Suara Ulama di Tengah Pandemi
HINGGA kini negeri tercinta masih terus bergumul dengan makhluk Tuhan yang tak kasat mata, yakni virus corona (Covid-19). Sampai hari ini, penyebaran dan penularannya cenderung naik signifikan.
Kondisi krusial seperti sekarang, mendorong kita untuk mengubah paradigma berpikir dalam menyikapi permasalahan ini. Bukan saatnya lagi mengedepankan egoisme dan apatis terhadap orang lain.
Sudah waktunya kita bahu-membahu, memutus rantai penyebaran dan menekan luapan korban jiwa akibat malapetaka ini.
Dalam ranah ritual keagamaan, fatwa-fatwa telah dikeluarkan oleh ormas Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan juga organisasi keagamaan atas nama Indonesia, yakni Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kebijakan dan fatwa yang diberikan memiliki tujuan agar masyarakat Indonesia dapat menerapkan social distancing dan mengisolasi diri, sehingga diperintahkan untuk menghindari peribadatan yang bersifat berjamaah di tempat umum agar rantai penyebaran virus tersebut dapat dihentikan.
Dalam Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi wabah Covid-19 terdapat pertimbangan-pertimbangan diterbitkannya fatwa dan pemaparan landasan nilai yang diambil dari Alquran, Hadis, Kaidah Fikih, dan pendapat para ulama.
Adapun poin-poin penting dalam fatwa yang diterbitkan adalah:
1. Setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang dapat menyebabkan terpapar penyakit, karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat alKhams).
2. Orang yang telah terpapar virus corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat zuhur, karena shalat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal.
Baginya haram melakukan aktivitas ibadah sunah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.
3. Orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar Covid-19, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat Zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya.
b. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar Covid-19, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.
4. Dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat Zuhur di tempat masing-masing.
Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.
5. Dalam kondisi penyebaran Covid-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jumat dan boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim dengan tetap menjaga diri agar tidak terpapar Covid-19.
6. Pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam menetapkan kebijakan penanggulangan Covid-19 terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam wajib menaatinya.
7. Pengurusan jenazah (tajhiz al-janaiz) yang terpapar Covid-19, terutama dalam memandikan dan mengafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat.
Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar Covid-19.
8. Tindakan yang menimbulkan kepanikan dan/atau menyebabkan kerugian publik, seperti memborong dan/atau menimbun bahan kebutuhan pokok serta masker dan menyebarkan informasi hoax terkait Covid-19 hukumnya haram.
9. Umat Islam agar semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan memperbanyak ibadah, taubat, istighfar, dzikir, membaca Qunut Nazilah di setiap shalat fardhu, memperbanyak shalawat, sedekah, serta senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar diberikan perlindungan dan keselamatan dari musibah dan marabahaya (daf’u al-bala’), khususnya dari wabah Covid-19.
Melihat kondisi negeri yang tengah berjibaku mengatasi pandemi, Wakil Ketua Umum MUI, Buya Anwar Abbas mengajak umat Islam di Indonesia yang berada di zona merah Covid-19 mengganti shalat Jumat dengan shalat Zuhur di rumah.
Seruan Buya Anwar ini sejalan dengan kebijakan pemerintah di beberapa daerah zona merah Covid-19. Seruan itu juga sejalan dengan fatwa-fatwa MUI khususnya terkait Covid-19.
Selain shalat Jumat di zona merah, dia juga mengajak shalat berjamaah di masjid atau mushala untuk sementara waktu dilaksanakan di rumah.
“Berdasarkan fatwa-fatwa yang dikeluarkan, MUI meminta masyarakat tidak melaksanakan shalat Jumat dan shalat berjamaah di daerah terkategori zona merah,” ujarnya di Jakarta, Jumat, 25 Juni 2021.
Dia mengatakan, zona merah adalah daerah yang masuk kategori penyebaran Covid-19 masif bahkan tidak terkendali.
Beberapa daerah belakangan ini mulai masuk zona merah seiring dengan melonjaknya peningkatan pasien Covid-19.
Dia menyampaikan, ajakan untuk sementara waktu tidak melaksanakan shalat berjamaah di luar rumah ini sejalan dengan Alquran dan Hadis. Inti ajaran agama Islam juga mewajibkan umatnya menjaga diri, orang lain, dan keluarga dari segala bentuk hal yang membinasakan.
“Umat Islam tidak boleh melangsungkan kegiatan yang mencelakai diri sendiri dan orang lain. Saat ini banyak sekali orang yang statusnya tanpa gejala (OTG), secara fisik sehat, namun di dalam dirinya terpapar Covid-19. Akan sangat berbahaya apabila ada yang berkontak dengan OTG karena memungkinkan terpapar,” ujarnya.
Sabar, Ini Ujian, Terapkanlah Prokes
Pada masa pandemi seperti saat ini, hampir seluruh warga dunia, termasuk di Indonesia diuji Allah SWT. Apalagi dengan kembali meningkatnya lagi kasus Covid-19 baru-baru ini. Seringkali, banyak manusia yang merasa putus asa dalam menghadapi ujian yang diberikan Allah.
