Situs Kerajaan Lamuri Ditemukan di Gampong Doi Ulee Kareng

Salah satu nisan peninggalan Kerajaan Lamuri yang ditemukan tim ekspedisi Peusaba Aceh di Gampong Doi, Ulee Kareng, Banda Aceh. [Dok. Peusaba]

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Tim ekspedisi Peusaba Aceh menemukan situs penting peninggalan Kerajaan Lamuri, di kawasan Gampong Doi, Ulee Kareng, Banda Aceh.

banner 72x960

Ketua Peusaba Aceh, Mawardi Usman dalam siaran persnya yang diterima Theacehpost.com, Kamis 24 Februari 2022 mengungkapkan, penemuan Nisan Plang Pleng khas Lamuri itu di kawasan Gampong Doi dinilai tak lazim.

“Tim Peusaba mengaku terkejut menemukan nisan di kawasan Doi Ulee Kareng. Sebab biasanya Nisan Plang Pleng hanya ditemukan di kawasan Lamreh Krueng raya,” kata Mawardi.

Dengan penemuan nisan Lamuri di gampong tersebut, kata dia, menunjukkan perlu ada penelitian ilmiah lebih luas ke depannya tentang Lamuri dan kerajaan kuno di Aceh.

Seperti diketahui, Lamuri adalah kerajaan kuno sebelum kesultanan Aceh Darussalam. Lamuri disebut oleh penjelajah Arab, Athena, India, Persia Cina dan lain-lain sebagai penghasil Kamfer dan Kapur Barus yang digunakan oleh dunia saat itu untuk berbagai keperluan, termasuk pemumian Raja Pharaoh Mesir Kuno.

Menurut Peusaba Aceh, dalam sejarahnya, Maharaja Indra Sakti menghadapi serangan dari kerajaan Seudu. Kemudian ia meminta bantuan Meurah Johan. Lantas Meurah Johan Syah berhasil menyelamatkan Kerajaan Lamuri dan menikah dengan Maharani Putroe Ti Seuno anak Maharaja Indra Sakti, dan Sultan Johan Syah mendirikan kesultanan Aceh Darussalam di Gampong Pande Bandar Aceh pada tahun 1205.

Lebih lanjut, ada pendapat bahwa Lamuri tetap menjadi kerajaan independen dengan pusat ibu kota di Krueng Raya.

“Hal itu biasa terjadi dalam kesultanan, seperti Sultan Malik As Saleh yang membelah Samudera Pasai menjadi dua, antara kerajaan Samudera dan Kerajaan Pasee, untuk kedua putranya Malik Az Zahir dan Malik Al Mansur,” kata Mawardi.

Selain itu, ada juga teori yang mengatakan bahwa pada tahun 1350 Lamuri di Krueng Raya dihantam Tsunami raksasa, dan tahun 1450 terjadi ledakan dahsyat Gunung Seulawah yang menyapu sebagian besar Lamuri.

Karena itu, Raja Lamuri memutuskan untuk memindahkan ibukotanya ke Meukuta Alam, dan kerajaan baru terkenal sebagai Kerajaan Meukuta Alam.

Dari Meukuta Alam Sultan pertama yang terkenal adalah Sultan Munawar Syah. Sultan Munawar Syah memiliki putra bernama Sultan Syamsu Syah dan Sultan Syamsu Syah memiliki putra bernama Sultan Ali Mughayat Syah (1507-1530), yang mendirikan Kesultanan Aceh Darussalam.

“Nampaknya pemakaman kuno yang ditemukan di kawasan Doi ini, bisa jadi berusia lebih lama beberapa abad sebelum Sultan Ali Mughayat Syah menyatukan Kesultanan Aceh Darussalam,” duganya.

Sumber sejarah menyebutkan, Lamuri atau Kesultanan Aceh terpecah dua, yakni Meukuta Alam dan Darul Kamal. Kemudian disatukan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Kelak pada zaman Keturunan Sultan Ali Mughayat Syah yakni Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya.

Mawardi lantas meminta adanya penelitian yang serius soal titik penting kerajaan kuno Lamuri di kawasan Ulee Kareng dan Bandar Aceh. Dalam kompleks makam Tuan Siyah Plang Pleng di Gampong Doi, kata dia, makam yang ditemukan hampir semuanya zaman Lamuri.

Ada ditemukan juga satu batu nisan yang menarik. Di bawahnya terdapat ukiran mihrab dan diatasnya terdapat ukiran bunga-bungaan. Nampaknya nisan ini adalah nisan ulama sufi era kesultanan Lamuri.

“Gambaran mihrab di nisan menunjukkan seorang ahli ibadah, sedangkan gambaran bunga adalah gambaran orang sufi yang duduk didalam mihrab beribadah seperti tinggal di kebun bunga, yang bisa diartikan seorang Sufi yang beribadah kepada Allah dengan mengharapkan Surga Allah kelak pada hari akhirat,” terangnya lagi.

Dengan melihat ada batu nisan yang sama di Lamreh Krueng Raya, menurutnya, bisa jadi nisan plang Pleng di Kawasan Doi berasal dari abad 11 M, sebab ada ditemukan nisan yang nyaris sama di Lamreh berangka tahun 1005 Masehi, juga ditemukan nisan Sultan Sulaiman Bin Abdullah Al Basir wafat pada 1211 M, yang sezaman dengan Sultan Johan Syah Gampong Pande Bandar Aceh Darussalam.

“Peusaba meminta semua pihak melindungi situs penting ini. Kita mengkhawatirkan adanya gerakan liar, yang dimotori orang benci terhadap sejarah Aceh Darussalam yang sudah ribuan tahun, yang ingin mengambil batu nisan dan membuangnya, atau menghilangkan batu nisan dan makam sehingga sejarah Aceh menjadi hilang,” harapnya.[]

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *