Sikap Nasionalisme Teuku Ben Mahmud dari Aceh hingga ke Halmahera
THEACEHPOST.COM – Bangsa Aceh memiliki sejarah yang kaya dan mendalam dalam perjuangan melawan penjajahan. Dalam perjalanan panjang ini, banyak tokoh yang muncul sebagai pahlawan yang berjuang demi kemerdekaan tanah air.
Beberapa diantara mereka bahkan gugur di medan perang, dan jasa-jasa mereka diabadikan sebagai pahlawan nasional. Namun, dibalik banyaknya nama-nama besar yang dikenal, terdapat juga sosok pejuang yang perjuangannya kurang mendapatkan sorotan, seperti Teuku Bentara Mahmud yang lahir pada tahun 1860.
Dalam catatan Cut Hasnah, menyebutkan bahwa nama Teuku Ben Mahmud tercatat oleh Belanda sebagai kepala gerilya yang Belanda anggap pasukannya sudah sangat terampil dalam berperang hingga mampu membuat Letnan Colijn sangat kerepotan.
Teuku Ben Mahmud adalah seorang Uleebalang pertama Blangpidie yang secara resmi mendapatkan sarakata secara langsung dari Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah pada tahun 1882 dengan gelar “Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Radja”.
Gelar “Bentara” yang disandangnya menunjukkan statusnya sebagai seorang pemimpin militer pada masa kerajaan Aceh. Dalam buku Qanun Meukuta Alam menyebutkan bahwa gelar Bentara adalah pesuruh atau pembantu raja. Jika dalam struktur angkatan bersenjata saat ini, Bentara setara dengan pangkat kolonel.
Bukankah penunjukkan Teuku Ben Mahmud sebagai Uleebalang (kepala daerah tingkat Kabupaten) di usia 22 tahun oleh Sultan Aceh ini menunjukkan sejumlah hal yang sangat penting? baik dalam konteks kepemimpinan, kemampuan dan peranannya dalam masyarakat Aceh pada masa itu.
Meskipun di dalam Qanun Meukuta Alam disebutkan bahwa syarat menjadi seorang pemimpin harus berusia 40 tahun, menunjukkan adanya pengecualian yang signifikan.
Pengecualian ini membuktikan bahwa Teuku Ben Mahmud memiliki potensi luar biasa yang diakui Sultan Aceh dan masyarakatnya. Bahkan dalam sistem yang biasanya mengutamakan kestabilan emosional dan kematangan usia, justru kemampuannya diakui sebagai hal yang penting dalam memimpin.
Maka sultan Aceh, sebagai pemimpin bijaksana, tentu tidak sembarangan memberikan kepercayaan kepada seseorang untuk memimpin suatu wilayah.
Teuku Bentara Mahmud merupakan salah satu pahlawan asal Aceh yang patut mendapat perhatian dan penghormatan yang tinggi. Hal ini disebabkan pada situasi yang semakin sulit pun akibat kedatangan Belanda ke Aceh pada tahun 1873, Teuku Ben Mahmud justru menunjukkan sikap perlawanannya yang pantang menyerah dalam menghadapi penjajahan. Ia tidak pernah tunduk pada kekuasaan Belanda, meskipun posisinya sebagai Uleebalang bisa saja memberinya keuntungan dalam situasi yang sulit.
Ketika Teuku ben Mahmud memilih untuk berjuang di medan perang, Teuku Nyak Sawang pun mengambil alih perannya sebagai Uleebalang. Tindakan ini menunjukkan bahwa bagi Teuku Ben Mahmud, jabatan bukanlah segalanya; ia lebih mengutamakan jihad fii sabilillah dalam mempertahankan tanah airnya untuk kemerdekaan daripada ambisi pribadi.
Keberanian dan keteguhan hatinya dalam melawan penjajah telah menjadi inspirasi bagi penerusnya terutama bagi pahlawan di Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan seperti Teuku Cut Ali, Teuku Raja Angkasah, Teungku Peukan, Panglima Raja Lelo dan lain-lain.
Dalam buku “Teuku Bentara Mahmud Setia Radja; Pahlawan Besar Perang Aceh” menyebutkan bahwa Teuku Ben Mahmud dikenal sebagai sosok heroik yang sangat berpengaruh dan dihormati oleh para pejuang Aceh, namun dicap radikal oleh militer Belanda karena menganggap daerah yang dipimpinnya sangat menakutkan.
