Penjelasan Metode Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal: Antara Rukyah dengan Hisab

Prof. Dr. Al Yasa’ Abubakar. (Foto ist).

Oleh: Prof. Dr. Al Yasa` Abubakar, MA (Dosen Fak. Syariah UIN Ar-Raniry)

banner 72x960

NU sama dengan Pemerintah memakai metode hisab imkanurrukyat sedang Muhammadiyah memakai metode hisab wujudul hilal. Lebih dari itu karena merupakan masalah ijtihadiah, maka kita harus berlapang dada ketika ada perbedaan pendapat, walaupun menyebabkan selisih hari raya sampai dua hari. Kita perlu menghormati pilihan saudara-saudara kita tersebut walaupun mungkin kita anggap tidak logis dan tidak ilmiah.

Secara umum umat Islam Indonesia bahkan dunia sepakat tanggal satu Ramadhan (awal puasa) 1444 Hijriah jatuh pada hari Kamis, 23 Maret 2023. Namun mengenai hari raya Idul Fitri terjadi perbedaan pendapat karena, Pemerintah menetapkan 1 Syawal jatuh pada tanggal 22 April 2023, sedang Muhammadiyah menetapkan hari Jumat tanggal 21 April 2023.

Bagi Pemerintah bulan Ramadhan tahun ini berjumlah 30 hari, sedang bagi Muhammadiyah hanya berjumlah 29 hari. Sebetulnya perbedaan pendapat mengenai awal bulan Ramadhan dan Syawal bahkan Zulhijjah sudah sering terjadi karena adanya perbedaan metode. Selama metode yang digunakan tidak sama, maka potensi untuk berbeda akan tetap terbuka.

Tulisan ini berupaya menjelaskan metode-metode yang sekarang ini digunakan umat Islam untuk menentukan awal bulan kamariah dan bagaimana metode ini dapat menimbulkan perbedaan. Dalil yang digunakan para ulama untuk kebolehan memilih metode adalah Al-qur’an dan hadis.

Al-qur’an dalam surat Yasin misalnya menyatakan bahwa benda-benda langit beredar secara teratur pada garis edarnya masing-masing. Karena teratur, maka peredaran ini dapat dihitung dengan cermat, baik untuk mengetahui peredarannya pada masa lalu dan juga memperkirakan peredarannya pada masa depan.

Mengikuti ketentuan dalam Al-qur’an dan memperhatikan hasil penelitian ilmiah, adalah mungkin bahkan sangat mungkin untuk mengetahui awal setiap bulan kamariah secara tepat sampai puluhan tahun ke depan, dengan cara menghitung peredaran bulan (anak bulan, hilal) dan bumi mengelilingi matahari.

Di pihak lain, dalam sebuah hadis Rasulullah mengatakan lebih kurang bahwa umat pada masa Nabi masih sederhana (buta huruf), maka penentuan awal bulan ditetapkan dengan cara melihat hilal. Kalau hilal kelihatan sebelum matahari terbenam pada tanggal 29 bulan berjalan maka besoknya akan ditetapkan sebagai tanggal satu untuk bulan baru. Tetapi kalau hilal tidak terlihat (misalnya karena mendung, terlalu rendah, terlalu dekat dengan matahari), atau berada di bawah ufuk, maka bulan berjalan digenapkan menjadi tiga puluh hari, dan baru setelah itu masuk bulan baru.

Jadi ada dua dalil. Ada ayat Al-qur’an yang mengatakan benda langit beredar secara teratur sehingga dapat dihitung secara akurat yang menjadilan ulama merasa boleh bahkan musti menggunakan capaian pengetahuan ilmiah (astronomi) sebagai metode penetapan awal bulan kamariah. Ada hadis yang menyuruh menentukan awal bulan dengan cara melihat hilal secara langsung dengan mata fisik, yang dipahami penentuan awal bulan cukup dengan cara sederhana, tidak perlu (tidak boleh) memakai pengetahuan ilmiah.

Dari dua kelompok dalil ini muncul empat metode untuk menentukan awal bulan kamariah, yang biasa digunakan umat sebagai berikut. Metode pertama adalah Rukyah, yaitu melihat hilal dengna mata telanjang atau teleskop.

