi sejak dini guna meminimalisir resiko provokasi yang bisa menyebabkan terjadinya konflik horizontal di tengah masyarakat.
Selain itu, Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI juga telah memetakan 15 daftar provinsi dengan tingkat indeks kerawanan tinggi pada Pilkada serentak 2024.
Lima belas provinsi yang dimaksud adalah Aceh, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara.
Kemudian, 6 provinsi di Pulau Papua, yakni Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Tengah.
Visualisasi IKP Aceh 2024 Versi Bawaslu
Melansir sajian data Sistem Informasi Peta Kerawanan Pemilu Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), indeks kerawanan Pemilu (IKP) di Aceh tahun 2024 berada dalam kategori sedang atau berada di skor 38,06. Skor IKP Aceh tahun 2024 secara keseluruhan tidak terlalu tinggi (masih di bawah rata-rata nasional) yang berada di angka 45,10.
Dilihat secara rinci, skor IKP Aceh untuk dimensi sosial-politik berada di angka 51,56. Skor untuk dimensi ini berada di atas rata-rata nasional yang berada di angka 46,55.
Artinya pelanggaran seperti penggelembungan suara, ketidaknetralan ASN/TNI/Polri, malpraktek atau manipulasi penggunaan hak pilih warga negara, fenomenanya masih tinggi di Aceh.
Sementara skor IKP Aceh untuk dimensi penyelenggara Pemilu berada di angka 63,52. Skor untuk dimensi ini berada di atas rata-rata nasional yang berada di angka 54,27.
Dalam artian fenomena seperti pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU), komplain para saksi, ajudikasi atau keberatan atas hasil penghitungan suara juga masih tinggi di Aceh.
Sedangkan skor IKP Aceh untuk dimensi kontestasi dan dimensi partisipasi berada di angka 0.
Artinya fenomena seperti materi kampanye bermuatan SARA, kampanye hoaks, ujaran kebencian, upaya untuk menghalang-halangi pemilih memberikan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS), upaya untuk memobilisasi pemilih tambahan secara mendadak untuk kepentingan peserta Pemilu, tidak terjadi di Aceh.
Dengan mencermati IKP Aceh 2024 versi Bawaslu, maka secara keseluruhan indeks kerawanan Pemilu Aceh hanya terjadi pada dua dimensi yakni sosial-politik dan penyelenggara Pemilu, sementara untuk dimensi kontestasi dan partisipasi tidak ada.
Parlok, Peneguh Demokrasi
Partai Aceh selaku salah satu wujud dari partai lokal di Aceh menanggapi sinis pernyataan Panglima TNI Agus Subiyanto yang menyebut Pilkada Aceh 2024 berpotensi konflik karena keberadaan partai lokal.
Juru Bicara Partai Aceh, Nurzahri menegaskan bahwa pernyataan Panglima TNI terkesan sangat tendensius terhadap permasalahan hukum dan dinamika politik di Aceh.
Nurzahri menegaskan, para mantan kombatan GAM telah ikhlas menerima perdamaian MoU Helsinki dan mewujudkan kesejahteraan Aceh di bawah NKRI.
Komitmen tersebut, kata dia, sudah ditunjukkan semenjak Pilkada Aceh 2006, dimana proses Pilkada berjalan dengan lancar walaupun ada kandidat pesaing lain dari Partai Nasional (Parnas).
“Meskipun Partai Aceh kalah pada Pemilu 2019, kami tetap menerima hasil tersebut setelah menempuh cara-cara yang dibenarkan oleh konstitusi. Seharusnya kondisi ini bisa membuktikan bahwa periode 15 tahun Partai Aceh berpartisipasi dalam kepemiluan di Indonesia telah menunjukkan bagaimana ketaatan kami terhadap konstitusi,” ujar Nurzahri dalam siaran pers resmi Partai Aceh, Jumat (22/3/2024).
Nurzahri melanjutkan, sejarah Pilkada dan Pemilu di Aceh telah menunjukkan bagaimana kontribusi mantan kombatan GAM dalam berpolitik sehingga kontestasi Pemilu dan Pilkada berjalan secara aman dan kondusif.
Kontestasi Pilkada dan Pemilu di Aceh menurut Nurzahri jauh lebih aman jika dibandingkan dengan pelaksanaan Pilkada atau Pemilu di daerah lain yang ada di Indonesia.
“Seharusnya Panglima TNI adil dalam melihat seluruh partai yang ada di Indonesia, baik lokal maupun nasional, karena keduanya dilindungi oleh konstitusi dan aturan yang sah di negeri ini,” tuturnya.
Tak Ada Konflik Meski Pilkada Digeser
Mantan Juru Runding GAM, Teuku Kamaruzzaman menyatakan, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto telah salah kaprah menilai keberadaan mantan kombatan GAM yang berpolitik melalui partai lokal.
Pria yang akrab disapa Ampon Man itu meyakini bahwa potensi konflik sebagaimana yang dikhawatirkan Panglima TNI tidak akan mungkin terjadi di Aceh.
Ampon Man bahkan meminta Panglima TNI untuk merefleksi bagaimana terbukanya masyarakat Aceh menerima pergeseran pelaksanaan Pilkada Aceh tahun 2022 menjadi diadakan serentak pada tahun 2024.
“Aceh sebenarnya Pilkada di tahun 2022. Tapi karena agenda nasional yang ingin Pilkada dilaksanakan di tahun 2024, ternyata tidak ada konflik yang terjadi, ternyata bisa diterima juga oleh seluruh masyarakat Aceh. Padahal ini sudah menjadi pelanggaran konstitusi karena amanat UU Pemerintah Aceh menyebut Pilkada dilaksanakan selama lima tahun sekali,” jelas Ampon Man, Banda Aceh, Sabtu (23/3/2024).
Sementara itu, Ampon Man juga meminta Panglima TNI untuk tidak menggeneralisir eksistensi partai lokal sebagai tempat berkumpulnya mantan kombatan GAM. Karena, kata dia, ada juga para mantan kombatan yang berpolitik melalui partai nasional.
“Sebenarnya kita kurang paham parameter apa yang beliau (Panglima TNI) gunakan saat menyampaikan statement itu. Pernyataan Panglima TNI sangat tidak relevan dengan beberapa kontestasi Pilkada yang sudah Aceh lalui,” ungkapnya.
Bukan Parlok, Tapi Netralitas
Peneliti Senior Badan Riset Aceh Institute (BRAIN), Dr Fajran Zain menyayangkan statement yang dilontarkan Panglima TNI Agus Subiyanto. Fajran menyebut Panglima TNI terlalu menghakimi eksistensi partai lokal di Aceh.
Menurut Fajran, ancaman terhadap keamanan dan stabilitas politik bukan disebabkan oleh partai lokal, melainkan disebabkan oleh ketidaknetralan aparatur negara yang ikut cawe-cawe dalam gelaran Pilkada Aceh mendatang.
“Jangan salah alamat mendefinisikan ancaman perdamaian dan stabilitas politik di Aceh. Justru yang menjadi ancaman sesungguhnya adalah sikap cawe-cawe aparatur negara, yang memanfaatkan fasilitas negara, yang mengerahkan institusi, yang mendikte aparat untuk tidak netral. Inilah ancaman sesungguhnya, bukan partai lokal,” ujar Fajran, Banda Aceh, Sabtu (23/3/2024). (Akhyar)