Pelaksanaan Pilkada 2022, Solusinya Hanya Ada pada Gubernur
Theacehpost.com | BANDA ACEH – Tolak-tarik jadwal Pilkada Aceh—apakah 2022 atau 2024—ditanggapi oleh Koalisi NGO HAM Aceh.
“Provinsi Aceh sudah punya cukup payung hukum untuk melaksanakan Pilkada, hanya saja tergantung pada Gubernur Aceh, apakah masih mengakui UUPA atau tidak untuk merealisasikan Pilkada Aceh sesuai amanat UUPA,” kata Kepala Divisi Konstitusi Koalisi NGO HAM Aceh, Muhammad Reza Maulana, SH.
Menurut Reza, selain dipayungi oleh ketentuan Pasal 65 UUPA yang mengamanatkan pelaksanaan Pilkada 5 tahun sekali yang jatuh tempo pada tahun 2022, Aceh juga memiliki payung hukum berupa Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016.
Apabila diperhatikan di dalam ketentuan Pasal 101 ayat (3) Qanun Pilkada Aceh secara tegas menentukan “Pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022”
“Dengan demikian, isu terkait tidak adanya payung hukum bukanlah materi hukum yang dapat dibenarkan kebenaran dan legalitasnya, Aceh sudah punya cukup sempurna aturan tentang Pilkada, hanya saja yang menjadi persoalan saat ini apakah pusat masih mengakui eksistensi UUPA sebagai aturan khusus yang wajib diberlakukan di Aceh atau tidak,” tandas Reza Maulana.
Mengenai Surat Dirjen Otda Kemendagri yang tersebar di publik, menurut Reza surat tersebut bukanlah sebuah “norma” yang harus diikuti atau dipatuhi. Surat tersebut bukan pula aturan yang dapat menegasikan atau mengesampingkan UUPA sebagai aturan tingkat ketiga dari hirarki peraturan perundang-undangan.
“Sepanjang surat tersebut tidak sejalan atau bertentangan dengan UUPA tidak perlu ditanggapi apalagi membenarkan tidak dilaksanakannya Pilkada Aceh tahun 2022. Abaikan saja, toh pun tidak ada efek hukum apapun terhadap penyelenggara Pilkada Aceh maupun Pemerintahan Aceh seluruhnya,” tandas Kepala Divisi Konstitusi Koalisi NGO HAM Aceh.
Dikatakannya, sebagai wujud kepatuhan hukum terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, seharusnya Mendagri jangan hanya mengacu pada UU Nasional semata dan mengabaikan UU khusus di Aceh.
Karena, perintah Pilkada 5 tahunan merupakan kewajiban waktu berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang mewajibkan seluruh lembaga negara yang berkaitan untuk mentaatinya berdasarkan waktu yang telah ditetapkan di dalam UUPA.
Terkait teknis penganggaran, Reza menilai sangat benar pendapat Bustami Hamzah, Kepala BPKA yang menyatakan “Apapun alasannya, pemerintah wajib menyediakan anggaran kalau (tahapan) sudah seusai dengan aturan yang berlaku.”
Artinya, terkait anggaran pun telah mendapat jaminan khusus dari lembaga yang berwenang dan dasar hukum penganggaran pun telah jelas didasari pada Permendagri 54 Tahun 2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Bahkan, pos anggaran tersebut sebagaimana disampaikan telah diplot dalam pos BTT (belanja tidak terduga) juga sejalan dengan ketentuan Pasal 10 huruf a Permendagri tersebut.
Sehingga, lanjut Reza, didasari pada ketentuan Pasal 9 Permendagri hanya 1 (satu) hal saja yang harus ditetapkan agar Pilkada tetap berjalan sesuai amanat UUPA, yaitu pembentukan Perkada atau Peraturan Gubernur tentang Perubahan Penjabaran APBA sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (1).
“Jadi, tidak perlu menunggu Qanun lahir karena prosesnya yang panjang, cukup dengan Pergub dan teknisnya telah dipayungi Pasal 9 Permendagri dan UUPA,” kata Reza.
Kepala Divisi Konstitusi Koalisi NGO HAM Aceh, Muhammad Reza Maulana juga sangat setuju dengan statemen keras mantan Komisioner KIP Aceh, Zainal Abidin dan Ketua Umum Partai Aceh Muzakir Manaf yang menyebutkan Aceh sebagai daerah otonomi khusus harus diberlakukan dalam norma yang khusus pula, tidak ada debat dalam norma hukum di Aceh karena sebagaimana asas legalitas norma yang terkandung di dalam UUPA mengandung asas lex certa yaitu tegas dan jelas dan lex stricta tidak mengandung multitafsif.
Tanggapi KIP Aceh
Dalam pernyataannya, Muhammad Reza mengomentari SK KIP Aceh yang menunda pelaksanaan Pilkada Aceh.
Dasar hukum permintaan penundaan, kata Reza memang ada di dalam Qanun Aceh tentang Pilkada namun alasan penundaan yang tidak jelas atau tidak ada sama sekali adalah bentuk ketidakpastian hukum sehingga tidak dapat dijadikan pedoman hukum.
“Saya mempertanyakan kepada KIP Aceh, apa alasan ditundanya Pilkada di Aceh, jika KIP Aceh tidak dapat memberikan jawaban yang sesuai dengan kaidah hukum, sebaiknya jangan khianati UUPA hanya karena Pusat akan melaksanakan seluruh tahapan Pilkada, Pileg dan Pilpres pada tahun 2024,” ujarnya.
Penting diperhatikan KIP Aceh, bahwa KIP bukanlah anak buah (bawahan) Mendagri, baik struktur maupun administrasi. Kewenangan menentukan tahapan kapan pilkada dimulai di Aceh menjadi kewenangan penuh KIP sebagai lembaga independen yang dibentuk negara.
“Jadi harus sadar pada posisi dan kewenangan sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika tidak mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana amanah UUPA baiknya diserahkan saja estafet kepimpimam KIP Aceh kepada yang benar-benar menghargai dan mengakui keberadaan UUPA,” demikian Kepala Divisi Konstitusi Koalisi NGO HAM Aceh.[]