Peringatan Hari Santri dan Refleksi Qanun Aceh No 9 Tahun 2018 tentang Penyelenggaran Pendidikan Dayah

Mukhsin Rizal, S.Hum., M.Ag., M.Si.

Oleh: Mukhsin Rizal*

banner 72x960

Memulai tulisan ini, penulis coba untuk menggambarkan tentang sejarah dan peran santri dalam penyelenggaraan pendidikan islam dan konstribusinya terhadap negara, kita mulai dengan lembaga pendidikan Islam tertua di Aceh yaitu Dayah (–bahasa Aceh) atau sering disebut juga pesantren di Jawa atau surau di Padang atau pondok di Thailand.

Kata Dayah itu sendiri berasal dari bahasa Arab “zawiyah”. istilah zawiyah itu sendiri bermakna sudut, yang kalau dilihat dari salah satu sejarahnya dan diyakini oleh masyarakat Aceh, bahwa pertama sekali Rasulullah menggunakan sudut mesjid Medinah ketika Nabi memberi pelajaran kepada para sahabat di awal Islam.

Pada abad pertengahan, kata zawiyah dipahami sebagai pusat agama dan kehidupan sufi yang kebiasaannya menghabiskan waktu di perantauan. lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama dan pada waktu-waktu tertentu zawiyah juga dijadikan sebagai pondok bagi pencari kehidupan spiritual, nama Zawiyah juga kemudian sampai ke Aceh.

Dalam bahasa Aceh zawiyah itu akhirnya berubah menjadi Dayah karena dipengaruhi oleh bahasa Aceh yang pada dasarnya tidak memiliki bunyi “Z” dan cendrung memendekkan.

Dayah menjadi lembaga pendidikan islam yang mendapat dukungan penuh kerajaan Aceh Darussalam tempoe dulu, kemudian dalam sejarahnya tumbuh dan tenggelam seiring dengan perjalanan sejarah Aceh itu sendiri.

Dayah yang merupakan lembaga pendidikan Islam dengan bertujuan untuk membimbing anak didik (Aneuk Dayah, santri, thalabah) untuk menjadi manusia yang berkepribadian islami, untuk menjadi pengayom umat dan berguna bagi bangsa dan negara serta agama.

Dalam Qanun 9 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dayah, definisi Dayah sendiri merupakan lembaga pendidikan islam yang berbasis masyarakat dan dipimpin oleh seorang ulama, mengajarkan kita turast yang muktabar kepada santri yang menetap sedangkan tujuan pendidikan dayah itu sendiri menurut qanun tersebut didefinisikan sebagai satuan pendidikan yang khusus menyelenggarakan pendidikan agama islam yang bersumber dari kitab kuning yang bertujuan mengembangkan kemampuan, pengetahuan dan ketrampilan thalabah untuk menjadi ahli ilmu agama (mutafaqqih fiddin) atau muslim yang memiliki keterampilan dan keahlian untuk membangun kehidupan yang islami dalam masyarakat.

Definisi tersebut diatas bermuara pada pengharapan dayah akan melahirkan insan-insan yang menekankan pentingnya penerapan akhlak agama Islam yang merupakan pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.

Bila ditinjau dari sudut historis kultural, Dayah di Aceh dapat dikatakan sebagai pusat pelatihan yang secara otomatis menjadi pusat budaya Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat di Aceh.

Keberadaan Dayah di Aceh sudah ada sejak aband ke 10, hal ini terbukti dimana istilah dayah sudah cukup populer di masyarakat Aceh, misalkan penyebutan dayah Cot Kala pada abad ke-10 M, yang juga merupakan dayah pertama di Asia Tenggara, di dayah ini diajarkan pelajaran agama dan pelajaran umum, fungsi dayah pada waktu itu masih terbatas untuk tujuan mengislamisasikan masyarakat disekitar dayah dan untuk menjaga pengamalan Islam oleh pemeluk-pemeluk Islam di sekitar dayah.

Kerajaan Islam Aceh Darusalam pada abad ke 17 masih dicatat sebagai salah satu negara yang kuat dan maju di antara 5 (lima) negara di dunia yaitu kerajaan Muqhal di India, kerajaan Safawi di Isfahan, Kerajaan Islam Maroko di Maroko, Kerajaan Turki usmani di Turki dan Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Aceh.

