Penerapan Qanun Syariat Islam di Banda Aceh Lebih Baik
Windy Asya Rantika *)
LEMBAGA Dinas Syariat Islam berkedudukan sebagai unsur pelaksana syariat Islam di lingkungan pemerintah daerah (Pemda) Aceh yang berada di bawah Gubernur.
Pembentukan Dinas Syariat Islam sebagai perangkat daerah, merupakan respon konkrit untuk menyahuti pemberlakuan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Pelaksaan Keistimewan Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Pemerintah Aceh.
Sejalan dengan tugas dan fungsinya, Dinas Syariat Islam (DSI) didirikan untuk melaksanakan tugas umum dan khusus pemerintahan dan pembangunan di bidang pelaksanaan syariat Islam sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Lebih spesifiknya, tugas-tugas keagamaan yang sesuai syariat Islam, seperti mencegah pelanggaran aturan-aturan dalam Qanun (peraturan daerah) dan melaksanakan bimbingan, penyuluhan dan pengawasan terhadap syariat Islam di tengah-tengah masyarakat.
Menurut laporan kinerja di laman resmi DSI, lembaga ini melakukan tugas-tugas dengan sangat maksimal. Salah satu tugasnya yang paling mendominasi adalah penegakan syariat Islam.
Dalam hal ini, bagi masyarakat lokal dan luar Aceh menganggap syariat Islam khususnya di Kota Banda Aceh dinilai sudah cukup tegas. Dapat dilihat dari diberikannya efek jera pada orang orang yang melanggar syariat Islam sesuai dengan perbuatannya.
Misalnya, orang yang melakukan perjudian dikenakan sanksi cambuk di depan khalayak ramai agar memberikan efek jera pada pelakunya.
Tentu saja, hal ini merupakan culture shock bagi para pendatang dari luar Aceh. Namun, tak dipungkiri bahwa setiap daerah di Aceh memiliki perbedaan dari segi aturan dan adat istiadat masing-masing.
Saya selaku mahasiswi Aceh sendiri agak terkejut dengan budaya dan peraturan di Kota Banda Aceh yang memang lebih ketat dibandingkan di lokasi saya tinggal.
Hal pertama yang membuat penulis terkejut adalah dibatasinya jam keluar bagi wanita yang mana di daerah lain sangat minim menerapkan aturan tersebut.
Aturan-aturan seperti ini banyak dikeluhkan masyarakat yang tidak menerapkan aturan tersebut di daerah mereka, dengan alasan tidak terbiasa.
Bagi beberapa masyarakat luar yang tidak terbiasa dengan aturan syariat Islam menyebut aturan seperti ini dengan sebuatan tidak modern dan terlalu melebih-lebihkan.
Padahal aturan tersebut membuat masyarakat menjadi terkendali dan memberi rasa aman, serta melindunginya mengingat hukuman yang diberikan tidaklah main-main.
Namun, masih banyak juga ditemui pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaannya, padahal hukuman yang diberikan dipertontonkan di khalayak publik dan disebarkan oleh media.
Menganggapi hal ini, pada tahun 2004 pemerintah Aceh membuat sebuah lembaga yang khusus menangani proses pelaksanaan syariat Islam yaitu petugas Wilayatul Hisbah (WH) yang berkerja sama dengan Satuan Polisi Pramong Praja (Satpol PP).
Kedua lembaga ini selalu menjadi mitra kerja dalam proses penegakan Syariat Islam di tengah-tengah masyarakat. Terbukti, saat ini banyak kasus yang menyimpang di hukum, serta diproses oleh polisi syariat di setiap daerah.
Menurut amatan penulis, di sekitaran Kota Banda Aceh, peran WH dan Satpol PP sudah cukup baik, meskipun terdapat kasus-kasus pelanggaran syariat Islam yang masih terjadi, seperti penggerebekan pasangan nonmuhrim dan membubarkan kelompok-kelompok perjudian.
Setelah kasus ini ditangani, selanjutnya dibawa ke Mahkamah Syariah untuk ditindaklanjuti. Sampai di sini, dapat dilihat bahwa penanganan kasus syariat Islam ini sudah terlaksana seperti yang diharapkan, meskipun masih banyak yang harus dievaluasi.