Menurut anggota Komisi Dakwah dan Ukhuwah MUI, Ustazah Hj. Ruskha Nurur Ru’fah, ujian ini merupakan sebuah proses kita menuju kesempurnaan, layaknya gesekan yang dilakukan pada permata agar permata itu bisa menjadi permata yang indah.
Sebab itu kita seharusnya bersyukur ketika diberikan ujian, apalagi Allah menjanjikan sesuatu yang setimpal bagi kita yang selalu bersabar dalam menghadapi ujian dari-Nya.
“Cobaan atau ujian yang menimpa kita tentu sudah diatur Allah SWT. Jika kita bersabar, Allah SWT akan melipatkan pahala dan membantu menyelesaikan semua cobaan dan ujian yang dihadapi oleh umatnya dengan cara berdoa, bersabar, berusaha, dan bertawakal,” ujar Ustazah Ruskha sebagaimana dikutip dari Program Kata Ulama di TV MUI, Jumat, 25 Juni 2021.
Dia mengutip sabda Rasulullah SAW bahwa tidak ada seorang muslim pun yang ditusuk duri atau lebih dari itu, kecuali Allah pasti akan menghilangkan kesalahan-kesalahannya. Sebagaimana pohon yang menggugurkan daunnya. (HR Bukhari).
“Jadi, kita tidak perlu takut ketika ditimpa ujian dan cobaan. Setidaknya kita tidak akan merugi, sebab Allah SWT akan mengganjar kesabaran serta ketabahan kita dalam mengahadapi cobaan ini dengan hal yang tidak akan pernah kita sangka-sangka,” kata dia.
Ustadzah Rushka mengatakan, ujian saat ini meliputi al-khauf, ketakutan akan tertular penyakit, ketakutan akan menurunnya ekonomi, ketakutan akan menghilangnya nyawa.
Selain itu kita merasakan waj’u atau kelaparan, banyak dari kita kehilangan pekerjaan, dan kekurangan harta juga jiwa.
Menurut dia, ujian Allah ini tidak lain tanda kasih Allah dalam membentuk manusia yang tangguh dan muslim yang memiliki kualitas iman tinggi. Diakhir ayat tadi, Allah memberikan kabar gembira bagi mereka yang bersyukur (dalam menerima ujian).
“Masa pandemi yang tidak jelas kapan berakhirnya ini, menuntut kita agar senantiasa bersabar, bersabar, bersabar,” tutur Ustadzah Ruskha.
Dia mengajak tanamkan dalam diri kita bahwa ujian bukanlah siksaan, bahwa ujian bukanlah azab dari Allah melainkan justru Allah sangat cinta kepada kita, Allah sangat mencintai hamba-hamba-Nya yang beriman dan sabar dalam menghadapi ujian-Nya.
Sebagai muslim yang beriman hendaklah kita senantiasa bersabar, dan meningkatkan kualitas keimanan kita, memperbanyak ibadah kepada Allah, dan memperbanyak muhasabah, memperbaiki diri, agar Allah segera mengangkat pandemi ini.
“Tetaplah menjaga kesehatan, tetaplah berbahagia, dan tetaplah meningkatkan iman dan takwa. Tentu saja untuk menghindarkan kita dari tertular Covid-19, mari kita terapkan protokol kesehatan dengan tetap memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak,” kata dia mengingatkan.
Menjalankan Fatwa Ulama
Dengan munculnya Covid-19 di Indonesia, masyarakat menanggapinya dengan beragam. Ada yang menanggapi dengan melakukan isolasi diri dan mempersiapkannya dengan baik.
Ada yang menanggapinya dengan acuh tak acuh, ada masyarakat yang menganggapnya sebagai azab yang ditimpahkan kepada orang-orang zalim, ada yang mengatakan bahwa corona adalah salah satu tentara Allah dan lain sebagainya.
Ada yang bersikap teodisi atau fatalism dengan pasrah kepada keadaan dan menyatakan bahwa kematian ada di tangan Allah tanpa melakukan pencegahan dan lain sebagainya.
Berbagai macam sikap tersebut, diupayakan untuk diseragamkan oleh MUI dengan mengeluarkan fatwa-fatwa terkait dengan peribadatan umat muslim pada masa pandemi Covid-19 dalam rangka mitigasi wabah.
Peribadatan di masa pandemi tidak hanya berhubungan dengan manusia dan tuhannya saja, tetapi juga memiliki keterkaitan dengan tindakan dan relasi sosial antar masyarakat secara umum.
Akhirnya, sebaiknya umat muslim tidak mengabaikan fatwa para ulama yang terpercaya, terutama yang tergabung dalam lembaga resmi pemerintah. Bukan fatwa atau pendapat seorang ulama atau yang merasa dirinya ulama.
Umat Islam mesti mematuhi dan menjalankan fatwa ulama demi kemaslahatan bersama. []