Oknum Mengaku dari Mapolda Aceh Maki Wartawan di Acara Istri Kapolda
Theacehpost.com | BANDA ACEH – Organisasi kewartawanan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengurus Daerah Aceh, mengecam tindakan arogansi yang dilakukan oleh salah seorang oknum yang mengaku dari Mapolda Aceh.
Peristiwa itu terjadi saat Kontributor TV One di Banda Aceh, Fadli Batubara, mengalami perlakuan tak pantas saat meliput peluncuran buku karya Winta Widodo yang merupakan istri dari Kapolda Aceh, Irjen Pol Wahyu Widada di Museum Tsunami Aceh, Jumat pagi, 19 Februari 2021.
“Saya menegur dia karena mic kameranya masuk ke dalam frame kamera saya waktu wawancara, tapi pelaku yang arogan malah menepuk kamera saya,” kata Fadli dalam siaran pers yang diterima Theacehpost.com, Jumat, 19 Februari 2021.
Kemudian, penasaran akan hal itu, Fadli memanggil pelaku usai wawancara untuk menanyai pekerjaannya.
Namun, kata Fadli, pelaku justru memaki dan mengatakan dirinya dari Polda Aceh.
“Dia pegang kerah baju saya dan bilang dari Polda Aceh, kemudian AKP Sandi melerai kami,” ungkap Fadli.
Salah seorang saksi yang turut melihat kejadian itu, Taufan, mengungkapkan tindakan arogansi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengaku dari Polda Aceh itu terjadi kala wawancara istri Kapolda Aceh.
“Ketika wawancara terdengar mereka saling bisik, hingga kamera saya ikut goyang juga, dan pelaku itu dari awal memang suka masuk dalam frame kamera, kerap mendahului, dan selesai wawancara mereka malah sempat bersitegang juga, sehingga langsung dilerai kawan-kawan,” ungkap Taufan, Kontributor Inews TV.
Sementara itu, Ketua IJTI Pengda Aceh, Munir Noer mengatakan kecamannya kepada pelaku arogansi yang mengaku dari Polda Aceh itu.
Menurut Munir, seharusnya polisi dan wartawan dapat bermitra dengan baik, tapi malah bersikap sebaliknya.
“Saya mengecam kejadian ini, pelaku harus meminta maaf kepada korban secara institusi Kepolisian, kita tidak akan berhenti sampai di sini,” kata wartawan senior itu.
Munir menjelaskan, wartawan memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang layak diketahui oleh publik, tentunya dengan berpedoman kode etik jurnalistik.
Jadi, lanjut Munir, bila ada yang menghalangi tugas jurnalistik, maka IJTI Aceh tidak akan tinggal diam.
“Kita tidak tutup mata dan tidak diam dengan kejadian ini, pelaku harus meminta maaf kepada korban, dan polisi juga harus memastikan kepada anggotanya agar kejadian serupa tidak berulang,” katanya.
Untuk diketahui, dalam UU Pers Nomor 40 tahun 1999 dijelaskan bahwa bagi siapa saja yang melakukan kekerasan dan menghalangi wartawan dalam melaksanakan tugas peliputannya, maka pelaku dapat dikenakan hukuman selama 2 tahun penjara dan dikenakan denda paling banyak sebesar Rp 500 juta rupiah.
Dalam pasal 4 UU Pers, undang-undang menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. []