PORA Pidie dan Pentingnya Pendidikan Olahraga
Oleh: Mulyadi Nurdin Lc MH (Kepala BKPSDM Pidie/ Alumni Lemhannas RI/ Kepala Biro Humas dan Protokol Provinsi Aceh tahun 2017-2018)
Pekan Olahraga Aceh (PORA) XIV yang berlangsung di Pidie baru saja berakhir. Kegiatan yang berlangsung dari tanggal 10 sampai 22 Desember 2022 tersebut menempatkan Pidie sebagai juara umum.
Even terbesar di Aceh tersebut mempertandingkan 36 cabang olahraga tersebut, diikuti oleh 4.697 atlet dari 23 kabupaten dan kota di Provinsi Aceh, pastinya memunculkan kejutan dan eforia tersendiri bagi warga Aceh.
Kesuksesan pelaksanaan PORA yang berlangsung dalam cuaca ekstrim, di musim hujan, merupakan prestasi besar Pj Bupati Pidie Wahyudi Adisiswanto sebagai tuan rumah, yang tentunya juga kesuksesan Pj Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, KONI, serta kepanitiaan baik di tingkat Provinsi Aceh maupun di Pidie.
Kalau Qatar sukses besar dalam melaksanakan Piala dunia sepak bola FIFA World Cup, maka Pidie juga tidak kalah sukses dalam menggelar PORA kali ini, bahkan Pidie juga berhasil meraih medali terbanyak setelah mengumpulkan 123 medali emas, 74 perak, dan 89 perunggu. Berbeda dengan Qatar yang lebih cepat tersingkir dari laga Piala Dunia di kandang sendiri.
Sebuah rekor buruk pun ditorehkan Qatar, yang menjadi tuan rumah pertama dalam sejarah Piala Dunia yang tersingkir setelah dua pertandingan.
Kesuksesan dalam setiap even tidak terjadi secara kebetulan, tetapi diawali dengan perencanaan yang matang, Kekompakan tim dalam pelaksanaan, serta dukungan seluruh stakeholders yang ada.
Terkait dengan PORA, dalam beberapa kali meeting, Pj Bupati Pidie Wahyudi Adisiswanto menyebutkan strategi mensukseskan PORA yaitu persiapan yang matang Sebelum pelaksanaan, di saat pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan PORA. Hal itu telah terbukti sukses terlaksana tanpa insiden yang berarti.
Kaderisasi
Mungkin orang bertanya-tanya darimana lahirnya atlet berprestasi di berbagai cabang olahraga tersebut, sedangkan di Aceh tidak tersedia sekolah khusus di bidang olahraga.
Pertanyaan yang tentunya sulit untuk dijawab, karena para atlet di Aceh sejauh ini lebih banyak belajar mandiri daripada menempuh jalur pendidikan khusus di bidang olahraga.
Persoalan kaderisasi olahraga menjadi salah satu faktor yang membuat prestasi olahraga kita secara nasional masih kalah dibanding negara lain.
Misalnya di bidang sepak bola, Indonesia menduduki peringkat ke-30 di Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC), dan peringkat ke-5 di Asia Tenggara. Sedangkan di tingkat dunia, menurut laporan Ranking FIFA akhir Maret lalu, Indonesia menempati peringkat ke-159 di dunia, masih di bawah Malaysia yang berada di urutan ke-148.
Hal itu tidak sebanding dengan penggemar olahraga di Indonesia yang sangat banyak malah ada yang fanatik dengan bintang dan klub di luar negeri.
Pendidikan Olahraga
Idealnya prestasi diraih melalui pendidikan dan pengkaderan yang terstruktur dengan baik, dan tidak diraih secara kebetulan atau otodidak.
Misalnya seorang Lionel Messi merupakan didikan dari akademi sepak bola milik FC Barcelona, La Masia de Can Planes.
