Negeri Dua Kudeta
Akhir Juli 2016 lalu saya berkesempatan mengunjungi Mesir. Jarak tempuh dari Istanbul ke Kairo hanya 2,5 jam menggunakan pesawat. Ini kunjungan pertama saya ke Afrika setelah sebelumnya hanya transit di Kairo saat menuju Jordania dan Palestina awal 2016. Kesempatan yang baik tersebut saya gunakan untuk menyusuri Negeri Kinanah yang masyhur itu. Tak tanggung, saya memperpanjang tour di sana hingga 10 hari. Sementara para delegasi Persatuan Pelajar Indonesia dari 29 Negara yang menggelar Simposium Internasional pada 24-28 Juli 2016 seseuai jadwal sudah kembali ke negara masing masing.
Selama ini mesir sangat familiar di lingkungan saya. Memiliki basis pesantren sejak Madrasah Tsanawiyah, rasanya bisa mengunjungi dan kuliah di Mesir sebuah prestise tersendiri. Betapa tidak, kita ketahui bahwa alumni Timur Tengah terutama Al Azhar menjadi pengasuh di banyak pondok pesantren di nusantara. Mesir sendiri sedang musim panas. Suhunya berkisar 33-40 derajat. Udara berdebu dan banyak sampah berserakan di jalanan sangat berbeda dengan Turki. Kendaraan umum juga mirip angkot tahun 80-an di Indonesia. Benar-benar negara tertinggal. Lalu lintasnya sangat semrawut, orang-orang awam suka menipu, banyak pula pencopet terutama di malam hari telah menambah pelik wajah Mesir pasca Revolusi kejatuhan Husni Mubarak 2011 lalu. Celoteh beberapa warga warga menginginkan kembali ke rezim Mubarak yang dianggap lebih kondusif dan kuat.
Pasca kudeta terhadap Mursi ekonomi Mesir kian terpuruk. Konon sebagian pengamat mengatakan sudah lebih mendingan setahun belakangan. Demonstrasi sudah tak ada. Ditandai pula dengan penangkapan besar-besaran pengikut Ikhwanul Muslimin. Wajah Mesir pun kini didominasi militer dan banyak tentara berjaga di jalan. Apalagi bila di perbatasan antar kota. Suasana yang hampir sama saya rasakan saat mengunjungi Israel menuju Jerussalem dan Bethlehem musim dingin tahun lepas. Tapi seorang teman yang sudah lama di Kairo menyebut justru saat Mursi berkuasa yang menang secara demokratis di Negeri Firaun itu tak dapat menguasai militer. Mursi terlalu menggebu dan ambisius melakukan seruan perubahan. Strategi tak cukup matang. Justru Mursi digulingkan secara tragis dan militer dibawah Jenderal AsSisi merebut tampuk kekuasaan dengan dalih menyelematkan negara.
Dalam setahun terakhir situasi Mesir memang lebih kondusif. Meski demikian saya dengar dari Prof. Nazaruddin Umar, Imam masjid Istiqlal dan juga mantan Wakil Menteri Agama, Pemerintah Indonesia mengurangi kuota beasiswa disana sehubungan situasi pasca kudeta. Saat saya disana, pada Jumat (5/7) publik juga dibuat tersentak oleh sebuah percobaan pembunuhan terhadap Syekh Ali Jum’ah, mantan mufti dan tokoh nasional Mesir. Hal demikian justru tak pernah terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Sambil berziarah, seminggu lebih saya menelusuri berbagai sudut kota Kairo yang kian populer usai syuting Film Ayat Ayat Cinta. Seorang pengusaha Indonesia, Haji Balah, mengajak saya dinner di atas kapal sambil menikmati kesyahduan sepoi angin malam sungai Nil yang aduhai. Pagi hari usai matahari meninggi kami menyasar ketangguhan pyramid yang melagenda. Belajar dari jejak kisah Firaun, mengikuti pengajian hadis, hingga mengikuti jamaah zikir dan tareqat di luar kota Kairo yang bising. Saya menikmati sekali pertualangan ini dengan mencoba kendaraan umum, seperti bus, taxi, hingga keledai. Ada beberapa restauran (math’am) Indonesia, Thailand dan Malaysia disana. Beda sekali dengan Turki. Di Istanbul saya dengar ada sekitar 23 restaurant China Uygur, sementara baru 1 rumah makan Indonesia dan Malaysia.
