Serangan terhadap Ketua MS Jantho: Propaganda Tidak Beretika yang Mencederai Keadilan
Gelombang protes terhadap Ketua Mahkamah Syar’iyah (MS) Jantho, Muhammad Redha Valevi, yang diwujudkan dalam spanduk-spanduk bernada provokatif di berbagai kecamatan di Aceh Besar, menandakan adanya ketidakpuasan terhadap putusan yang dikeluarkan lembaga tersebut. Salah satu yang menjadi sorotan adalah keputusan terkait pemantauan hilal Ramadan yang berujung pada perbedaan awal puasa di tengah masyarakat.
Namun, polemik ini tidak sekadar menyangkut rukyatul hilal. Serangan terhadap Ketua MS Jantho dalam bentuk hinaan dan tuntutan pencopotan justru menandakan adanya degradasi dalam cara oknum masyarakat menyalurkan aspirasi. Kritik yang seharusnya berbasis substansi justru berubah menjadi serangan personal yang tidak hanya mencederai etika, tetapi juga berpotensi merusak independensi peradilan.
Kritik Harus Berbasis Hukum, Bukan Emosi
Dalam sistem hukum yang berlandaskan prinsip due process of law, keputusan pengadilan termasuk Mahkamah Syar’iyah diambil berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku, bukan atas kehendak individu semata. Jika ada ketidakpuasan terhadap putusan pengadilan, mekanisme hukum yang tersedia, seperti banding atau kasasi, seharusnya menjadi jalur yang ditempuh.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Kritik terhadap MS Jantho tidak disampaikan dalam jalur yang semestinya, melainkan dalam bentuk propaganda yang menyerang individu ketuanya. Bahkan, muncul spanduk tulisan “Hakim Tidak Waras” sebuah pernyataan yang seharusnya berbalik kepada mereka yang menuliskannya. Bagaimana mungkin mereka bisa menilai kesehatan mental seorang hakim, padahal mereka tidak mengetahui secara pasti bagaimana kejadian di lapangan?
Keputusan Berbasis Ulama, Bukan Sembarangan

Keputusan Mahkamah Syar’iyah Jantho terkait penolakan sumpah dua saksi hilal bukanlah keputusan yang diambil secara sewenang-wenang oleh ketuanya. Sebaliknya, keputusan tersebut didasarkan pada pertimbangan mayoritas ulama dayah di Aceh Besar yang juga terlibat dalam pemantauan hilal.
Dalam tradisi keislaman di Aceh, para ulama dayah memiliki otoritas besar dalam menentukan hukum Islam, termasuk dalam perkara rukyatul hilal. Jika mayoritas ulama yang hadir dalam sidang rukyat menyatakan tidak melihat hilal, maka keputusan Mahkamah Syar’iyah Jantho memiliki dasar legitimasi keagamaan yang kuat.
Menyerang Ketua MS Jantho tanpa memahami dasar keputusannya justru menunjukkan ketidaktahuan akan mekanisme hukum yang berlaku. Kritik yang tidak berbasis fakta dan hanya berorientasi pada sentimen emosional tidak akan menyelesaikan permasalahan, tetapi justru memperkeruh suasana.
Independensi Hakim dan Ancaman Intervensi Massa
Independensi hakim merupakan pilar utama dalam sistem peradilan yang dijamin oleh Pasal 24 UUD 1945 dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Independensi ini bertujuan agar hakim dapat menjalankan tugasnya tanpa tekanan dari pihak mana pun, termasuk dari opini publik atau tekanan massa.
Serangan terhadap Ketua MS Jantho dalam bentuk tuntutan pencopotan dan spanduk bernada provokatif adalah bentuk intervensi yang berbahaya bagi sistem hukum. Jika praktik semacam ini dibiarkan, maka akan terbentuk preseden buruk: setiap hakim yang mengeluarkan putusan yang tidak populer akan menjadi sasaran serangan personal, bukan melalui jalur hukum yang semestinya.
Apakah kita ingin sistem hukum Islam di Aceh dikendalikan oleh tekanan massa? Jika setiap putusan yang tidak disukai lantas direspons dengan serangan terhadap individu hakim, maka kita telah membuka pintu bagi anarki hukum.
Hilal dan Keberagaman Mazhab: Sebuah Keniscayaan
Persoalan penentuan awal Ramadan bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam. Sejak zaman klasik, perbedaan metode dalam melihat hilal sudah menjadi bagian dari khazanah ijtihad dalam fikih.
Beberapa mazhab menekankan kehati-hatian (ihtiyath) dalam penetapan hilal, sementara yang lain lebih fleksibel dalam menerima kesaksian individu. Oleh karena itu, perbedaan keputusan dalam melihat hilal seharusnya diperdebatkan dalam kerangka akademik dan keilmuan, bukan dengan menyerang individu yang mengambil keputusan tersebut.
Jika Mahkamah Syar’iyah Jantho lebih mengutamakan kesaksian ulama dayah setempat, itu bukan berarti keputusan tersebut tanpa dasar. Sebaliknya, ini menunjukkan bahwa lembaga peradilan di Aceh masih menjunjung tinggi otoritas ulama dalam menetapkan hukum Islam.
Menjaga Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Peradilan
Kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan adalah elemen krusial dalam sistem hukum. Namun, membangun kepercayaan ini harus dilakukan dengan cara yang beradab dan berbasis pada mekanisme yang benar.
Jika ada indikasi ketidakadilan dalam putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho, maka jalur hukum yang sah harus ditempuh, bukan dengan membangun opini yang menyerang individu tertentu. Mahkamah Agung sebagai otoritas tertinggi dalam sistem peradilan Islam di Indonesia memiliki kewenangan untuk mengevaluasi keputusan Mahkamah Syariah Jantho jika ditemukan adanya penyimpangan prosedural atau yuridis.
Oleh karena itu, pihak-pihak yang merasa dirugikan seharusnya mengajukan keberatan secara legal, bukan dengan membuat spanduk provokatif yang justru merusak wibawa hukum Islam di Aceh.
Saatnya Berhenti Berpolemik dan Kembali Bersatu
Protes yang disampaikan masyarakat merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin oleh demokrasi. Namun, kebebasan ini harus dilakukan dalam koridor etika dan hukum. Kritik terhadap keputusan Mahkamah Syar’iyah Jantho seharusnya dilakukan dengan argumentasi hukum yang kuat, bukan dengan serangan terhadap individu ketuanya.
Ramadan adalah bulan persatuan, bulan di mana umat Islam diajarkan untuk menahan diri dari emosi dan fitnah. Oleh karena itu, hentikan polemik yang tidak bermanfaat dan akhiri provokasi yang hanya memperlebar perpecahan. Ini saatnya kita kembali merenungi diri, memperbaiki hati, dan bersatu dalam keberkahan bulan suci.
Alih-alih saling menyerang dan menyulut provokasi, mari jadikan Ramadan ini sebagai momentum untuk kembali kepada nilai-nilai Islam yang sejati: menegakkan keadilan dengan ilmu, menyampaikan kritik dengan adab, dan menjaga persatuan dengan hati yang bersih. Jika benar kita ingin memperbaiki sistem hukum Islam, maka yang harus kita lakukan adalah memperkuat mekanisme hukum, bukan memperlemah lembaga peradilan dengan serangan personal yang tidak berbasis argumen hukum yang sahih.
Oleh: Tgk. Alwy Akbar Al Khalidi, SH, MH
Penulis adalah Kandidat Doktor Islamic Studies Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Aktivis Dayah Aceh, Pengajar Sosiologi Hukum, aktif dalam kajian hukum Islam dan peradilan Islam