Refleksi 15 Tahun Perdamaian Aceh. (Kunci Perdamaian Aceh, UUPA dan MoU Helsinki)

Oleh: Mukhsin Rizal., S.Hum. M.Ag

banner 72x960

Terkait perdamaian Aceh perkenankan saya mengajak kita merenung sejenak apa yang terjadi di Aceh 15 tahun yang lalu. Kurun waktu 15 tahun, membuat pikiran kita terasa memudar tentang kenangan pilu yang merenyuh hati.

Konflik, ya.. konflik, saat itu kita kehilangan kepercayaan antar sesama anak bangsa, curiga mencurigai, hidup identik dengan kekerasan, pemerasan dan bahkan kita tidak lagi percaya kepada jiran.

Lebih ironis lagi, ekonomi kita tidak jelas, pembangunan terhambat, pendidikan hilang format, pemuda ramai- ramai merantau meninggalkan Aceh.

Mereka memilih aman agar hidup tenang, tidak kena teror dan tidak kena sepak (troem dan bosoh pree). Hal yang lumrah, mereka menganggap Aceh sudah tidak punya kepastian menyambung hidup, mungkin negeri orang lebih subur untuk mengantungkan harapan.

Hidup di negeri orang, mesti kerja keras sebagai buruh kasar tetapi dapat tidur tenang, nyaman walau makan tidak menentu. Itu terasa lebih baik ketimbang harus bertahan ditengah bisingan peluru. Ibarat falsafah orang tua dulu “lagee kameng meukurap dikap le Asee”.

Bilapun tidak punya pilihan lain, harus menyambung hidup di negeri sendiri saat itu, meski punya tanah, rumah dan dekat dengan keluarga tetapi saban hari kita khawatir dengan apa yang akan menimpa kita nanti malam atau esok hari.

Karena fakta yang disajikan tiap hari, terdengar letuasan senjata, saban hari terdengar kabar penemuan mayat dengan bekas siksaan di seluruh tubuh.

Saban hari terdengar penculikan, saban hari terdengar pemukulan.

Konflik…konflik, kapan engkau berakhir. Itu yang terbersit dihati setiap penduduk Aceh saat itu. Tidak ada yang berpikir bahwa Aceh akan menjadi seperti saat sekarang ini.

Fakta bahwa Aceh berduka menjadi pontret tersendiri bagi saudara kita di dearah lain. Mereka menstikma Aceh sebagai orang-orang yang keras dan bahkan seluruh orang Aceh di klaim GAM saat itu.

Stikma ini berkembang, sehingga orang Aceh yang tinggal di luar Aceh dianggap sebagai GAM yang melarikan diri. Terbayang bagimana tidak nyamannya menjadi warga Aceh saat itu, apalagi dengan KTP merah putih.

Belum kering air mata darah akibat kecamuk perang, 26 Desember 2004, Tsunami datang dan meluluh lantakan Bumi Aceh, dengan korban kurang lebih 200.000 jiwa. Ribuan yatim piatu melunta entah kemana, janda miskin kehilangan tempat tinggal, Allahu Akbar, astagfirullahul azim.

Fakta ini membuat dunia menangis, saudara-saudara kita di seluruh Indonesia terpanggil untuk membantu, para pihak di Acehpun terpanggil secara terstruktur untuk duduk berunding membicarakan persoalan Aceh lebih serius tanpa ada korban anak bangsa.

Tepat pada tanggal 15 Agustus 2005, GAM dan RI menandatangani perjanjian Damai atau lebih dikenal dengan MoU Helsinky.

Ini babak baru bagi pembangunan Aceh, tersirat di butir-butir MoU Helsinky masa depan Aceh yang cerah, kehidupan rakyat yang nyaman, ibadah yang tenang, kehidupan ekonomi yang makmur, kesejahteraan masyarakat. serta penghidupan yang layak bagi seluruh masyarakat Aceh.