Demikian halnya dengan Diego Armando Maradona merupakan alumni akademi Argentinos Juniors yang dijuluki “Ajax Amsterdam dari Amerika Latin”.
Cristiano Ronaldo merupakan alumni Akademi sepakbola Sporting Lisbon, Akademi yang juga telah menghasilkan ratusan pemain yang berkontribusi dalam timnas di berbagai tingkat laga maupun klub.
Sedangkan Akademi sepak bola di Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai persoalan mendasar seperti pengelolaan dan manajemen yang belum dikelola secara profesional, kurangnya pelatih lokal yang handal, kompetisi lokal yang masih buruk, serta kurangnya pembinaan usia dini.
Bagi masyarakat kita sekolah olahraga belum menjadi prioritas karena lapangan kerja di sektor tersebut dianggap minim, sementara di benua lain, sektor olahraga menjadi ladang bisnis raksasa yang melahirkan perputaran uang sangat besar, sehingga atlet dibayar sangat mahal.
Sewaktu penulis masih di bangku sekolah pada tahun 1990,-an terdapat pelajaran Olahraga dan Kesehatan yang disingkat dengan ORKES, sekali dalam sepekan, tetapi ilmu olahraga yang didapat dari pendidikan tersebut lebih banyak teori daripada praktek, misalnya materi pelajaran Sepak Bola lebih banyak membahas teori sepak bola, luas lapangan, jumlah pemain, sedangkan praktek main bola nyaris tidak ada, apalagi sebagian sekolah terletak jauh dari lapangan bola kaki dan jarang ada sekolah yang memiliki lapangan olahraga sendiri.
Pendidikan teoritis yang berlangsung turun temurun tersebut akan menyulitkan bangsa kita dalam mendapatkan atlet handal ketika ada even olahraga baik tingkat daerah, nasional, serta internasional.
Dalam pendidikan formal saat ini jarang ada pemetaan bakat siswa khususnya di bidang olahraga, tetapi sering kali siswa ditempatkan oleh guru dalam kelas berdasarkan rangking atau nilai rapor, bukan pilihan siswa itu sendiri atau bukan hasil pemetaan bakat siswa.
Dalam men-tracking bakat siswa tentu diperlukan strategi tersendiri dan harus dilakukan sejak dini.
Seorang anak yang memiliki bakat bawaan sejak lahir mempunyai potensi lebih dominan dibandingkan dengan yang tidak memiliki bakat bawaan, jadi mencari bibit atlet berpotensi sangat penting.
Selanjutnya jika pencarian bakat sudah sesuai dengan potensi anak, akan menghindari pemborosan dalam proses pembinaan.
Idealnya setelah ada pemetaan bakat anak sejak dini, dilakukan pembinaan sesuai potensi, dengan memprioritaskan pada sektor olahraga prestasi yang sering diperlombakan.
Misalnya memfokuskan pada pembinaan cabang olahraga yang dipertandingkan dalam Olympic Games, Asian Games dan SEA Games.
Selanjutnya memeilih pembinaan pada cabang olahraga yang sesuai dengan krakteristik postur tubuh manusia Indonesia, olahraga yang menyediakan medali banyak, cabang olahraga yang berpeluang dikembangkan dalam geografis daerah, cabang olahraga yang memiliki unsur pendukung pelatih, atlet, fasilitas, sarana dan prasarana.
ika pembinaan dilakukan berbasis olahraga prestasi, maka seorang anak akan siap pakai ketika ada even olahraga prestasi, baik di tingkat Provinsi, Nasional, dan Internasional.
Sering kali kita bangga ketika seorang anak berprestasi mengharumkan nama daerahnya, sedangkan kita tidak berkontribusi dalam membina dan melatihnya.
Kebiasaan itu harus kita balik, dengan melibatkan semua pihak dalam kaderisasi atlet, tracking bakat, pembinaan, dan men-support semua kebutuhannya sejak dini hingga menghasilkan prestasi yang diharapkan.