Menurut metode ini tiap-tiap daerah dianjurkan untuk berusaha melihat hilal pada tanggal 29 sore menjelang Magrib. Kalau hilal terlihat maka besoknya ditetapkan tanggal satu bulan baru. Sebaliknya kalau hilal tidak terlihat maka bulan berjalan ditetapkan sampai 30 hari, baru setelah itu tanggal satu bulan baru.

Kelebihan metode ini terletak pada kesederhanaannya, sehingga semua orang di semua daerah dapat melakukannya. Mereka dapat menentukan sendiri kapan mulai berpuasa Ramadhan dan kapan berhari raya. Mereka tidak terikat dengan daerah lain dan karena itu tidak perlu menunggu kabar dari daerah lain. Pengakuan melihat hilal dapat (mesti) diterima walaupun hanya diajukan oleh satu orang bahwa dia telah melihat hilal, sekiranya dia merupakan orang yang dapat dipercaya (adil).

Menurut sebagai pengamat metode ini mempunyai paling kurang tiga kelemahan. Pertama, metode ini sangat membuka peluang untuk adanya perbedaan awal bulan karena adanya perbedaan tempat. Semua daerah relatif bebas menentukan sendiri awal bulan kamariah, sesuai dengan kemunculan hilal.

Jadi kalau ada perbedaan awal bulan antara kota-kota Singkil, Banda Aceh, dan Blang Kejeren misalnya (di satu kota kelihatan di kota lain tidak kelihatan), maka akan dianggap biasa. Jadi perbedaan awal Ramadhan dan Syawal antara satu daerah dengan daerah lain mungkin sekali akan terjadi, karena masing-masing daerah tidak mesti mengikuti daerah lain.

Hal ini pernah terjadi pada masa Sahabat. Kedua untuk daerah yang bergunung-gunung atau sering mendung (berawan) sukar sekali melihat hilal pada sore tanggal 29 bulan berjalan. Karena tidak terlihat, maka semua bulan cenderung akan digenapkan menjadi 30 hari, dan baru besoknya tanggal satu bulan baru. Hal ini tentu tidak patut dilakukan, karena menurut hadis, bulan kamariah berisi 29 atau 30 hari. Kalau semua bulan diisi dengan 30 hari maka jumlah hari dalam setahun akan lebih dari yang semestinya (354/355 hari).

Ketiga, tanggal satu untuk setiap bulan, baru akan diketahui pada tanggal 29 setiap bulan berjalan, sehingga kalender tahunan tidak bisa disusun secara akurat. Metode kedua dan ketiga adalah Hisab Imkanur Rukyat, yaitu menghitung posisi hilal apakah sudah mungkin untuk dilihat atau tidak.

Menurut metode ini para ulama akan meghitung bahwa ijtima` terjadi sebelum matahari terbenam dan hilal sudah berada di atas ufuk dengan ketinggian tertentu, pada tanggal 29 sebelum Maghrib. Kalau hilal sudah berada di atas ufuk tetapi tidak mungkin untuk dilihat (terlalu rendah, telalu dekat dengan matahari) atau masih berada di bawah ufuk, maka bulan berjalan akan digenapkan menjadi tiga puluh hari.

Metode ini terbagi dua. Pertama yang menonjolkan hisab dan yang kedua menonjolkan rukyah. Bagi yang menonjolkan hisab, kalau hilal menurut perhitungan sudah berada di atas ufuk (sudah mungkin untuk dilihat), maka besoknya akan ditetapkan sebagai tanggal satu bulan baru, tanpa perlu melihat hilal secara fisik.

Kelebihan metode ini terlihat pada upaya memadukan makna literal hadis dengan hasil pengetahuan ilmiah (maksudnya bulan baru akan ditetapkan setelah hilal dianggap muncul dan mungkin untuk dilihat pada tanggal 29).

Hasil penghitungan ilmiah digunakan untuk tiga hal. Pertama, tinggi hilal dan posisinya dari matahari dihitung secara wajar, apakah berada pada posisi yang mungkin untuk dilihat atau tidak. Kedua, metode ini telah memungkinkan umat membuat kalender, karena perjalanan hilal selama setahun, bahkan sampai ratusan tahun ke depan telah dapat dihitung. Kelemahannya, kriteria untuk menentukan kapan hilal sudah mungkin untuk dilihat (makna Imkanur Rukyat) tidak disepakati oleh para ulama.