Setelah tanggal itu, pemuda Aceh diperantaun berduyun-duyun pulang melepas kerinduan kepada tanah kelahirannya. Air mata bahagia keluar dari mata orang tua, sanak saudara yang ditinggalkan selama ini.

Bagi anggota GAM, mereka sudah dapat pulang kerumah, berkumpul bersama anak istri tanpa harus khawatir akan ditangkap oleh TNI/POLRI

Bagi anggota TNI/POLRi mereka sudah dapat ngopi dan tesenyum lepas di warung-warung kopi Gampong tanpa harus khawatir akan diserang oleh GAM. Mereka nyaman di wilayah kerja dan tidak khawatir keselamatan anak istri mereka.

Bagi nelayan mereka sudah bisa berlayar tanpa khawatir, para petani, pekebun sudah dapat bersawah dan berkebun dengan tenang.

Anak sekolah sudah dapat bersekolah dengan normal, mahasiswa sudah dapat kuliah dengan tenang tanpa harus turun kejalan dan nantinya hilang tiba-tiba.

Pegawai negeri sipil sudah bisa memakai pakaian dinas sejak dari rumah, dan bekerja sebagai pelayan masyarakat.

Secercah harapan baru terasa telah tiba, permusuhan akibat perang hanya tinggal cerita. Jiran tentangga kembali menjadi perisai hidup tempat berbagi keluh kesah.

Sistem politik daerahpun menyesuaikan dengan turunan MoU Helsinky. Lembaga keistimewaan dan kekhususan Aceh hadir sebagai resolusi konflik Aceh. Kuncuran biaya diat, pemberdayaan ekonomi, bantuan kesehatan, bantuan pendidikan serta kebijakan Lainnya terus menguat untuk menuju Aceh yang aman selamanya

Sekarang sudah 15 Agustus 2020 artiya sudah 15 tahun penandatanganan perdamaian Aceh berlalu.

Banyak tokoh pengambil kebijakan saat itu sudah berganti, banyak saksi sejarah telah meninggal, banyak program kegiatan yang sudah menyesuaikan dengan kondisi zaman. Ini lumrah karena soalan masa

Perdamaian Aceh laksana kehidupan perkawinan dua orang anak manusia yang dijodohkan dari suku berbeda, meskipun telah melahirkan anak jika cinta tidak tumbuh dihati keduanya maka saya yakin perceraian akan terjadi di suatu masa.

Oleh karena itu kedua insan yang dijodohkan harus pandai-pandai membangkitkan romantisme dan saling menghargai budaya suku masing masing agar keduanya merasa saling dihargai. Tetapi jika tidak, maka keduanya saling merasa curiga mencurigai.

Semoga perdamiaan Aceh akan bertahan sampai bila- bila masa.

Konkritnya upaya untuk mempertahankan perdamiaan ada banyak cara diantaranya menurut saya ialah dengan mensosialisasikan kembali butir butir perdamaian sebagai bentuk kebersamaan para pihak.

kemudian mensosialisasikan kembali kewenangaan Pemerintahan Aceh yang dan diamanahkan oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh kepada lembaga/Kementerian/Badan, karena jika undang-undang ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka dengan mudah rasa ragu menyelimuti para pihak.

Kunci perdamaian Aceh ada pada realisasi UUPA dan MoU Helsinki. selebihnya perlu ada dokumentasi lengkap terhadap korban saat konflik Aceh dulu baik kalangan GAM, TNI/POLRI maupun Masyarakat, mereka terbukukan dalam naskah tersendiri sebagai bentuk kepedulian kita terhadap mereka yang telah gugur dalam memperjuangkan keyakinan berbangsa.

Bentuk penghargaan ini harus sama dirasakan secara utuh oleh semua lapisan masyarakat. Jika ini kita lakukan, maka kita sedang membunuh rasa curiga mencurigai dan menumbuhkan rasa saling mengenal serta pengakuan mereka sebagai anak bangsa.

Wallahu ‘alam bisaawab

Penulis adalah Alumni mahasiswa Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry konsentrasi Sejarah dan Tamaddun Islam.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *