Sidang Lanjutan Kasus Emas, Kuasa Hukum Terdakwa Hadirkan Saksi Ahli

Armia, MH, kuasa hukum terdakwa perkara jual beli perhiasan emas tak sesuai kadar yang sidangnya berlangsung di PN Banda Aceh. [Dok. pribadi]

Theacehpost.com | BANDA ACEH  – Dua saksi ahli dihadirkan dalam sidang kasus penjualan perhiasan emas tak sesuai kadar yang berlangsung di Pengadilan Negeri Banda Aceh, Rabu lalu.

banner 72x960

Kuasa hukum terdakwa M Husen Bin Hasyim, Armia SB kepada awak media, Sabtu 4 Desember 2021 mengatakan, kedua saksi yang dihadirkannya itu ialah Dr. Dahlan, ahli hukum pidana dan Dr. Safriadi, ahli hukum islam.

“Sidang lanjutan ini ternyata juga dipantau langsung anggota Komisi Yudisial,” bebernya.

Terdakwa mengikuti sidang itu melalui video conference dari Rutan Banda Aceh. Sedangkan penasehat hukumnya mendampingi di ruang sidang Pengadilan Negeri Banda Aceh.

Ahli hukum pidana, Dahlan dalam kesaksiannya menjelaskan soal esensi UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Kata dia, sesuai ketentuan Pasal 8 Ayat (1) huruf f juncto Pasal 61 Ayat (1) yang terkait sanksi pidana, harus dimaknai sebagai pasal delik materil.

“Sebab itu, unsur kerugian konsumen harus dapat dibuktikan secara nyata. Apabila dalam kasus ini, tidak ada konsumen yang dirugikan, maka terdakwa M Husen Bin Hasyim tidak dapat dipidana,” klaimnya.

Dahlan membandingkannya dengan pasal UU Tipikor yang dalam penerapannya harus terbukti adanya kerugian negara.

Menurutnya lagi, UUPK juga mengatur tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang bertugas menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen.

“Oleh karena itu, penerapan pasal perlindungan konsumen ini harus sesuai dengan asas ultimum remedium, yakni instrumen hukum pidana harus menjadi upaya terakhir. Jadi tidak bisa langsung dipidana,” kata Armia mengutip keterangan Dahlan.

Selain itu, Dahlan juga mempersoalkan polisi yang menyamar dan membeli emas untuk tujuan diuji di laboratorium. Dengan cara itu, kata dia, maka polisi tersebut bukan lah konsumen. Sehingga cara-cara tadi tidak dapat dibenarkan.

“Emas bukan barang haram yang harus dibeli 2/2 dengan cara sembunyi-sembunyi. Berbeda dengan barang yang dilarang untuk diperdagangkan seperti narkoba dan lainnya,” ujarnya.

Analisis Faktur Penjualan

Sementara saksi ahli hukum islam, Safriadi menganalisis faktur penjualan yang dijadikan sebagai barang bukti oleh penuntut umum.

Menurutnya, keterangan kadar perhiasan emas yang ditulis terdakwa dalam faktur penjualan sudah benar. Kata dia, 99A itu merujuk kepada hal yang umum sebagai kode perhiasan. Sedangkan dalam faktur itu, juga terdapat ketentuan khusus yakni “barang-barang perhiasan yang banyak patri jika dilebur masnya menjadi muda atau procentasenya berkurang”.

“Jadi disini penjual sudah memberikan keterangan yang sesuai terhadap barang dagangannya. Berkurangnya kadar dalam perhiasan emas itu dikarenakan tambahan bahan patri yang sudah lazim, sudah dijelaskan dalam faktur penjualan itu,” kata Safriadi.

Berdasarkan keterangan dua saksi ahli tadi, Armia kembali menegaskan perkara kliennya tidak serta merta dapat dipidana, karena pidana sendiri merupakan langkah terakhir setelah upaya lain tidak berhasil.

“Diterangkan tadi seharusnya diselesaikan melalui ganti rugi, jika ada yang merasa dirugikan. Ahli hukum islam juga sudah menyampaikan bahwa perbuatan klien kami tidak menyalahi dengan hukum islam,” ucapnya.

Ia juga berharap majelis hakim juga menggali kebiasaan masyarakat Aceh terkait dengan kasus ini, termasuk kebiasaan dalam proses pembuatan, penulisan kode pada faktur dan tata cara penjualan perhiasan emas.

“Termasuk pandangan hukum Islam terhadap perkara ini. Walaupun hukum Islam ini dianggap bukan hukum positif, tapi hukum Islam adalah hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat Aceh,” pungkasnya.[]

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *