Ombudsman Aceh: Kembalikan Urusan Pertambangan kepada Pemerintah Setempat

Taqwaddin, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh. (Dok Ombudsman Aceh)

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dr. Taqwaddin menyarankan kepada pemerintah Aceh dan kabupaten/kota untuk duduk bersama membahas persoalan pertambangan mineral dan batu bara (Minerba).

banner 72x960

Hal itu sehubungan dengan berlakukanya Undang-Undang (UU) Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.

“Sudah saatnya urusan pertambangan sesuai kewenangannya dikembalikan ke pemerintah kabupaten/kota, merujuk Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 pada Pasal 173 mengeksplisitkan bagi Provinsi Aceh perihal pertambangan mengacu pada UUPA,” ujar Taqwaddin dalam keterangan tertulis kepada Theacehpost.com, Kamis, 1 Juli 2021.

Pernyataan ini kata dia juga pernah disampaikan saat acara diskusi multi pihak dengan tema ‘Kolaborasi Mendorong Tata Kelola Pertambangan Minerba Pasca Pengesahan UU Nomor 3 Tahun 2020 di Aceh’, pada Rabu 28 Juni 2021 di Banda Aceh.

Selain alasan yuridis tersebut, Taqwaddin juga menyampaikan bahwa dalam beberapa tahun ini, pasca-berlakunya UU Nomor 23 tahun 2014, semua kewenangan pertambangan yang dulunya menurut UUPA ada pada pemerintah kabupaten/kota, dihilangkan dan ditarik menjadi kewenangan pemerintah provinsi.

Karenanya semua izin usaha pertambangan mesti diterbitkan oleh gubernur atau menteri,” katanya.

“Menurut hasil kajian Ombudsman RI Aceh pada tahun 2018, dampak faktual dari ketentuan ini (UU 23/2014) telah menyebabkan prosedur pengurusan izin pertambangan menjadi makin panjang dan mahal,” katanya.

“Akibatnya, makin sedikit usaha pertambangan mineral bebatuan yang legal dan prosedural di kabupaten/kota,” ungkap Taqwaddin menambahkan.

Sementara itu, dari aspek pengawasan lingkungan, fakta lapangan menunjukkan bahwa akhir-akhir ini kerusakan lingkungan akibat usaha tambang bebatuan di daerah makin parah. Sedangkan pengawasan makin lemah.

“Aparat kabupaten tidak lagi melakukan pengawasan dengan alasan mereka tidak memiliki kewenangan. Akibatnya, para pemain tambang pun makin menggila,” sebutnya.

“Lingkungan menjadi korban. Aktivis dan akademisi lingkungan hanya bisa berdiskusi dan berkoar-koar di pusat ibu kota provinsi. Sementara kerusakan lingkungan terus terjadi, mengorbankan warga masyarakat kabupaten/kota,” ungkapnya.

Menurutnya, situasi tersebut menjadi makin buruk selama tidak ada lagi dinas pertambangan di pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan aparatur pengawas tambang hanya ada dalam jumlah terbatas pada Dinas ESDM di Pemerintah Provinsi Aceh.

Dari aspek kemanfaatan bagi masyarakat, fakta selama ini bahwa kabupaten/kota dan masyarakatnya nyaris tidak mendapat apa-apa dari usaha tambang yang terus marak tanpa izin.

Pasalnya, pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki dasar hukum untuk melakukan ‘pungutan’ yang dapat memberi manfaat. Alhasil, pemerintah setempat hanya menerima dampak negatif berupa potensi bencana, tanpa bisa menarik retribusi apa pun.

“Mengacu pada dasar normatif dan fakta di lapangan, saya sarankan agar urusan tambang harus dikembalikan kewenangannya kepada pemerintah kabupaten/kota. Segeralah Pemkab/Pemko bertindak secara proaktif dan progresif,” pungkasnya. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *