Presiden Harus Ketuk Palu, “Pilkada Aceh 2022”

M. Akmal

Oleh Dr. M. Akmal, MA*)

banner 72x960

SETELAH membaca berita pertemuan Ketua DPR Aceh, Dahlan Sulaiman dengan Menkopolhukam, Mahfud MD dalam rangka koordinasi pelaksanaan Pilkada Aceh 2022, muncul sekilas pertanyaan dari lubuk hati kita sebagai rakyat Aceh. Sebenarnya pilkada itu milik siapa? Kekhususan Aceh itu siapa yang punya? Aceh ini masih dihargai atau hanya dibanggakan?

Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah kelompok oligarki politik nasional masih mau mendengar aspirasi Ketua DPR Aceh?

Apakah pertemuan itu hanya sandiwara atau permainan retorika politik nasional yang dimainkan oleh Pak Mahfud?

Kita semua tahu bagaimana cengkeraman politik oligarki menggenggam niat politik sipil Pak Jokowi.

Kekuatan politik civil society nasional saat ini hampir tidak mampu diayomi oleh Presiden sebagai pengayom politik bangsa.

Hak-hak politik Aceh seperti Pilkada 2022 yang merupakan perintah UU Nasional (UUPA) terkena imbas kepentingan oligarki politik yang menginginkan Pilkada serentak 2024.

Dimana posisi Presiden sebagai pembina politik dengan tekanan-tekanan kepentingan dari kelompok ini?

Kita tidak optimis dengan gerakan yang ingin dicoba lakukan oleh Mahfud MD sebagai Menkopolhukam. Kita masih melihat itu sebatas retorika saja.

Meskipun demikian ada harapan—sambil berdoa—mari kita melihat setiap niat baik politik nasional terhadap Aceh saat ini.

Kita masih inginkan adanya perubahan perilaku politik nasional. Kita semua tahu bahwa tidak ada perubahan politik nasional terhadap Pilkada Aceh 2022.

Itu sudah tertulis jelas dalam Undang-undang. Yang terjadi saat ini adalah perilaku politik elite politik nasional yang ingin mengorbankan UU Nasional (UU PA No. 11 Tahun 2006, yaitu UU kekhususan Aceh yang memang daerah Otsus).

Yang diperlukan saat ini adalah perubahan perilaku elite pilitik nasional.

Perilaku politik nasional saat ini cenderung sangat memihak kepada sistem oligarki.

Proses politik yang diselenggarakan saat ini sangat transaksional. Pengaruh ‘one man one foot’ sangat medorong terjadinya praktik money politics, baik itu secara langsung dilakukan oleh parpol (dengan istilah mahar politik/upeti pilitik) atau transaksi bergaining dari group interests dan vasted interests. Hal ini yang dilakukan oleh pemangku modal politik sebagai tim lobbyist dalam sistem negara yang ingin bertahan dalam kemapanan yang menguntungkan secara ekonomi dan lingkaran bisnis mereka.

Sebagaimana yang kita pahami, oligarki politik adalah sebuah struktur pemerintahan di mana kekuasaan berpusat hanya pada sekelompok orang. Seringkali golongan ini mengendalikan kekuasaan sesuai dengan kepentingan mereka sendiri.

Menurut Aristoteles, oligarki yang makna literalnya dapat diterjemahkan menjadi ‘kekuasaan oleh segelintir orang’ merupakan manifestasi pemerintahan yang buruk.

Oleh karena sifatnya yang elitis dan eksklusif—terlebih lagi biasanya beranggotakan kaum kaya—oligarki tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat luas dan yang membutuhkan.

Definisi oligarki politik sekarang sudah dimodifikasi sedemikian rupa agar dapat mencakup isu-isu kontemporer abad ke-21.

Sebagaimana ditulis oleh Professor Jeffrey A. Winters dari Northwestern University, dalam bukunya, “Oligarchy,” yaitu seseorang dengan dana yang cukup untuk melindungi “wealth defense industry” atau “industri perlindungan kekayaan.”

Contoh dari industri ini dalam konteks kontemporer adalah pengacara, akuntan, lobbyists, konsultan, dan agen-agen lain.

Kita semua akan semakin paham melihat politik transaksional yang terjadi saat ini di negeri kita, sungguh itu adalah hasil karya oligarki.

Lantas apa solusinya untuk Aceh?

Apakah masih bisa melaksanakan Pilkada 2022, sementara para “oligar” Jakarta tetap ingin Pilkada serentak 2024.

Tentu harapan itu masih ada. Presiden masih bisa menjinakkan elite-elite oligar yang ada dan melilit di sekeliling tubuhnya dengan cara memperlihatkan DIY, misalnya.

Presiden harus bisa meyakinkan dan memberi jaminan kepada oligar-oligar Aceh yang ada di Jakarta dan di Aceh, bahwa siapa pun yang akan terpilih menjadi Gubernur, Bupati, Wali Kota dalam Pilkada Aceh 2022 akan menjamin jaringan modal/bisnis dan kepentingan mereka.

Jadi kesimpulannya secara langsung atau tidak, Presiden Jokowi harus melakukan transaksi politik yang khusus dengan kaum oligar dan yang paling penting juga Presiden harus bisa meyakinkan kelompoknya atau yang menugaskannya sebagai Presiden RI, bahwa jika Pilkada Aceh dilaksanakan 2022 tidak akan menjadi kunci pembuka bagi daerah-daerah lain yang ingin ikut-ikutan melaksanakan Pilkada 2022.

Presiden harus ketuk palu: ini keputusan politik nasional hanya untuk Aceh saja.

*) Penulis Adalah Dosen Ilmu Politik, Fisip Unimal, Aceh.

 

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *