Surat Menpan RB, ASN Aceh Diminta Bernyanyi
ADA cerita sedikit geli terkait Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Waktu itu sesuai dengan Keppres Megawati Nomor 28/2003 Tentang Darurat Militer di Provinsi NAD, mulai Senin, 19 Mei 2002, pukul 00.00 WIB seluruh wilayah Aceh diberlakukan darurat militer. Operasi militer yang menegangkan di seluruh wilayah Aceh itu berakhir 2004 bersamaan dengan tumpah ruahnya air laut ke daratan yang dikenal dengan bencana tsunami.
Operasi militer ini diberlakukan Megawati yang beberapa waktu sebelumnya telah dianugerah gelar Cut Nyak untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang saat itu disebut menolak tiga syarat yang diajukan pemerintah dalam perundingan di Tokyo, Jepang.
Dari berbagai sumber, ketiga syarat tersebut yakni menerima otonomi khusus, menyelesaikan Aceh dalam kerangka NKRI, dan meletakkan senjata. Operasi militer Indonesia di Aceh ini disebut operasi terpadu oleh Pemerintah Indonesia.
Di masa darurat militer ini razia dilakukan di berbagai tempat dan kesempatan. Mulai dari jalan raya sampai pelosok desa.
Ketika itu salah satu sanksi yang diberikan prajurit TNI adalah meminta masyarakat Aceh yang terjaring razia menyanyikan lagu Indonesia Raya atau membacakan teks Pancasila. Karena orang Aceh tidak pandai menyanyi, rata-rata masyarakat tidak mampu memenuhi permintaan prajurit TNI. Sebagai gantinya kadang minta pus up. Kadang dibentak atau dibelalak.
Ternyata ini salah satu perbedaan orang Aceh dengan orang Batak. Kalau orang Aceh ada satu dua yang pandai nyanyi, maka orang Batak rata-rata suka dan pandai bernyanyi. Maka ada anekdot lucu terkait saudara Batak kita: Kalau lagi sendiri mereka bernyanyi, dan seterusnya….
Ketika itu ada prajurit TNI yang menjadi Pejabat Darurat Militer di Banda Aceh. Namanya Soni. Nama lengkap dan pangkatnya saya tidak tahu. Tapi nama Pak Soni ketika itu begitu terkenal di sekitaran Banda Aceh dan Aceh Besar. Terutama di kalangan aktivis pemuda dan mahasiswa.
Suatu hari Pak Soni melakukan pertemuan dengan anggota DPR Kota Banda Aceh. Dengan otoritas dan kepercayaan diri yang dimilikinya sebagai pejabat darurat militer, Soni berbicara penuh energi di depan anggota DPR Kota Banda Aceh yang dikumpulkannya di gedung dewan itu.
Semua anggota dewan kalau biasanya garang di gedung itu, di depan Pak Soni semua kuyu layu seperti daun kangkung ditumis. Dengan bahasa yang jelas dan retorika ala tentara Pak Soni menceramahi anggota dewan itu tentang nasionalisme Indonesia. Anggota dewan pun khusyuk mendengarnya melebihi khusyuk mendengar khutbah Jumat.
Tiba-tiba agenda menegangkan terjadi. Ketegangan nyaris seperti saat seseorang dijemput malam hari di masa darurat militer. Satu per satu anggota dewan diminta maju ke depan. Berdiri sempurna di sampingnya.
Kepada anggota dewan itu dimintanya menyanyikan lagu Indonesia Raya. Rata-rata tidak mampu melaksanakan perintah Soni. Ada yang tidak bisa sama sekali. Ada yang mampu melafalkan beberapa bait lalu meucawoe. Semuanya berkeringat dingin. Keringat mereka seperti baru mencangkul di sawah.
Ternyata sekalipun pejabat darurarat militer yang umumnya dikenal “ganas” ketika itu, ternyata Soni punya hati nurani. Terlihat dia kasihan terhadap penderitaan beberapa anggota dewan yang tidak mampu menyanyikan Indonesia Raya saat diperintahkan. Alih-alih marah, seketika Pak Soni pun pecah ketawanya. Mungkin dia merasa sangat lucu. Suasana tegang di ruang dewan itu pun mencair. Lalu dilanjutkan dengan minum kopi yang disediakan Sekwan.
Barangkali Soni, sejumlah pejabat TNI dari luar Aceh, bahkan sementara pejabat Jakarta salah mendiagnosa. Ketika nasionalisme orang Aceh hanya diukur dengan kemampuan bernyanyi, maka kesimpulan itu, seperti dokter yang salah kasih resep obat.
Orang Aceh rata-rata memang tidak pandai menyanyi, maka jangan ukur nasionalisme orang Aceh dari item itu. Banyak item lainnya sebagai indikator nasionalisme rakyat kepada bangsa dan negaranya.
Apakah nyawa-nyawa orang Aceh yang terpisah dari tubuhnya di Palagan Medan Area mempertahankan kemerdekaan negara ini bukan wujud nasionalisme. Apakah ketika Soekarno butuh pesawat lalu orang Aceh menyumbangnya bukan nasionalisme. Apakah minyak dan gas bumi disedot dari berat tanah Aceh untuk kepentingan negara, sedang di saat bersamaan banyak orang Aceh yang miskin dan tidak protes, itu bukan nasionalisme.
Jadi nasionalisme itu bukan soal menyanyi saja. Nasionalisme itu ada di hati, di mulut dan diaplikasikan dalam tindakan patriotik.
Cerita terkait lagu Indonesia Raya di atas kembali terbayang seiring diterbitkannya Surat Menpan RB Nomor B/85/M.KT.00/2021 tanggal 14 Juni 2021 Perihal Himbauan Pelaksanaan Apel Pagi bagi ASN.
Surat itu diterbitkan dalam rangka memelihara dan meningkatkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air, pengabdian terhadap NKRI serta ketaatan terhadap ideologi Pancasila dan UUD 1945 bagi ASN.
Salah satu tindak lanjut dari surat ini agar setiap kantor pemerintah memperdengarkan lagu Indonesia kepada ASN dan tenaga kontrak setiap hari Selasa dan Kamis pukul 10.00 WIB. Tentu kita yakin ini bukan perkara berat bagi ASN, apalagi sampai keluar keringat dingin. Saat lagu diputar ASN diminta berdiri dan bersikap sempurna penuh konsentrasi.
Dalam konteks merawat nasionalisme kebijakan ini kita sepakati dan apresiasi. Karena bagi sebuah bangsa, lagu kebangsaan itu ibarat vitamin dan ekstra puding untuk meningkatkan dayah tahan tubuh nasionalisme sebuah bangsa.
Memang ada masyarakat Indonesia, termasuk ASN, yang tidak cakap menyanyikan Indonesia Raya. Tetap ada. Coba akses sejumlah video di YouTube, sangat banyak anak-anak bangsa ini yang mampu melakukan yang satu ini. Tapi sekali lagi ya: Jangan vonis mereka tidak memiliki nasionalisme.
Di kalangan orang Aceh memang masih sedikit berprofesi penyanyi. Masih dapat dihitung dengan jari. Beda dengan orang Jawa, Batak, Padang dan beberapa suku lainnya.
Siapa tahu dengan kebijakan setiap Selasa-Kamis ini, selera menyanyi orang Aceh akan muncul. Sesuai dengan kearifan lokal kita nanti genre lagu di Aceh mungkin kasidah saja. []