Berdasarkan data pelanggaran syariat Islam di Kota Banda Aceh, dikutip dari www.bandaacehkota.go.id, sebanyak 360 total pelanggaran syariat Islam yang terjadi di pusat ibu kota provinsi otu dalam kurun waktu 3 tahun (2018-2020).
Angka yang tercantum tersebut belum lagi digabungkan dengan jumlah jumlah dari seluruh kabupaten/kota di Aceh.
Di daerah tempat penulis berasal, yaitu Kabupaten Aceh Tamiang, pelaksanaannya belum semaksimal yang dilakukan oleh Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh.
Contohnya, wanita muslim yang tidak memakai pakaian sesuai syariat (misalnya tak memakai jilbab) tidak mendapat sanksi ataupun peringatan dari instansi terkait.
Hal tersebut dianggap wajar. Padahal sudah diatur dalam Qanun Aceh nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, khususnya soal berbusana tertuang dalam Pasal 13 ayat 1 Bab V tentang penyelenggaraan Syi’ar Islam yang berbunyi, “Setiap orang islam wajib berbusana islami”.
Pada bagian penjelasan qanun ini disebutkan, “Busana islami adalah pakaian yang menutup aurat yang tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh”.
Sementara terkait sanksi bagi pelanggar, diatur dalam pasal 23 yang berbunyi, “Barang siapa yang tidak berbusana Islami sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 1 dipidana dengan hukuman ta’zir setelah melalui proses peringatan dan pembinaan oleh Wilayatul Hisbah”.
Sayangnya, peraturan ini masih belum dilaksanakan dengan baik di Kabupaten Aceh Tamiang. Berdasarkan pengalaman penulis, ditemukan ketimpangan pelaksanaan syariat Islam di Aceh Tamiang dan Banda Aceh dari sektor pariwisata.
Di Banda Aceh, diperlukan izin yang cukup rumit untuk berlibur dalam kurun waktu lebih dari satu hari atau dalam kata lain menginap dengan kelompok nonmuhrim.
Untuk melakukan hal itu diperlukan izin dari keuchik (kepala desa), Satpol PP-WH hingga Kepolisian setempat, bahkan terkadang warga setempat sama sekali tidak mengizinkan kelompok non-muhrim untuk berpariwisata di wilayahnya lebih dari satu hari (menginap).
Hal ini sangat berbanding terbalik dengan di Aceh Tamiang yang tidak memerlukan izin rumit terhadap kelompok wisata nonmuhrim yang ingin melakukan wisata lebih dari satu hari (menginap).
Namun demikian, untuk wisata yang mengizinkan lebih dari satu hari (menginap) harus melalui proses perizinan juga, namun sifatnya lebih sederhana.
Menurut pandangan penulis, memang menerapkan wisata syariah punya plus minusnya tersendiri. Plus terhadap wisata syariah ini yaitu mengurangi risiko kejahatan, seperti mesum dan pelecehan di daerah wisata sehingga memberikan rasa aman terhadap pengunjung,.
Sementara minusnya adalah pengunjung yang datang tidak seramai wisata non-syariah, sebab pengunjung wisata biasanya menginginkan kebebasan dan biasanya wisatawan akan pergi (sampai menginap) dengan teman teman sekelompoknya (muhrim maupun nonmuhrim).
Menurut saya, penerapan syariat Islam yang diterapkan oleh pemerintah di Aceh sudah sangat tepat, mengingat syariat Islam adalah suatu hal yang sangat dekat dengan adat istiadat rakyat Aceh.
Penulis berharap penerapan syariat Islam ini bisa dilaksanakan secara maksimal di berbagai daerah lainnya dan bagi lembaga Dinas Syariat Islam untuk lebih gencar mensosialisasikan tentang manfaat dari penerapan qanun dan juga mengajak masyarakat agar lebih taat untuk mematuhi peraturan-peraturan yang sudah berlaku di daerahnya demi menciptakan tatanan masyarakat yang aman, tentram dan damai. []
*) Penulis adalah mahasiswi Prodi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh