Pilkada 2024: Ulama Aceh di Persimpangan Politik dan Syariat

Dosen Universitas Islam Al-Aziziyah Indonesia (UNISAI), Saiful Bahri. [Foto: Istimewa]

THEACEHPOST.COM – Pilkada 2024 di Aceh bukan sekadar kompetisi politik; ia juga menjadi ajang penentuan arah kepemimpinan yang akan membawa amanah syariat Islam ke depan.

banner 72x960

Di tengah kancah ini, ulama Aceh menemukan diri mereka di persimpangan yang menentukan, antara tanggung jawab moral untuk menjaga kemurnian syariat dan realitas politik yang seringkali penuh dengan kompromi.

Keterlibatan ulama dalam politik memunculkan pertanyaan mendasar: Bagaimana ulama dapat menavigasi kompleksitas politik tanpa mengorbankan prinsip-prinsip syariat yang mereka junjung tinggi?

Kewajiban Menegakkan Keadilan

Dalam Alquran, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58).

Ayat ini menegaskan pentingnya keadilan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam kepemimpinan dan pemerintahan. Ulama yang terlibat dalam politik memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip keadilan sesuai dengan syariat tetap terjaga dalam proses dan hasil Pilkada.

Namun, tantangan yang dihadapi ulama adalah bagaimana menyeimbangkan kepentingan politik dengan tuntutan untuk menegakkan keadilan. Dalam realitas politik, kompromi seringkali menjadi keniscayaan. Di sinilah ulama harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam kompromi yang justru merugikan nilai-nilai Islam yang mereka perjuangkan.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Politik

Salah satu peran utama ulama adalah melakukan amar ma’ruf nahi munkar—menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam konteks politik, ini berarti ulama harus aktif berperan dalam memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah daerah selaras dengan ajaran Islam. Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya dengan tangannya (kekuasaannya); jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).

Dengan terlibat dalam politik, ulama memiliki peluang untuk mengarahkan kebijakan publik agar tidak menyimpang dari syariat. Namun, mereka juga dihadapkan pada dilema bagaimana menjaga integritas dan kemurnian perjuangan mereka di tengah tekanan dan dinamika politik yang seringkali penuh dengan kepentingan yang saling bertentangan.

Menjaga Amanah Kepemimpinan

Kepemimpinan dalam Islam adalah amanah besar. Rasulullah Saw menekankan bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam Pilkada 2024, ulama yang terlibat dalam proses politik harus menyadari bahwa mereka memegang amanah besar untuk menegakkan syariat Islam melalui jalur politik.

Akan tetapi, posisi sebagai pemimpin politik juga menuntut ulama untuk berinteraksi dengan berbagai elemen masyarakat yang memiliki pandangan dan kepentingan berbeda-beda. Ulama harus mampu mempertahankan prinsip tanpa terjebak dalam permainan politik yang bisa melemahkan amanah yang mereka emban.

Menghindari Fitnah dan Kerusakan

Fitnah, dalam konteks politik, dapat menghancurkan tatanan sosial dan moral dalam masyarakat. Al-Qur’an mengingatkan kita, “Fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah: 217).

Ketika ulama memasuki ranah politik, mereka menghadapi risiko fitnah, baik terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap institusi agama yang mereka wakili. Oleh karena itu, ulama sangat berhati-hati dalam setiap langkah mereka, agar keterlibatan mereka dalam politik tidak justru menimbulkan fitnah yang merusak reputasi Islam dan komunitas muslim di Aceh.

Jalan Tengah di Persimpangan

Pilkada 2024 menempatkan ulama Aceh di persimpangan antara politik dan syariat. Keterlibatan ulama dalam politik bisa menjadi sarana untuk menegakkan syariat dan memperjuangkan keadilan, namun juga menghadirkan tantangan besar dalam menjaga integritas dan amanah.

Dalam menghadapi persimpangan ini, ulama sangat cerdas dan sangat berhati-hati, memastikan bahwa setiap langkah politik yang mereka ambil tidak mengorbankan prinsip-prinsip syariat yang mereka perjuangkan. Dengan demikian, mereka bisa menjadi pemimpin yang tidak hanya adil di hadapan manusia, tetapi juga bertanggung jawab di hadapan Allah SWT.

 

Penulis: Saiful Bahri

Dosen Universitas Islam Al-Aziziyah Indonesia (UNISAI)

Baca opini The Aceh Post lainnya di Google News

Komentar Facebook