Pengesahan RUU TNI Dinilai Mengancam Demokrasi dan Membuka Jalan Bagi Otoritarianisme

Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry, Muhammad Fasya. [Foto: Istimewa]

THEACEHPOST.COM | Banda Aceh – Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry, Muhammad Fasya menegaskan, pengesahan RUU TNI dinilai tidak sejalan dengan prinsip demokrasi dan supremasi hukum.

banner 72x960

Ia menyoroti sejumlah pasal dalam rancangan undang-undang tersebut yang berpotensi mengancam hak-hak sipil serta bertentangan dengan nilai-nilai reformasi yang selama ini dijunjung tinggi.

Menurutnya, kebijakan yang tertuang dalam RUU TNI harus dikaji ulang secara mendalam agar tidak menimbulkan ketimpangan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

“Kami menolak keras pengesahan RUU TNI jika tetap dipaksakan tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat dan prinsip demokrasi,” ujarnya, Jumat (21/3/2025).

Lebih lanjut, Fasya menjelaskan bahwa TNI seharusnya cukup berfokus pada pertahanan negara saja dan tidak dilibatkan dalam dunia politik maupun pemerintahan, termasuk jabatan sipil.

“Karena jika itu terjadi, maka akan dapat menghilangkan Dwi Fungsi ABRI itu sendiri,” tegasnya.

Ia juga menyoroti bahwa revisi RUU TNI yang dibahas justru membuka kembali jalan bagi otoritarianisme yang pernah dilawan dengan susah payah.

“Masalahnya bukan sekadar kehadiran militer dalam birokrasi, tetapi sistem kerja mereka yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. Militer bekerja dengan sistem hierarkis berbasis komando dalam perang, ini efektif. Tapi dalam birokrasi sipil yang membutuhkan transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, dan mekanisme check and balances, pendekatan ini justru kontra produktif,” jelasnya.

Fasya menegaskan bahwa sistem inilah yang menyebabkan pemerintahan Orde Baru penuh dengan represi, pembungkaman, serta korupsi yang tidak tersentuh. Nepotisme tumbuh subur, sementara proyek-proyek ekonomi strategis dibagikan kepada kroni tanpa transparansi.

“Ketika perintah tidak boleh dibantah, kritik terhadap kebijakan justru dianggap sebagai pembangkangan. Oposisi diperlakukan sebagai musuh, bukan sebagai bagian dari dinamika demokrasi. Sistem ini bukan hanya melahirkan otoritarianisme, tetapi juga membuka peluang terjadinya pelanggaran HAM,” pungkasnya.

Secara hukum, Fasya mengacu pada Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa TNI bertugas dalam bidang pertahanan negara, bukan dalam pemerintahan atau politik praktis. Selain itu, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia juga menyatakan bahwa TNI harus bersifat profesional dan tidak berpolitik.

Prinsip supremasi sipil yang terkandung dalam reformasi sektor keamanan menjadi dasar penting dalam mengawal demokrasi di Indonesia.

Fasya juga mengajak seluruh mahasiswa dan elemen masyarakat untuk turut serta mengawal proses legislasi agar kebijakan yang disahkan benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat.

Ia berharap pemerintah dan DPR dapat membuka ruang diskusi yang lebih luas guna memastikan bahwa RUU TNI tidak merugikan demokrasi dan masa depan bangsa. (Akhyar)

Baca berita lainnya di Google News dan saluran WhatsApp

Komentar Facebook