Sampai sekarang ada beberapa teori (kriteria) yang berbeda, yang dikemukan oleh para sarjana dan organisasi-organisasi ke-Islaman. Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) telah membuat kriteria sendiri yang sekarang digunakan oleh pemerintah negara-negara tersebut (tinggi hilal ketika matahari terbenam minimal 3 derajat dan jarakanya dari matahari minimal enam derajat empat menit).

Negara lain dan beberapa organisasi kemasyarakatan Islam (bahkan tokoh tertentu) menggunakan kriteria yang berbeda, sehingga belum ada kesepakatan mengenai apa saja yang perlu dipenuhi agar hilal dapat dirukyah.

Pada metode ini hisab lebih menonjol dari rukyah, sehingga dapat dianggap sebagai bagian dari metode hisab. Bagi hisab imkanur rukyat yang menonjolkan rukyah, perhitungan ilmiah akan digunakan untuk memandu rukyah, untuk menentukan di posisi mana kira-kira hilal akan muncul, berapa ketinggiannya dan berapa lama berada di atas ufuk, sehingga lebih mudah untuk di rukyah (baik dengan mata telanjang ataupun teleskop).

Menurut metode ini kalau hilal sudah berada di atas ufuk dan secara ilmiah sudah mungkin untuk dilihat, tetapi karena sesuatu sebab hilal tidak terlihat (misalnya mendung atau hujan) maka bulan berjalan tetap digenapkan 30 hari. Sebaliknya kalau ada orang yang mengaku sudah melihat hilal, sedang menurut hisab tidak mungkin untuk dilihat (tidak memenuhi kriteria imkanur rukyat yang mereka tentukan) maka pengakuan tersebut tidak akan diterima walaupun dia kuatkan dengan sumpah.

Pada metode ini hisab digunakan untuk mendukung rukyah, dan karena itu dapat dianggap sebagai bagian dari metode rukyah. Metode keempat adalah Hisab Wujudul Hilal, yaitu menghitung bahwa ijtima` sudah terjadi sebelum matahari terbenam dan hilal sudah berada di atas ufuk sebelum matahari terbenam pada tanggal 29 bulan berjalan, tanpa mempertimbangkan ketinggian hilal dan jaraknya dengan matahari.

Menurut metode ini para ulama hanya perlu menghitung apakah hilal sudah berada di atas ufuk atau belum pada tanggal 29 bulan berjalan. Kalau sudah berada di atas ufuk maka besok hari akan ditetapkan sebagai tanggal satu bulan baru. Kalau belum maka bulan berjalan digenapkan menjadi 30 hari.

Kelebihannya, metode ini relatif sederhana, tidak mempunyai kriteria selain dari keberadaan hilal di atas ufuk sebelum matahari terbenam, sehingga mudah digunakan. Metode ini lebih mudah dipertanggungjawabkan secara ilmiah (tidak perlu musyawarah dan kesepakatan) dan karena itu diharapkan akan lebih mudah menyatukan kalender Islam (kalender global Islam). Dengan metode ini kemungkinan untuk membuat satu kalender lunar (hijrah) untuk seluruh dunia, lebih kurang sama seperti kalender syamsiah (miladiah), menjadi lebih terbuka dibandingkan dengan metode lainnya.

Kelemahannya metode ini dianggap tidak sejalan dengan makna literal hadis yang menyuruh menentukan awal bulan dengan cara rukyah. Pengikut metode ini mengakui bahwa metode Hisab wujudul Hilal tidak sejalan dengan makna literal (harfiah) hadis di atas, tetapi mereka yakin, metode ini sesuai dengan ayat-ayat Al-qur’an (misalnya ayat dalam surat Yasin di atas). Menurut mereka metode ini merupakan perpaduan antara ayat-ayat Al-qur’an dan hadis Nabi yang dipahami secara ilmiah (ta`liliah dan istislahiah, melihat/menghitung dengan ilmu bukan dengan mata fisik). Sebagai kesimpulan, dalam masalah agama (ibadah) ada dua prinsip yang biasa digunakan ulama. Ada masalah yang masuk dalam kelompok ghayr ma`qul al-ma`na (tidak dapat dipikirkan, ruang ijtihadnya relatif sempit) dan ada yang masuk dalam kelompok ma`qul al-ma`na (dapat dipikirkan, ruang ijtihadnya relatif luas).