Sebuah negara akan kuat kalau kuat ekonomi, politik dan militernya. Untuk meng-cover semua itu sudah pasti melalui pendidikan. Pada abad tersebut belum dikenal sistem pendidikan sekolah seperti sekolah sekarang ini, satu-satunya tempat belajar untuk umum adalah dayah sedangkan meunasah berfungsi sebagai tempat belajar anak-anak di kampung dan orang-orang tua dalam bidang agama.

Dalam perjalanannya dayah telah melahirkan banyak sekali ulama yang terkenal, baik dari segi keilmuannya juga dari sumbangsihnya kepada negara. Banyak ulama-ulama Aceh yang syahid saat perang melawan penjajah, membela tanah air, contohnya Teungku Chik Di Tiro, Teungku Chik Kuta Karang, Teungku Fakinah dan seumpama beliau.

Selain itu gerakan perlawanan terhadap kolonialisasi terus bergelora sampai negara Indonesia merdeka, perlawanan terhadap penjajah juga melibatkan para santri sebagai pasukan yang siap syahid. Namun demikian saat kemerdekaan Indonesia, para santri dan kiayi sebagian besar kembali kedayah, pesantren, pondok untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan agama dengan system yang telah ada dan di ajarkan oleh guru –guru mereka.

Perkembangan dunia pendidikan Islam terus berkembang, di Aceh Dayah juga berkembang pesat dan bahkan saat ini ada 3 jenis dayah pertama Dayah salafiyah (tradisional), kedua Dayah Modern/ Terpadu dan ketiga dayah tahfizd.

Keberlanjutan Dayah sebagian besar dikelola oleh seorang pimpinan Dayah yang bila pimpinan wafat maka akan digantikan oleh pimpinan yang lain setelahnya, biasanya digantikan oleh anak dari pimpinan Dayah tersebut, atau juga dapat digantikan oleh menantu dan mungkin juga kerabat yang lain.

Keberadaan Dayah yang sudah lebih seribu tahun berkiprah di tengah-tengah masyarakat Aceh telah banyak memberi kontribusi, dalam sejarahnya kita menemukan kontribusi dayah dalam berbegai cabang ilmu, baik dalam bidang ilmu agama, kemasyarakatan, kenegaraan bahkan juga dalam bidang teknologi. Kerena hal tersebutlah alumni dayah mendapat tempat dalam masyarakat, tidak hanya didaerahnya sendiri Aceh, tetapi juga ditingkat internasional.

Hari santri nasional

Kompleksitas peran Dayah/Pesantren dalam memperjuangkan kemerdekaan dan membina masyarakat mendapat perhatian khusus pemerintah, khususnya spirit dan loyalitas santri pada tanah Air, loyalitas tersebut memuncak dengan munculnya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.

Resolusi Jihad tersebut merupakan seruan ulama- santri yang mewajibkan setiap muslim Indonesia untuk membela Tanah Air dan mempertahankan NKRI. Hal tersebut memicu pecahnya beberapa peristiwa perlawanan terhadap keinginan Belanda untuk kembali menduduki Indonesia, misalkan peristiwa 10 November 1945 di Surabaya yang selanjutnya diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Dasar perjuangan panjang inilah kemudian atas usul beberapa ulama dan ratusan santri Pondok Pesantren Babussalam, Desa Banjarejo, Malang, Jawa Timur pada 27 Juni 2014 mengusulkan hari santri yang dilakukan saat menerima kunjungan Joko Widodo yang kala itu merupakan calon presiden. Pada kesempatan tersebut, Jokowi menandatangani komitmennya untuk menjadikan tanggal 1 Muharram sebagai Hari Santri. Sumber laman web Nahdlatul Ulama (NU). Namun kemudian NU mengusulkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri. Yang dilator belakangi oleh pencetusan Resolusi Jihad oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari sebagai respons perlawanan terhadap Belanda yang kembali menyerang tanah air pasca kemerdekaan.

Sebagai ulang kaji adapun Fatwa Resolusi Jihad yang dimaksud berisi tiga poin, yakni:

  1. Hukum memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin, meskipun bagi orang fakir
  2. Hukum orang yang meninggal dalam peperangan melawan musuh (NICA) serta komplotan-komplotannya adalah mati syahid, dan
  3. Hukum untuk orang yang memecah persatuan kita sekarang ini, wajib dibunuh.

Pada tanggal 15 oktober 2015, presiden mengeluarkan Keputusan Presidden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri dan bagian dari perhatian negara terhadap perjuangan rakyat Indonesia, dan pada tanggal 15 Oktober 2019 lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren.

Sedangakan di Aceh, kepedulian Pemerintah terhadap pendidikan Dayah mulai terformal dimulai sejak tahun 2008 dengan lahirnya Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah yang bertugas mengurusi penyelenggaraan pendidikan dayah dengan didasari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan kemudian diperkuat dengan lahirlah Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan pendidikan Dayah yang ditandatangani pada tanggal 31 Desember 2018.

Kehadiran Qanun tersebut menjadi spirit tersendiri dalam penyelenggaraan pendidikan dayah, spirit tersebut harus terkemas dalam kondisi apapun, di peringatan hari santri 22 Oktober 2022, penulis berharap spirit Qanun 9 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dayah Aceh dapat menjadi nilai tersendiri dalam penguatan hak-hak santri serta dunia pendidikan dayah atau pesantren dalam perolehan hak dan pemenuhan kewajibannya serta upaya peningkatan dan penguatan penyelenggaraan pendidikan Dayah.

Sedikit merujuk ke Qanun yang dilahirkan oleh pemerintahan Aceh dalam rangka tindak lanjut terhadap kebutuhan aturan hukum dan rumusan kebijakan sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan dayah di Aceh. Adapun pengaturan dalam Qanun tersebut mengatur kewenangan diantaranya terkait :

  1. Kebijakan
  2. Pembiayaan,
  3. Kurikulum dan pengajaran,
  4. Sarana dan prasarana,
  5. Pembinaan terhadap pimpinan, pendidik, tenaga kependidikan dan thalabah,
  6. Penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan dayah,
  7. Pengelolaan dayah terpencil, dayah perbatasan dan dayah madrasah Ulumul Quran,
  8. Kerjasama,
  9. Pemberdayaan Ekonomi dayah, dan
  10. Bidang lain sesuai peraturan Perundang-undangan

Kesepuluh kewenangan tersebut kemudian menjadi hal penting sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan dayah di Aceh, agar terukur dan sistematis terhadap peran kehadiran pemerintah dalam penyelenggaraan dan pengelolaan dayah sebagai lembaga yang memberi kontribusi besar terhadap perjuangan kemerdekaan Bangsa.

Kembali ke Qanun kita coba untuk melihat beberapa hal yang urgent dalam rangka penguatan misalnya apa yang harus disiapkan oleh Instansi yang bertugas melakukan penyelenggaran pendidikan dayah disektor kebijakan diantaranya adalah:

  1. Melaksanakan koordinasi dan singkronisasi kebijakan dan program dengan kabupaten/kota
  2. Menetapkan standar pendidikan dayah
  3. Melaksanakan sosialisasi standar pendidikan dayah
  4. Melaksanakan fasilitasi peningkatan kompetensi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dayah
  5. Melaksanakan pengawasan terhadap pendirian satuan pendidikan dayah
  6. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan dayah
  7. Menyelenggarakan dan/atau mengelola pendidikan dayah bagi talabah berkebutuhan khusus
  8. Membantu memfasilitasi pendirian ma’had aly dan program studi yang dibutuhkan
  9. Melaksanakan sistem informasi manajemen pendidikan dayah
  10. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan berkaitan dengan pendidikan dayah
  11. Memfasilitasi kerjasama antar dayah baik dalam maupun luar negeri

Serta masih banyak persoalan lain yang diatur dalam Qanun tersebut sebagai dasar penyelenggaran pendidikan dayah dan bukti kepedulian pemerintah terhadap dunia pendidikan dayah di Aceh. Selain itu masih ada hal-hal yang mengakar yang perlu di aktualisasikan dan didiskusikan secara bersama untuk kemuslihatan dunia pendidikan Dayah.

Diluar itu perlu penguatan-penguatan secara terukur dan terstruktur agar ijazah yang dikeluarkan oleh dayah dapat dipakai dan diterima dimana saja, baik pemerintah maupun swasta, tentunya dengan formulasi manajemen tertentu yang menjadi basis dasar dunia pendidikan di dayah.

Akhirnya melalui tulisan ini penulis ucapakan selamat hari santri, semoga momentum peringatan hari santri tahun 2022 dapat menjadikan spirit terbaik dan semoga dunia pendidikan dayah sebagai pendidikan tertua di nusantara akan terus berkembang dan berjaya dalam mengisi dan memecahkan persoalan ummat.

Wallahualam bisawab. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan sidang pembaca.

*) Penulis adalah Alumni Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-raniry Banda Aceh, Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *