Peringatan Aceh Damai, Bukan Hanya Bahas MoU Helsinki dan Bendera
Theacehpost.com | Jakarta – Memperingati perdamaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia (RI) yang dilakukan setiap tahun, diharapkan tidak hanya selalu membahas isu MoU Helsinki dan Bendera. Tapi membangun Aceh kedepan.
Harapan itu dikatakan Aktivis Muda Aceh di Jakarta Husnul Jamil, dalam diskusi Refleksi 15 Tahun MoU Helsinki, yang digelar di Kantor Badan Penghubung Pemerintah Aceh (BPPA) di Jakarta, Sabtu 15 Agustus 2020.
Dalam acara secara virtual yang bertemakan “Mempertanyakan Integritas MoU Helsinki dan Nasib Re-generasi Aceh Masa Mendatang” itu, menghadirkan narasumber antara lain, Ketua Forbes DPR RI-DPD RI, Aceh Muhammad Nasir Djamil, Anggota DPD RI asal Aceh, Fachrul Razi, mantan Wakil Gunernur Aceh Periode 2007-2012, Muhammad Nazar dan Jurnalis Senior yang juga Pimpinan Redaksi The Jakarta Post, Nezar Patria.
Menurut Husnul, jika setiap tahun pembahasan hanya seputar MoU Helsinki dan bendera, Aceh kedepan tidak akan pernah maju. “Untuk itu kita mahasiswa Aceh dan pemuda Aceh di Jakarta meminta elit politik dan Pemerintah Aceh tidak terus menggoreng isu MoU Helsinki, dan persoalan bendera, karena itu bersifat provokatif,” katanya.
Akan tetapi, kata dia, seharusnya elit politik dan Pemerintah Aceh bergerak secara kolektif dengan membangun Aceh dimasa akan datang. “Saya berharap pemerintah Aceh kedepan siapapun pemimpinnya harus serius memikirkan masalah ini, terutama nasib generasi akan datang,” kata Husnul.
Apalagi tambahnya, dana otonomi khusus (otsus) hingga saat ini belum dapat mengurai pengangguran di Aceh. Padahal Otsus yang didapat dari pemerintah pusat bernilai puluhan triliunan. “Saya berharap kepada pemerintah Aceh ada serapan anggaran yang tepat sasaran, kalau tidak akan mengakibatkan degradasi kemunduran Aceh,” ujarnya.
Ketua Forbes DPR RI-DPD RI Aceh Muhammad Nasir Djamil, mengatakan MoU Helsinki merupakan sebuah jantung bagi rakyat Aceh. Untuk itu diharapkan jantung itu harus berdenyut dengan cara memompa. “Karena ini merupakan nasib generasi masa depan. Apalagi menyangkut aspek ekonomi masyarakat,” katanya.
Untuk itu Anggota Komisi III DPR RI itu mengharapkan kepada semua pelaku sejarah MoU Helsinki saat perundingan damai dulu jujur kepada masyarakat Aceh terkait isi butir-butir yang ditandatangani. “Karena dengan disampaikan butir-butir tersebut masyarakat bisa mengetahui isinya. Dan apakah sama dengan isi yang kita pahami saat ini,” ujarnya.
Sementara, Anggota DPD RI Fachrul Razi mengatakan, kunci yang paling penting saat ini adalah membangun kembali trust building kepercayaan bersama. Karena dianggap sudah 15 tahun perdamaian Aceh belum terbangun hal tersebut. “Sehingga akan berat jika itu tidak dilakukan. Jadi jika ingin membangun MoU Helsinki, trust building yang selama ini rusak harus diperbaiki,” ujarnya.
Mantan Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengatakan tetap bersyukur dengan apa yang sudah dicapai hingga saat ini. Apalagi sudah memasuki 15 tahun perdamaian Aceh.
“Walaupun ada kekurangan dalam pelaksanaannya. Namun tidak dicapai dengan baik, karena saya selalu mengatakan, bahwa dengan kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah,” kata Nazar.
Menurutnya, asalkan pada generasi sekarang ini tidak membuat kecelakaan sejarah baru. Karena di masa depan nanti juga akan menjadi sebuah sejarah.
Sementara itu Nezar Patria mengatakan, hasil kesepakatan MoU Helsinki melahirkan partai lokal di Aceh. Karena dianggap tidak semua daerah di Indonesia mempunyai partai lokal. “Ini juga menjadi sebuah warisan perdamaian bagi kita. Itu hasil dari MoU Helsinki. Dan itu hasil sejarah yang panjang,” katanya.
Untuk itu ia berharap semua pihak bisa memanfaatkan partai lokal tersebut. Karena, kata dia, kedaulatannya di Aceh bisa mengkonsolidasi sumber daya politik, sumber daya alam yang bisa membangunkan Aceh lebih baik. “Jadi sudah berjalan cukup jauh saya kira MoU Helsinki. Sehingga pada peringatan perdamaian Aceh, kita tidak lagi bebicara soal MoU Helsinki dan butirnya,” ujarnya.