Tastafi Banda Aceh DKK Adakan Kajian Aktual di Hotel Kyriad, Bahas Soal Zakat, Pajak dan Pembajak

Tastafi Banda Aceh, ISAD Acehdan HIPSI Aceh mengadakan Kajian Aktual Tastafi di Hotel Kyriad Muraya membahas soal zakat, pajak dan pembajak. [Foto: Istimewa]

THEACEHPOST.COM | Banda Aceh – Tastafi Banda Aceh, DPP ISAD Aceh dan HIPSI Aceh melaksanakan Kajian Aktual Tastafi di Kyriad Muraya Hotel Aceh dengan tema ‘Ketimpangan Zakat, Pajak dan Pembajak’, Jumat (19/7/2024).

banner 72x960

Kajian ini menghadirkan narasumber Pemerhati Pemerintahan Aceh, Syakya Meirizal, Ketua Tastafi Banda Aceh, Tgk Umar Rafsanjani, dan Ketua DPP ISAD Aceh, Tgk Mustafa Husen Woyla.

Pemerhati Pemerintahan Aceh, Syakya Meirizal, menyampaikan bahwa pelaksanaan pengelolaan zakat di Aceh sudah terdapat di dalam kewenangan Aceh melalui  Qanun No. 10/2007.

Ia mengatakan, dalam perjalanannya pengelolaan zakat telah banyak persoalan dari sudut regulasi dan format memasukkan penggunaan zakat sebagai faktor pengurangan pajak penghasilan di Aceh.

“Kenapa sorotan ini menjadi sangat penting? Karena lembaga Baitul Mal saya lihat belum berkontribusi signifikan dalam mensejahterakan rakyat Aceh. Seharusnya Baitul Mal dapat menjadi contoh dan prototype  bagi pengelolaan zakat. Ini perlu peran kita sebagai masyarakat untuk melakukan pengawasan dan pemantauan,” ujar Syakya Meirizal.

Misalnya, kata dia, dalam hal penempatan Kepala Sekretariat Baitul Mal yang tidak memperhatikan aspek ketentuan atau kualifikasi khusus yang memahami tentang perzakatan, padahal seharusnya seorang Kepala Sekretariat Baitul Mal itu memiliki kemampuan yang istimewa dan mentalitas melayani umat, tidak terjebak dengan hal-hal yang berbau proyek.

“Inilah yang kita identifikasi sebagai pembajak dana umat di Baitul Mal. Inilah yang sangat kita sesalkan, terjadi conflict of interested. Misalnya kondisi kebutuhan masyarakat dalam pembuatan rumah dhuafa dari penyaluran dana zakat. Namun dimasukkan melalui Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim). Inilah yang sangat kita sesalkan, secara operasional dalam hal pengelolaan Baitul Mal banyak persoalan yang terus menumpuk,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Tastafi Banda Aceh, Tgk Umar Rafsanjani Lc MA mengatakan, pengelolaan Baitul Mal yang sebenarnya adalah bagian penting dari pengelolaan negara di dalam Islam, karena itu mempengaruhi proses penyelenggaraan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dalam hal ini dibebankan membayar pajak melalui Baitul Mal.

“Di sinilah yang menjadi masalahnya bagi kita hari ini, karena zakat adalah kewajiban agama yang memiliki tanggung jawab agama, dalam ketetapannya ini jika tidak dilaksanakan maka berhubungan dengan dosa dan pahala di sisi Allah Swt,” ujar Tgk Umar.

“Sementara pajak merupakan suatu balasan dari kebaikan layanan yang diberikan negara kepada masyarakat yang mendapat penghasilan dari aktivitas usaha mereka, yang bisa saja diakali untuk terhindar dari kewajiban pajak ini terhadap negara,” tambahnya.

Di sisi lain, Ketua DPP Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh, Tgk Mustafa Husen Woyla mengatakan, Baitul Mal selama ini agak ketat dalam menjalankan prosedurnya sehingga menjadi  kerumitan.

“Semestinya peran lembaga harusnya memberikan akses kemudahan,” ujar Tgk Mustafa.

Terlebih lagi, kata dia, terdapat aktivis yang dikenal telah membangun rumah dhuafa bagi masyarakat yang jumlahnya ratusan, ada komunitas juga yang melakukan hal serupa.

“Ini yang perlu diingatkan kepada Baitul Mal, jangan sampai isu masyarakat mengenai kemiskinan dikalahkan oleh aktivis dan lembaga filantropi tadi, sehingga Baitul Mal tidak kalah dari yang lain. Maka kita perlu mengingatkan kepada Baitul Mal untuk berjibaku, berkolaborasi dengan DPR dan pemerintah untuk fokus pada prinsip-prinsip yang telah dirumuskan dalam pembahasan agama,” ungkapnya.

Selain itu, Ustadz Muzakir Hamka yang merespons kajian tastafi ini mengatakan, dinamika yang dialami oleh Baitul Mal Banda Aceh dirasa sekali suasana politiknya yang dalam hal pengambilan keputusan diharuskan berkonsultasi dengan DPRK.

“Rasanya Baitul Mal Provinsi juga sama, misalnya dalam hal Amil ditentukan oleh Surat Keputusan (SK) Walikota. Ini yang saya rasakan seperti mustahik juga,” sebutnya.

Kemudian, kata dia, ada juga dinamika lain bahwa dalam hal penyaluran, ada yang memanfaatkan dan tidak jujur bagi sebagian yang datang ke Baitul Mal. Ada yang motif menjadi korban penipuan untuk mendapatkan bantuan dari Baitul Mal dari program “Bagah” untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.

“Ada juga masyarakat yang merasa malu untuk meminta kebutuhan demi menjaga marwahnya. Ada kasus yang kita temui, mereka tidak makan karena diputuskan hubungan kerja (PHK). Nah ini juga perlu dipikirkan bagaimana mengidentifikasi kelayakan bagi mustahik. Ini butuh peran Baitul Mal Gampong untuk dapat memastikan warganya berhak dalam pengelolaan zakat,”  pungkasnya. (Akhyar)

Baca berita The Aceh Post lainnya di Google News

Komentar Facebook