Sinergitas Pers dan Polri: Saling Mengerti, Kerja Sama, dan Menghargai Etika Profesi
Theacehpost.com | JAKARTA – Memperingati hari kebebasan pers dunia, Pewarta Foto Indonesia (PFI) menggelar diskusi daring bertema “Sinergitas Pers dan Polri”, pada Sabtu malam, 8 Mei 2021.
Diskusi daring ini digelar mengingat publik terus membutuhkan informasi yang andal dan terverifikasi melalui kerja jurnalis yang profesional serta independen.
Hadir sebagai narasumber, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono, pengamat media dari Universitas Airlangga Surabaya, Prof. Dra. Rachmah Ida, M.Comms., Ph.D., Pewarta Foto Jakarta Globe, Mas Agung Yudha Wilis Baskoro, dan Sekretaris PFI Palu, Taufan Bustan.
Saling percaya dan kerja sama
Dalam paparannya, Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Rusdi mengungkapkan, bahwa keberhasilan Polri tidak lepas dari campur tangan pers.
“20 persen keberhasilan karena personelnya sendiri, 20 persen dari keorganisasian, dan 60 persen karena publikasi rekan-rekan pers. Sehingga secara jujur Polri melihat posisi yang strategis dari pers. Sehingga menjadi sesuatu yang tidak mungkin dijauhkan oleh Polri,” paparnya.
Berbicara tentang sinergitas, kata Rusdi, di dalamnya terdapat kerja sama yang produktif dan kemitraan yang humanis antara pers dengan polri guna menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkualitas untuk bangsa, negara, serta masyarakat.
Alumnus Akademi Kepolisian 1991 itu menyebut, membutuhkan beberapa kiat untuk menumbuhkan harmonisasi tersebut.
Pertama, menumbuhkan rasa saling percaya antara insan pers dan Polri yang dibangun dengan melakukan etika profesinya secara bertanggung jawab.
“Ketika masing-masing dilaksanakan saya yakin sinergitas itu akan terbangun,” imbuhnya.
Kedua, memegang teguh kesepahaman yang dibuat. Rusdi menyebut, antara Polri dan dewan pers sudah memiliki nota kesepahaman yang ditandatangani, berisi tentang koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers dan penegakkan hukum terkait penyalahgunaan profesi wartawan.
Ketiga, insan pers dan Polri harus dapat menahan emosi.
“Ini sangat penting. Karena bagaimana pun pers maupun Polri sebagai manusia, makhluk yang unik. Dalam bekerja di lapangan, pasti ada kesalahpahaman. Namun, kita bisa selesaikan secara beradab,” tandas Rusdi.
Polri juga membuat sejumlah program untuk mendekatkan diri dengan pers. Di antaranya, visit media, coffee morning di Mabes Polri, dan talk show bekerja sama dengan televisi swasta nasional.
Pengaruh rezim
Sedangkan pengamat media Rachmah Ida menilai, konsep kebebasan pers berbeda di setiap negara. Menyesuaikan rezim politiknya.
Di Indonesia, kebebasan pers sudah tertulis di Undang- Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan tercantum di Undang-undang Dasar
(UUD) 1945 pasal 28, bahwa kebebasan itu adalah hak segala bangsa, hak setiap orang masyarakat.
“Di Indonesia berkali-kali menyatakan pers kita bebas. Tapi, nyatanya, secara praktik kebebasan itu selalu diterjemahkan secara sepihak oleh rezim yang berkuasa. Kebebasan pers tidak pernah ketemu antara insan pers dengan rezim politik yang berkuasa,” kata Ida.
Meski demikian, kebebasan itu bukan tanpa aturan. Namun, kebebasan untuk menyuarakan kepentingan publik. Bukan kepentingan ekonomi, politik, dan perusahaan media.
Sinergitas itu berarti harus ada tiga aspek. Pertama, adalah kesepahaman yang sama atau mutual understanding. Termasuk antara pers dan Polri.
Polri harus membuka informasi dan kesempatan kepada pers untuk melakukan investigasi jurnalistik. Ini diperlukan supaya ketika itu dilaporkan, publik tidak misleading dengan informasi yang keliru.
Begitu pula wartawan, juga harus memahami cara kerja Polri. Tidak etis ketika memberitakan suatu perkara yang penyidikannya belum tuntas.