Waktu di Mesir saya gunakan bertemu dengan komunitas kekeluargaan/Paguyuban Indonesia yang menjamur. Katanya hamper 5000 pelajar Indonesia di Mesir, maka muncul banyak sekali organisasi dan peguyuban. Semetara di Turki jumlah pelajar hanya 800 orang dan tersebar di 26 kota seantero Turki.
Hawa panas dan padat memaksa kita untuk sabar berada di Kairo. Dalam hati saya mulai bertanya dan mencari sebenarnya apa yang menarik dari Mesir. Dalam sebuah diskusi seorang teman saya dengan lantang menyatakan Mesir diluar ekspektasinya. “Amit amit bila aku punya anak jangan sampei deh ke Mesir ini” celutuknya dihadapan hadirin. Tapi belakangan ia mendapat hidayah berhijab justru usai pulang dari Mesir. Dia mengirimkan pesan WA pada saya dengan penuh emosional tentang pengalaman spiritual yang memotivasinya belajar agama lebih baik.
Secara biaya, Mesir jauh lebih murah di banding Turki. Kata seorang pelajar di Al Azhar saat saya menginap di kost-nya, bila masih bujang cukup 1-2 juta sebulan lengkap dengan tempat tinggal dan makan. Walau satu rumah meski patungan 1-4 orang. Wow! Piker saya. Sangat berbeda bila di Turki apalagi Eropa. Memori saya langsung terngiang saat mengelilingi Eropa April lalu dengan biaya yang fantastis.
Jumat pertama (29/7) di Mesir saya shalat di Masjid Al-Azhar. Saya melihat para jamaah menenteng sepatu dan sandal dengan cermat demi menjaga supaya tak hilang. Hampir seluruh masjid yang saya kunjungi demikian. Kalau di Turki terutama di masjid modern tempat penitipan sepatu yang gratis itu dilengkapi alat pendeteksi lampu yang rapi. Di dalam masjid Al Azhar terlihat banyak kipas angin dan orang tidur beristirahat terutama waktu siang. Bila di Turki masjid buka tutup pada saat shalat dan tak boleh tidur di masjid. Termasuk bulan Ramadhan yang katanya tidur juga ibadah.
Saya terkesima menyaksikan masjid Al-Azhar dengan tiang-tiang kayu yang kokoh dan khas. Prediksi saya umurnya sudah sangat tua. Para Syeih menyampaikan Khutbah dengan bahasa yang menyejukkan. Saya mendengar khutbah dari masyayikh yang sangat menyejukkan. Seperti kenangan saat saya berkesempatan mendengar khutbah Jumat di mesjid Raja Jordania di Amman, atau nasihat-nasihat tarawih yang disampaikan saat saya iktikaf di masjid Fatih di Istanbul awal Ramadhan kemarin. Pesan taqwa, pemuda muslim dan solidaritas sosial menjadi topik perekat dan spirit kehidupan dijalankan.
Usai shalat Jumat, saya melihat antusiasme penuntut ilmu mengelilingi Syekh untuk mengaji. Syeh (guru) membacakan kitab, yang lainnya khusyuk mendengarkan. Kata Hendri Julian, adik angakatan saya di pesantren dulu itu talaqqi. Disitu salah satu kunci sukses di Mesir. Para pelajar duduk bersila, tak sedikitpun beranjak pergi. Suasana keilmuan begitu mendalam saya rasakan di banyak masjid. Bukan saja di Al-Azhar, tapi juga di masjid Husein yang terletak tak seberapa jauh di sebelahnya. Di masjid Husein juga terdapat makam cucu yang paling disayang Nabi Muhammad. Konon hanya kepalanya saja, sebab badannya dikuburkan di Iran (baca: Karbala).
Di sebelah masjid ada pasar Khan Khalili, tempat belanja souvenir, selain pasar tradisional dan rumah-rumah tinggal mahasiswa atau ma’had yang dipakai untuk belajar. Rasa penasaran saya terhadap Mesir mulai sedikit terkuak. Jawabannya tentu bukan di Mall yang jauh kalah dari Ankara, tempat saya tinggal. Atau kapal di Nile River yang jauh dari pesiar Bosporus yang membentang di ujung Asia Eropa.
Kehidupan di Kairo sepertinya berjalan sangat lambat. Saya melihat banyak sekali orang hidup very slowly. Tradisi tidur pagi memang ada juga di Turki. Tapi umumnya sampai jam 08.00 teng! Pukul 09.00 pagi orang Turki harus masuk kantor. Walau di public transport kita menyaksikan mereka secara gigih melawan kantuk. Namun di Kairo kelihatan baru ada aktivitas di atas jam 09.00 pagi.
