Pulot Lambaro, Kecil Barangnya Dahsyat Rasanya

Ilustrasi pulot.

KALAU ingin menikmati sensasi luar biasa dari beragam produk kuliner, datanglah ke Aceh. Kenikmatan yang akan didapat bukan hanya pada jenis makanan utama tetapi juga makanan ringan termasuk aneka penganan khas yang dijajakan di piggir jalan sekali pun. Berikut catatan Usamah El-Madny dari Theacehpost.com tentang satu jenis penganan bernama pulot yang dijajakan di Lambaro (pusat pasar di Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar). 

banner 72x960

 

Bahan pembuatannya boleh saja sama, tapi citarasa yang enak—bahkan enak sekali—akan ditentukan dari cara pengolahan.

Rumusan di atas juga berlaku untuk pulot, sebuah panganan khas Aceh yang dibuat dari beras pulut dibalut daun pisang dan dimasak dengan bara api alias ngeu.

Pada awalnya, zaman dahulu, semua pulot Aceh enak. Karena yg membuatnya —terutama ibu ibu — memiliki talenta dan keahlian yang sama.

Akhir-akhir ini rasa pulot Aceh tidak semua enak. Ada yang enak sekali, enak dan tidak enak.

Penyebabnya, karena sebagian pembuat pulot tidak memiliki keahlian tradisional.

Mereka hanya mampu meniru bentuk pulot, tapi tak mampu menghadirkan rasa pulot sesungguhnya.

Misalnya, di beberapa pinggir jalan di Banda Aceh akhir-akhir ini ramai penjual pulot. Tapi kebanyakan rasanya jauh dari rasa pulot yang asli.

Penyebabnya sederhana, cara buatnya sedikit keliru.

Pulot tradisional yang enak itu dimulai dengan merendam beras pulut yang sudah dibersihkan dengan pati santan.

Ke dalamnya dicampur garam dan gula seusai kebutuhan. Ditambah daun pandan dan irisan bawang merah untuk aroma.

Setelah rendaman beras pulut itu lembut (biasanya direndam malam dibuat pagi) lalu dibungkus daun pisang dan dipanggang di atas bara — bukan api menyala — dengan kadar panas yang stabil. Hasilnya luar biasa, pulut yang enak dengan keraknya yang maknyus.

Di beberapa pinggir jalan, cara membuatnya tidak demikian. Beras pulut mereka masak jadi nasi pulut — bu leukat— lalu dibungkus daun pisang dan dipanggang di atas api menyala. Hasilnya memang ‘pulot’ tetapi rasanya jauh dari harapan.  Dengan kata lain, tampilan luarnya menggoda tapi isi dalamnya mengundang kecewa.

Sebagai orang Aceh setiap waktu saya ingat pulot dan ingin makan pulot khas Aceh yang enak.

Sebagaimana juga saya selalu ingat apam yang enak itu.

Ketika ingat pulot, saya ingat almarhumah Ummi di kampung. Beliau salah seorang chef pulot hebat sepanjang ingatan saya.

Pulot buatan Ummi bukan hanya enak, tapi beliau juga selalu tahu, tanpa harus diberitahu, kapan anak bungsunya ini teringat pulot. Luar biasa, Allahummaghfirlahaa warhamha…

Hingga saat ini belum banyak saya temukan tempat penjualan pulot enak. Untuk sementara ini,  ya, di warkop langganan saya di Lamboro Kafe yang dekat pengolahan air PDAM itu.

Di tempat ini, cita rasa pulot Aceh mendekati sempurna, paling tidak sesuai lidah saya.

Pulot di tempat langganan saya itu kecil mungil memang, sehingga membutuhkan lebih dari satu agar terasa di lambung.

Pulot Lambaro memang enak, makanya tak ada yang komplain kalaupun bentuknya kecil. Malah ada yang menyebut, “Pulot Lambaro, kecil barangnya dahsyat rasanya.”

Nyan ban, peu gata kalueh kupi sikhan tamah saboh pulot? []

 

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *