Revisi UU TNI dan Hantu Otoritarianisme

Mahasiswa Universitas Al-Azhar Cairo Mesir, Teuku Alfin Aulia. [Foto: The Aceh Post]

THEACEHPOST.COM – Kesalahan terbesar bangsa ini adalah membisu ketika menyaksikan konstitusi dikebiri secara sistematis. Pengesahan revisi UU TNI No. 34/2004 menjadi cermin bagaimana rezim secara terang-terangan mempertontonkan pelanggaran konstitusi tanpa rasa malu di hadapan rakyat.

banner 72x960

“Vox Populi Vox Dei” – suara rakyat adalah suara Tuhan. Namun apa jadinya ketika suara itu telah termanipulasi oleh propaganda lihai penguasa? Rakyat terlanjur terbius, membiarkan konstitusi menjadi tameng bagi agenda-agenda politik dinasti.

Revisi UU TNI bukanlah sekadar perubahan regulasi biasa. Ini adalah manifestasi dari ambisi rezim untuk membangun kembali struktur kekuasaan ala Orde Baru. Perhatikan bagaimana Pasal 47 membuka pintu lebar bagi prajurit aktif menduduki 14 pos strategis di kementerian/lembaga. Bukankah ini langkah mundur dari reformasi yang telah diperjuangkan dengan darah?

Perluasan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dari 14 menjadi 16 tugas adalah topeng yang digunakan untuk membenarkan intervensi militer ke ranah sipil. Ketika TNI diberi wewenang menangani ancaman siber hingga evakuasi WNI di luar negeri, batas antara fungsi pertahanan dan politik menjadi semakin kabur.

Yang lebih mengkhawatirkan, revisi ini muncul setelah berbagai jenis produk hukum cacat yang seolah dengan mudah didesain dan dipertontonkan di hadapan masyarakat. Mulai dari menangnya berbagai agenda politik dinasti di sejumlah perhelatan politik nasional. Sang anak sulung dengan mudah melenggang di pilpres jalur paman. Putra bungsu menduduki kursi ketua partai tanpa proses berarti. Menantu melenggang menjadi walikota lalu gubernur. Dengan Pola yang sama, hanya aktor yang berbeda.

Kini, revisi UU bukan hanya ditujukan untuk kepentingan keluarga saja, ajudan pribadi tanpa proses berarti dapat menduduki posisi yang tinggi, dengan pikatan yang sudah diperkuat sebelumnya oleh sorotan media massa, yang entah bagaimana berhasil mengelabui perhatian rakyat.

Selain itu, partai-partai politik yang ada hampir seluruhnya ditarik berkoalisi, tujuannya untuk mempermudah pembangunan negeri tanpa banyaknya hambatan oposisi, namun semakin kesini nyatanya fungsi checks and Balances semakin kehilangan terkendali.

Sedang pemangku jabatan juga seolah terang-terangan dalam beberapa pidatonya menunjuk para penggantinya yang juga “ketua partai” dengan cara “mendoakannya”.

Agenda pilpres dan pilkada selesai, lantas mengapa UU TNI ikut perlu direvisi? Setelah sebelumnya dengan terangnya rezim ingin menjadikan kepala daerah sebagai perpanjangan tangan presiden, layaknya era Orde Baru. Kepala daerah bukan lagi pelayan rakyat, melainkan abdi penguasa.

Kini, tanpa malu, rezim telah mempersiapkan perpanjangan kekuasaan untuk pilpres mendatang. Etika politik diinjak-injak demi melanggengkan dinasti. Revisi UU TNI adalah bagian dari grand design ini – memastikan institusi militer berada dalam genggaman.

Siapa yang patut disalahkan? Masyarakat kita yang belum cukup terdidik untuk memahami esensi demokrasi yang mereka teriakkan. Jiwa feodal masih mengakar kuat, menganggap segala pelanggaran hukum bila dijalankan oleh pemangku kekuasaan sebagai hal yang lumrah. Presiden masih dipandang bagai maharaja yang tak boleh dikritik.

Revisi UU TNI adalah warning sign bahwa kita sedang bergerak mundur ke era otoritarianisme. Ketika militer kembali masuk politik, ketika dinasti menguat, ketika kritik dibungkam – demokrasi tinggal menjadi slogan kosong.

Bangsa ini butuh lebih dari sekadar protes yang dianggap “anjing menggonggong” oleh penguasa yang kini seolah menampilkan citranya sebagai “kafilah yang sedang sibuk berlalu”. Kita memerlukan gerakan sistematis untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya laten dari kebijakan-kebijakan yang mengancam demokrasi. Revisi UU TNI harus dilihat sebagai bagian dari puzzle besar otoritarianisme yang sedang dibangun secara perlahan namun pasti.

Kedepan tak ada upaya yang lebih berarti, selain mendewasakan pemahaman masyarakat akan demokrasi. Jika tidak, proses pengebirian hak-hak rakyat akan terus berjalan entah siapapun yang nantinya berkuasa. Seakan aktor boleh berganti tapi praktiknya sama-sama memalukan dan memilukan.

Penulis: Teuku Alfin Aulia

Mahasiswa Universitas Al-Azhar Cairo Mesir

Baca artikel lainnya di Google News dan saluran WhatsApp

Komentar Facebook