Refleksi 6 Tahun Keadilan Restoratif di Indonesia, Bagaimana dengan Aceh?

Gambar ilustrasi. [Foto: Jurnalpost.com]

THEACEHPOST.COM | Banda Aceh – Penegakan hukum secara restorative justice (keadilan restoratif) mulai menggelora sejak tahun 2018 hingga sekarang.

banner 72x960

Pada tahun 2018, Kapolri mengeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 tanggal 27 Juli 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Pidana.

Kemudian tahun 2019, Kejaksaan mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Lalu di tahun-tahun berikutnya, dikeluarkan berbagai pokok aturan tersebut hingga pada akhirnya terbit pedoman penanganan perkara dengan pendekatan restoratif berdasarkan kriteria dan ketentuan tertentu.

Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Dr H Taqwaddin mengatakan, terkait dengan keadilan restoratif, sebetulnya hal tersebut sudah lama dipraktikkan dan sudah menjadi budaya hukum di masyarakat Aceh dalam penyelesaian perselisihan secara adat.

Apalagi dengan mengacu pada Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), telah dibentuk Peraturan Daerah (Perda) atau Qanun Aceh tentang Adat Istiadat yang didalamnya juga mengatur tata cara penyelesaian sengketa secara adat.

“Kami sudah membuktikan melalui riset pada tahun 2012 bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap penyelesaian sengketa secara adat mencapai angka lebih dari 90 persen. Mekanisme penyelesaian perselisihan secara adat ini bagaikan restorative justice yang dikenal sekarang,” ujar Taqwaddin, Banda Aceh, Jumat (12/7/2024).

Lebih lanjut, Taqwaddin menjelaskan, restorative justice merupakan sebuah proses yang melibatkan multipihak untuk mewujudkan keadilan yang konkrit. Dalam hal ini, tugas utama seorang hakim ialah mengadili dan memutuskan untuk memberikan keadilan konkrit. Putusan hakim harus bermanfaat dan memberikan kepastian.

Menurut Taqwaddin, langkah untuk mewujudkan keadilan kongkrit bisa ditempuh melalui litigasi atau non-litigasi, baik berupa mediasi, rekonsiliasi, ajudikasi ataupun restorasi.

“Inti dari keadilan restoratif adalah pemulihan yang dalam terminologi hukum adat Aceh disebut peujroh. Hukum peujroh ini adalah budaya Aceh untuk mewujudkan keharmonisan kembali antara pelaku, korban, dan masyarakat setelah terjadi permasalahan hukum, termasuk karena adanya kejahatan jinayah,” pungkasnya. (Akhyar)

Baca berita The Aceh Post lainnya di Google News

Komentar Facebook