Pemimpin Antikritik adalah Pemimpin yang Gagal Belajar
Dalam setiap tingkatan kepemimpinan baik di organisasi, perusahaan, maupun pemerintahan sikap terbuka terhadap kritik merupakan salah satu ciri utama pemimpin yang cerdas. Sayangnya, masih banyak pemimpin yang justru memilih jalan sebaliknya: menutup telinga, membangun tembok, dan menganggap kritik sebagai ancaman. Sikap seperti ini bukan hanya mencerminkan kelemahan, tetapi juga kebodohan.
Mengapa dikatakan kebodohan? Karena pemimpin yang antikritik adalah pemimpin yang menolak belajar.
Kritik sejatinya merupakan bentuk kepedulian. Ia tidak selalu hadir untuk menjatuhkan, tetapi untuk menyempurnakan. Pemimpin yang antikritik hanya ingin mendengar pujian dan sanjungan, bukan kebenaran. Ia menciptakan lingkungan yang dipenuhi rasa takut, bukan kolaborasi. Akibatnya, organisasi yang dipimpinnya akan stagnan, penuh kepalsuan, dan jauh dari kemajuan.
Bayangkan seorang kapten kapal yang menolak laporan kerusakan dari anak buahnya karena takut dianggap lemah. Apa yang terjadi? Kapal bisa tenggelam dan seluruh awak menjadi korban. Demikian pula seorang pemimpin: jika ia menolak kritik, berarti ia sedang menutup mata dari kenyataan yang mungkin justru bisa menyelamatkan arah perjalanan.
Sikap antikritik juga menunjukkan ego yang rapuh. Pemimpin sejati tidak merasa terancam oleh perbedaan pendapat. Ia sadar bahwa kebenaran bukan miliknya sendiri, dan bahwa proses pengambilan keputusan yang sehat lahir dari dialog, bukan monolog.
Lebih jauh lagi, pemimpin yang antikritik cenderung melahirkan budaya “asal bapak senang”. Dalam lingkungan seperti ini, integritas hilang, profesionalisme luntur, dan inovasi mati. Semua orang sibuk menjaga muka, bukan menyuarakan kebenaran. Ini bukan hanya tidak sehat, tetapi juga berbahaya.
Sebaliknya, pemimpin yang berani menerima kritik justru menunjukkan kematangan. Ia memahami bahwa kritik bukan akhir dari kredibilitas, melainkan bahan bakar untuk bertumbuh. Ia tidak segan berkata, “Saya salah,” karena dari situlah kepercayaan dibangun dari kejujuran, bukan pencitraan.
Menjadi pemimpin bukan soal siapa yang paling berkuasa, melainkan siapa yang paling mampu mendengar. Maka jika ada pemimpin yang alergi terhadap kritik, sejatinya ia belum layak disebut pemimpin. Ia hanyalah seorang penguasa yang belum selesai dengan egonya sendiri.