Soal 4 Pulau di Aceh Singkil, Haji Uma: Kita Sudah Surati Kemendagri Sejak 2017, Namun Tidak Digubris
THEACEHPOST.COM | Jakarta – Anggota Komite I DPD RI dapil Aceh, H. Sudirman atau yang akrab disapa Haji Uma, kembali angkat bicara terkait mencuatnya kembali polemik 4 pulau di Kabupaten Aceh Singkil, yang ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia masuk ke wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara.
Keempat pulau yang ditetapkan menjadi wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara tersebut yakni Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.
Dalam keterangannya, Rabu (28/5/2025), Haji Uma menegaskan bahwa persoalan ini bukan isu baru. Bahkan dirinya telah menyurati Kemendagri pada tahun 2017 serta kemudian pada tahun 2022 untuk menyampaikan aspirasi dan fakta historis serta administratif bahwa pulau-pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh.
Namun, hingga bertahun-tahun lamanya, surat tersebut tidak pernah ditindaklanjuti secara serius oleh Kemendagri.
“Sejak 2017 saya sudah menyurati Mendagri. Ini aspirasi daerah yang saya sampaikan berkali-kali, baik secara langsung maupun tertulis. Tapi tidak ada tindak lanjut yang jelas. Bahkan saat Aceh di minta membawa data pendukung, itu pun tidak diindahkan dan akhirnya tetap menetapkan pulau tersebut masuk wilayah Sumatera Utara,” ujar Haji Uma.
Polemik ini kembali mencuat setelah terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025. Dalam keputusan tersebut, keempat pulau dimaksud secara resmi dimasukkan dalam wilayah Sumatera Utara.
Menurut Haji Uma, keputusan Mendagri ini sangat mencederai fakta sejarah dan data faktual di lapangan. Ia mengungkapkan bahwa sejak 17 Juni 1965, keempat pulau tersebut sudah berada dalam wilayah Aceh dan dihuni oleh masyarakat Aceh. Bahkan, beberapa warga yang pernah tinggal di sana kini menetap di Bakongan, Aceh Selatan.
“Secara historis dan faktual, itu wilayah Aceh. Pemerintah Aceh juga sudah mengucurkan anggaran untuk membangun tugu dan rumah singgah nelayan di sana pada tahun 2012. Kok bisa tiba-tiba diambil alih begitu saja?” kritik Haji Uma.
Ia menambahkan bahwa pada tahun 2018, Gubernur Aceh saat itu, Nova Iriansyah, juga telah menyurati Kemendagri berkali-kali, namun tidak menghasilkan penyelesaian yang adil.
Bahkan, keputusan Mendagri sebelumnya, yaitu Kepmendagri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022, juga telah menetapkan keempat pulau sebagai wilayah Sumatera Utara, yang terus menjadi sumber kegelisahan masyarakat Aceh.
“Jangan sampai konflik wilayah ini menjadi api dalam sekam. Pemerintah pusat harus bijak dan mendengarkan suara rakyat Aceh sebelum membuat keputusan sepihak,” ungkap Haji Uma.
Haji Uma berharap pemerintah pusat tidak mengabaikan suara masyarakat Aceh yang merasa hak wilayahnya dirampas. Ia mendesak agar keputusan Mendagri tersebut segera dilakukan peninjauan ulang secara menyeluruh dan objektif.