“Wartawan tidak boleh mengupas sampai detail. Karena takutnya pers atau media justru akan menjadi hakim untuk menjustifikasi,” ucap alumnus Curtin University of Technology, Australia itu.
Kedua, di dalam sinergitas harus ada kerja sama. Artinya, pers bersama Polri harus memiliki idealisme yang sama untuk memberikan informasi kepada publik.
Yang ketiga, sinergitas bisa dicapai jika pers dan Polri bisa menghargai etika profesi masing-masing.
“Makanya, saya sangat tertarik sekali dengan diskusi ini. Karena kita ingin menuju ke sebuah sinergitas,” ujar Ida.
Memahami hak dan kewajiban
Dalam diskusi yang dipandu anggota PFI Jambi, Irma Tambunan ini, Pewarta Foto Jakarta Globe Mas Agung Wilis Yudha Baskoro turut memberikan sudut pandangannya, kebebasan pers harus dimaknai sebagai salah satu cara bagi wartawan untuk berkontribusi membangun Indonesia.
Khususnya, pemerintahan dengan segala organisasi dan perangkatnya. Melalui tulisan, rekaman, foto dan berita akan menghadirkan mekanisme kontrol, check and balance, bahkan pengingat sejarah.
“Sehingga akan muncul pemerintahan yang bijaksana, bersih, dan transparan,” ucapnya.
Yudha menilai, sinergitas antara pers dan Polri sangat penting. Sebagai dua entitas dalam negara yang bekerja dalam hal melayani publik. Sedikit salah langkah saja bisa hilang kepercayaan publik terhadap pers atau polri.
“Ketika bekerja di lapangan, saya (sebagai pewarta foto) terkadang sering kali lupa bahwa polisi atau aparat hanyalah orang yang menjalankan tugasnya. Mereka adalah ayah, suami, kaka, adik dan pula tulang punggung keluarganya, begitu pula sebaliknya. Di sini saya justru ingin mengatakan selain sinergi di bidang profesionalisme seperti memahami hak dan kewajiban masing-masing di lapangan,” jelasnya.
Pers dan Polri juga harus bersinergi dalam hal kemanusiaan. Bersinergi dengan kerja yang jujur dan selaras mengedepankan kemanusiaan, akan membawa hubungan pers dan Polri jauh lebih baik dan saling melengkapi.
“Ketika pers dan Polri sudah bersinergi di level ini, publik akan menilainya sendiri dan akan menumbuhkan kepercayaan yang lebih dalam. Sebab, pada dasarnya semuanya hanya manusia yang hidup untuk menghidupi hidupnya,” tandasnya.
Menurut Yudha, wartawan maupun pewarta foto selama ini bekerja sesuai etika dan kaidah jurnalistik. Namun bukan berarti tidak ada kekhawatiran.
Seiring berkembangnya teknologi, harus mulai memikirkan etika-etika bekerja di ruang virtual.
“Ketika sebagai individu kita berubah status dari citizen menjadi netizen. Saat ini sudah marak terjadi, banyak berita yang kerap mengambil kutipan-kutipan dari kolom komentar yang ibaratnya itu hanyalah siulan burung belaka,” ungkapnya.
Intimidasi masih terjadi
Sekretaris Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palu M Taufan SP Bustan memaknai, kebebasan pers adalah yang tidak mencederai kepentingan publik dan tidak melanggar hak asasi warga negara.
Indonesia menganut sistem demokrasi. Wajar bika kemudian identik dengan kebebasan masyarakatnya untuk berekspresi menyuarakan pendapat.
Begitu pula untuk pers. Juga diberikan kebebasan untuk melaksanakan kerja-kerja jurnalistiknya.
“Meski demikian, pers tidak boleh semaunya dalam hal penyampaian informasi. Oleh karena itu, penting pers untuk selalu taat kepada dua Undang-Undang. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers dan kedua UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran,” jelas Taufan.
Sinergitas pers dan Polri tidak hanya untuk membangun kepercayaan terhadap publik. Lebih dari itu, kemitraan pers dan Polri harus dilakukan dengan benar dan baik. Sehingga tidak terjadi arogansi Polri yang diterima pekerja pers.
“Karena fakta sampai hari ini, tindakan intimidasi bahkan sampai tindakan kekerasan masih dilakukan Polri kepada pers. Kami di PFI Palu mencatat ada dua kasus paling kejam di 2019 dan 2020,” ungkapnya. []