Apabila melihat hilal untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal dianggap sebagai ibadah yang ghayr ma`qul al-ma`na, seperti penentuan jumlah rakaat shalat, maka metode pertamalah yang mestinya diikuti, karena untuk masalah yang ghayr ma`qul al-ma`na kita harus mengikuti Rasul menurut apa adanya. Dengan kata lain relatif tidak ada ruang untuk berpikir. Akan tetapi kalau melihat hilal untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal dianggap masuk dalam kategori ma`qul al-ma`na (dapat dipikirkan), maka penggunaan metode ilmiah dapat diterima, bahkan lebih baik karena lebih mudah dan lapang.

Contoh sebagai perbandingan, penentuan waktu berbuka puasa (Magrib) dan mulai puasa (Subuh) apakah boleh dipilih antara memakai rukyat atau memakai hisab. Karena dianggap merupakan ibadah yang ma`qul al-ma`na maka dapat ditetapkan dengan melihat jam (perhitungan ilmiah, hisab) tidak mesti dengan melihat terbit fajar atau tebenam matahari. Kalau ada orang pada masa sekarang tetap menggunakan melihat matahari terbenam atau terbit fajar dengan mata telanjang untuk menentukan mulai puasa dan berbuka puasa (tidak mau memakai imsakiah) tentu tidak dapat disalahkan karena pada masa Nabi itulah arus utama, bahkan semua orang melakukan seperti itu. Kita mesti ingat pada masa Nabi umat Islam belum mempunyai jam dan belum menguasai perhitungan hisab. Ingat hadis Nabi yang mengatakan, kita ini umat buta huruf yang sederhana, gunakan metode yang sederhana (untuk menentukan waktu), jangan gunakan metode ilmiah yang rumit.

Kelihatannya mayoritas umat masa sekarang menganggap masalah melihat hilal masuk dalam masalah yang ma`qul al-ma`na, karena kebanyakan mereka memilih metode hisab, ada yang hisab imkanur rukyat dan ada yang hisab wujudul hilal. Sedikit sekali yang betul-betul rukyah.

Pemerintah Indonesia dapat dianggap memilih metode hisab bukan rukyah, dalam hal ini imkanur rukyat karena kalau ada orang yang mengaku melihat hilal ketika kriteria untuk melihat hilal tidak terpenuhi, maka kuat dugaan pengakuan tersebut tidak akan diterima.

NU sama dengan Pemerintah memakai metode hisab imkanurrukyat sedang Muhammadiyah memakai metode hisab wujudul hilal. Lebih dari itu karena merupakan masalah ijtihadiah, maka kita harus berlapang dada ketika ada perbedaan pendapat, walaupun menyebabkan selisih hari raya sampai dua hari. Kita perlu menghormati pilihan saudara-saudara kita tersebut walaupun mungkin kita anggap tidak logis dan tidak ilmiah.

Dalam masalah yang kita diberi izin untuk berijtihad (baca berbeda pendapat), maka kita harus menghormati pilihan yang berbeda, selama dilakukan melalui cara yang memenuhi syarat secara metodologis. Demikianlah dua metode besar yang dapat dipecah menjadi empat metode yang umum digunakan umat untuk menentukan awal bulan kamariah (terutama Ramadhan, Syawwal dan Zukhijjah), dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Semoga kita dapat besikap toleran dan menghormati pilihan yang berbeda dari saudara-saudara kita. Semoga semangat toleransi, ukhuwwah, saling memaafkan dan menghormati, akan menghiasi hari raya Idul Fitri kita, bahkan lebih dari itu menjadi semangat untuk semua ibadah badaniah dan maliah yang kita amalkan sepanjang waktu dalam hidup kita. Wallahu a`lam bish-shawab.[]

*Penulis adalah Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *