Pepongoten, Tradisi Lisan Suku Gayo yang Masih Terjaga

Petugas Anjungan PKA Gayo Lues, Iqbal.

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Pepongoten, tradisi lisan khas Suku Gayo yang awalnya hanya dilaksanakan dalam ritual kematian, kini telah diubah menjadi pertunjukan seni tutur yang berkesan.

banner 72x960

Tradisi ini masih terjaga kuat di daerah Gayo Lues, dan tidak hanya berlangsung dalam pernikahan dan khitanan tetapi juga dilombakan dalam berbagai ajang kompetisi.

Pepongoten berasal dari kata “pongot” yang berarti tangisan atau ratapan seseorang. Tradisi ini awalnya hanya dilaksanakan ketika ada pihak keluarga yang mengalami meninggal dunia. Namun, seiring dengan masuknya Islam ke Aceh, tradisi pepongoten mengalami perubahan. Jika awalnya, budaya ini diperuntukan dalam ritual kematian, kini seiring berjalannya waktu, pepongoten diadakan pada acara-acara khusus seperti pernikahan, pertunjukan kesenian daerah, dan pekan kebudayaan.

Dalam konteks pernikahan, pepongoten merupakan interaksi antara orang tua dengan calon pengantin. Di sini orang tua akan memberikan nasihat-nasihat dengan gaya tutur sembari menangisi dan berdendang. Dalam pepongoten, orang tua akan mengungkapkan nasihat serta cerita-cerita sepanjang perjalanan hidup anak mereka, mulai dari masa kecil hingga saat akan dinikahkan.

Pepongoten sering kali memunculkan air mata dan tangisan yang tulus, menggambarkan perasaan haru dari orang tua dan anak gadisnya. Selain untuk pernikahan, tradisi ini juga berlaku untuk acara khitanan.

“Pongot ini semula kental dengan nuansa ratapan, namun kini telah diubah sedemikian rupa untuk menciptakan pertunjukan,” kata Iqbal yang juga staf Bagian Umum Pemkab Gayo Lues.

Pepongoten mencerminkan upaya masyarakat Gayo Lues dalam menjaga dan merawat tradisi, dengan mengedepankan nilai-nilai yang terkandung dalamnya. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kasih sayang, nilai kekeluargaan, dan nilai pendidikan.

Melalui Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8, Iqbal berharap pepongoten terus terjaga dan dapat diperkenalkan kepada masyarakat luas.

“Tradisi ini harus dilestarikan agar tidak punah, sehingga anak cucu kita sebagai generasi masa depan masih bisa melihatnya,” ujar Iqbal.[]

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *