Nelayan dan Panglima Laot di Aceh
THEACEHPOST.COM – Panglima Laot Aceh adalah sebuah lembaga adat laut yang sangat penting dalam masyarakat pesisir dan perairan Aceh. Perannya sangat strategis dalam mengayomi, dan menjadi ‘orang tua’ bagi seluruh nelayan. Keberadaan Panglima Laot sejak abad ke 16 telah menjadi kearifan lokal tersendiri bagi masyarakat Aceh yang menjadi khazanah maritim di Nusantara.
Panglima Laot atau Lembaga Panglima Laot merupakan persekutuan laut yang mengakar dalam masyarakat pesisir Aceh yang eksis hingga sekarang. Selain memiliki struktur kepengurusan di level provinsi, Lembaga Adat Laot Aceh juga memiliki Kepengurusan di level Kabupaten/Kota seluruh Aceh hingga Panglima Laot Lhok yang membawahi tiap muara/kuala yang berjumlah lebih 182 Panglima Laot Lhok.
Dari banyak kiprah yang ditunjukan dalam masyarakat pesisir, Panglima Laot Aceh memiliki 3 (tiga) peran utama yang penting. Pertama, menjaga keamanan laut. Panglima Laot mulai dari level provinsi sampai panglima laot lhok bersama nelayan berkewajiban menjaga keamanan nelayan supaya aman melaut. Berbagai konflik yang muncul difasilitasi dengan pendekatan adat untuk dicarikan solusi terbaik yang berujung perdamaian. Panglima Laot sangat berperan untuk memberi rasa aman bagi para nelayan Aceh yang mencari rezeki di laut. Baik secara internal maupun karena faktor eksternal.
Kedua, menjaga adat istiadat. Di Aceh kita kenal adanya pantang melaut. Pada hari tertentu seperti Hari Jumat, Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, atau Hari 17 Agustus para nelayan dilarang untuk melaut. Hari Jumat dianggap sebagai hari ibadah. Para nelayan menyiapkan diri sebaik mungkin untuk dapat melaksanakan shalat Jumat. Hari Jumat tidak melaut juga supaya ada waktu khusus beribadah dengan keluarga dan masyarakat nelayan. Rapat atau kegiatan di desa nelayan biasanya diadakan pada malam Sabtu, karena para nelayan tak pergi ke laut. Begitupun peringatan syiar keagamaan atau pengajian rutin biasanya diadakan Jumat malam karena para nelayan libur melaut. Tiap tahun juga diadakan khanduri laot di seluruh Lhok pesisir sebagai ungkapan syukur dan silaturahmi masyarakat pesisir.
Ketiga, menjaga ekosistem laut. Seluruh nelayan terikat dengan adat laot untuk senantiasa menjaga ekosistem laut. Tak boleh menangkap ikan menggunakan pukat harimau, kompresor, bom atau alat tangkap yang membahayakan/membunuh biota laut maupun ikan yang dilindungi. Di darat, panglima laot melarang keras merusak hutan pantai, buang sampah atau limbah ke laut. Serta hal lain yang merusak lingkungan dan laut. Aturan ini dibuat supaya laut kita tetap terjaga hingga anak cucu kelak.
Keberadaan Panglima Laot di Aceh secara signifikan bersama masyarakat pesisir memiliki peran cukup besar dalam pengelolaan konservasi perairan. Beberapa tradisi masyarakat yang turun temurun menjadi nilai dan adat yang diyakini sebagai bagian dari kesadaran masyarakat untuk menjaga pesisir dan perairan kita dari berbagai kerusakan maupun ancaman luar.
Kasus terdamparnya para imigran Rohingya yang beberapa bulan terakhir menjadi viral di Aceh, dapat dilihat sebagai pelajaran berharga bagaimana para nelayan tangguh mampu memposisikan diri; satu sisi sebagai pejuang kemanusian tapi juga sebagai pengawal terdepan teritorial bangsa kita. Dalam adat laot jelas diajarkan bahwa menjadi kewajiban kita untuk menolong siapapun yang butuh pertolongan di laut. Tanpa melihat ras, suku, bangsa, agama, kulit maupun jenis kelamin. Semua wajib di tolong selama tidak membahayakan diri sendiri, tak melanggar hukum negara maupun hukum agama. Ada pesan adat yang melekat dari para indatu kita bahwa jangankan manusia, kambing saja yang terapung dan butuh pertolongan, maka wajib diberikan pertolongan. Konon lagi manusia, atas dasar dan pertimbangan kemanusiaan siapapun mereka harus ditolong.
Untuk tetap menjaga dan menegakkan hukum adat laut ini tentu tidak mudah. Kita sering dihadapkan dengan kepentingan pragmatis dan narasi kebencian yang diproduksi para buzzer untuk keuntungan pribadi. Berbagai tuduhan dan bully dilontarkan pada panglima laot karena dianggap bersekongkol dengan imigran dan alasan tak masuk akal lain. Padahal nelayan kita sangat ikhlas memberi pertolongan bagi siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Termasuk etnis Rohingya. Tentu bila mereka terlibat pelanggaran hukum, maka pastilah semua kita serahkan kepada penegak hukum untuk diproses seadil adilnya sesuai hukum yang berlaku di darat.
Sementara para nelayan seperti biasa kembali mengais rezeki di laut. Seringkali para nelayan ini tak pun mendapat apresiasi dari para pihak yang kemudian dianggap atau menjadi pahlawan kemanusiaan. Meski demikian, bersama stakeholder yang ada, Panglima Laot tetap menjadi perpanjangan lidah masyarakat pesisir untuk menjaga laut dan perairan kita. Tugas kita panglima laot tetap menjaga kearifan lokal sebagai kebijaksanaan dan peninggalan nilai luhur budaya dalam masyarakat pesisir.
Walau keadaan dan nasib nelayan secara umum berada di garis kemiskinan, nelayan Aceh yang berjumlah lebih kurang 100 ribu masih menggantungkan diri di laut. Umumnya adalah nelayan tradisional dengan mayoritas boat tangkap di bawah 5 GT. Nasib nya tak kunjung baik karena sering kali hanya menjadi objek dari berbagai program pembangunan dan penelitian. Ketergantungan pada musim dalam melaut juga menjadi masalah tersendiri selain problem klasik seperti sedimen kuala, surat izin kapal, BBM subsidi, harga ikan anjlok pada musim panen, maupun sering terdampar ke negara lain saat melaut.
Karena itu, kiprah dan peran Panglima Laot dalam masyarakat nelayan sangat penting sebagai kekayaan nusantara. Berbagai kearifan dan nilai yang diyakini turun temurun harus menjadi penguat dan penopang para nelayan. Sebagai bangsa besar maritim sangat wajarlah nenek moyang kita disebut sebagai seorang pelaut yang tangguh. Bukan saja dalam mengarungi luas, tapi juga dalam menjaga kearifan serta kawasan perairan nusantara yang kaya raya. Maka patut sekali pemerintah dapat mengayomi nelayan dengan berbagai program pembangunan yang berpihak nelayan dan masyarakat pesisir. Termasuk saat musim badai yang membahayakan nelayan mengais rezeki di laut.
Penulis: Azwir Nazar
Sekjen Panglima Laot Aceh dan Alumni Universitas Indonesia