Perlawanannya tidak hanya terjadi di Blangpidie, tetapi juga meluas hingga ke Seunagan, Hulu Singkil, Tanah Gayo, Alas, dan Tanah Batak membantu perjuangan Sisingamangaraja XII dan Sultan Aceh di Keumala. Selama lebih dari sepuluh tahun, Teuku Ben Mahmud memimpin perlawanan terhadap Belanda, yang membuat mereka kesulitan menghadapi serangan dari pasukannya yang dikenal dengan sebutan “Klewang”, bahkan Belanda memberi julukan kepada Teuku Ben Mahmud sebagai “Gerilyawan Berkaliber Internasional”.
Teuku Ben Mahmud adalah tokoh yang sudah lama menjadi target operasi Belanda. Hal ini dibuktikan dalam makalahnya Said Abu Bakar bahwa pada tahun 1900, Teuku Ben Mahmud menolak memberikan pengakuan tunduk terhadap Belanda.
Perihal ini juga diperkuat dalam bukunya Drs M Thamrin Z, bahwa Teuku Ben Mahmud sendiri sangat anti pada Raja-Raja kecil yang menerima baik kedatangan Belanda dan menandatangani Korte Verklaring.
Teuku Ben Mahmud turun gunung akibat adanya beberapa orang pengkhianat yang memberitahukan tempat persembunyian anak, istri dan cucunya. Sehingga Belanda mengambil keluarga Teuku Ben Mahmud sebagai sandera. Pada tahun 1908 Teuku Ben Mahmud turun gunung dengan memainkan siasat seoalah-olah menjadi tahanan politik Belanda.
Padahal dibalik itu semua Teuku Ben Mahmud masih melakukan komunikasi dengan pejuang Aceh dan membunuh semua orang-orang yang berkhianat kepadanya. Oleh karena itu, siasat yang dimainkan oleh Teuku Ben Mahmud berjalan selama tiga tahun dan baru diketahui oleh Belanda pada tahun 1911 yang mengakibatkan Teuku Ben Mahmud dijatuhi hukuman pengasingan ke Maluku Utara.
Selama di pengasingan, Teuku Ben Mahmud tetap terus melancarkan serangan kepada Belanda disana yang dibantu oleh mantan panglimanya Teungku Idris yang lebih dahulu dibuang oleh Belanda ke Ternate. Perjuangan Teuku Ben Mahmud terus berkobar sampai dengan awal kemerdekaan Indonesia. Sehingga TP2GK Aceh Barat Daya menjulukinya sebagai Pahlawan tiga masa; Perang Aceh, Belanda dan Jepang di Halmahera.
Pasca kemerdekaan 1945, sikap nasionalisme Teuku Ben Mahmud terus ia tunjukkan dalam kesehariannya selama di Halmahera dengan menempelkan bendera merah putih di kemeja yang selalu ia gunakan.
Selain itu, Teuku Ben Mahmud juga tidak suka melihat orang yang memakai topi karena dianggap sebagai bagian dari budaya Eropa. Ia lebih menganjurkan untuk memakai songkok sebagai lambang nasionalis dan agamis.
Sikap nasionalisme itu terus ia pertahankan sampai ia wafat pada hari kamis sore tanggal 28 Maret 1974 dalam usia 114 tahun. Pemakaman Teuku Ben Mahmud juga dilakukan secara militer sebagai penghormatan terakhir yang diperuntukkan bagi setiap prajurit TNI-RI atau pahlawan saat ia meninggal dunia, dan juga sebagai bentuk penghargaan dari negara atas jasa-jasa serta darma bakti kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kesuma Bangsa tersebut telah meninggalkan kita selama 51 tahun yang lalu, kita sebagai anak bangsa yang menikmati kehidupan setelah perjuangan mereka, sudah sepantasnya memberikan penghargaan yang tinggi atas jasa dan dedikasinya untuk bangsa dan negara, yaitu menjadikan Teuku Ben Mahmud sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia. “Almaghfurullah Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Radja”.
Penulis: Aufar Hidayat
Tim Peneliti Pengkaji Gelar Kabupaten (TP2GK) Aceh Barat Daya (Abdya)
Baca artikel The Aceh Post lainnya di Google News dan saluran WhatsApp