Saat menginap di kost teman tadi, malam hari saya melihat anak-anak kecil asik bermain, berlompat-lompat di halaman rumah hingga shubuh. Ajib! hingga menjelang Shubuh. Di Turki, meski tidur pagi tapi setelah bangun mereka bergegas pergi. Para pemuda serius dan tekun bekerja, maka jangan heran usia muda banyak yang ubanan. Termasuk mahasiswa yang harus mengikuti kuliah dan ujian hamper 2 minggu sekali. Ada pula dosen yang membuat ujian pas weekend. Maka bila diperhatikan face orang orang Indonesia umumnya lebih ‘hemat’ di banding Turki yang lebih tua sampai 10 tahun dari umurnya.
Bukan Mesir namanya kalau bukan begitu, sahut seorang teman saat kami berbincang pagi tak lagi tidur usai Shubuh. Di Turki banyak anak gadis saya temui cantiknya luar biasa tapi tak mandi pas kuliah, cuma pakai parfum. Saya awali cerita sesame anak muda lajang. Di Mesir pun tak kalah katanya, banyak wanita bergigi ‘emas’ alias tak sikat gigi. HP-pun baru masuk sekitar tahun 2009, lanjut mereka. Seorang senior sambal membuka jendela mengomel di Mesir juga aib bila menemukan istri berbadan kurus. Istri-istri di Mesir kelihatan lebih ‘sehat’. Tapi positifnya, di Mesir angka perceraian lumayan rendah. Beda sekali dengan Turki yang angka perceraian tinggi. Sebab kiblat kehidupannya masih ala Eropa yang kental ideologi Kemal Attarturk. Lain lagi dengan Sudan, negara yang bisa ditempuh via darat dari Mesir ini justru tabu jika hanya memiliki satu istri.
Waktu 10 hari memang tak cukup meriwayatkan negeri dua kudeta Mesir dan Turki. Walau dari sisi karakter ada beberapa kesamaan antara keduanya. Dalam hal ta’assub (fanatik/bangga diri)-nya saya lihat keduanya sebelas dua belas. Orang Mesir merasa apa yang mereka alami dan lakukan selama ini sudah sangat hebat. Barometernya adalah banyak orang dari seluruh dunia belajar ke Al-Azhar. Mereka bilang, orang negara lain saja belajar ke Mesir. Baru setelah revolusi, matanya lebih terbuka melihat dunia luar. Sementara Turki selalu masih merasa bangsa terbaik di dunia, baik dari segi pemimpin, memori khilafah Islam sampai pemain bolanya. Dunyanin en guzeli..” katanya.(terbaik di dunia).
Dari segi makanan, masyarakat Mesir mengkonsumsi ‘Aish (roti gandum). Sedangkan di Turki ada ekmek, roti yang ukurannya lebih besar. Saya melihat pertama saat relawan Turki membantu tsunami Aceh. Di beberapa sudut kota saya menjumpai penjual sari tebu (Ashab), seperti jajanan bulan puasa di Benhil Jakarta. Kalau di sudut jalanan Turki ada jus jeruk (portakal) atau wortel yang diperah dengan mesin seharga 2 TL. Cocok sekali menikmatinya sambal menunggu bis pada musim panas atau meneguknya usai main Futsal.
Transportasi yang aktif 24 jam adalah keunggulan Kairo dibanding Ankara yang hanya beroperasi sampai pukul 23.00. Warga Turki fanatiknya sama dengan Mesir sepertinya. Tapi di Turki kalau berantem sampai berdarah dulu, baru datang polisi. Tak ada yang berani melerai. Di Mesir mereka melerainya dan menyeru “Shallu ‘alan nabiy!” Ah, menarik sekali pikirku.
Di antara penduduk Mesir yang berjumlah sekitar 90 juta-an jiwa, terdapat lebih 20.000 WNA yang belajar di Al-Azhar. Biayanya juga sangat murah kalau tak mau dikatakan gratis. Salah satu kampus terbaik di dunia tersebut ratusan tahun telah menjadi mercusuar dunia yang melahirkan banyak ilmuwan, ulama, dan tokoh-tokoh dunia.
Lalu jika kita bergeser sedikit dari Kairo berkunjung ke provinsi lain, misalnya. Maka akan kita temukan kehidupan pedesaan yang sungguh berbeda. Masyarakatnya jauh lebih ramah, santun, dan suka tolong menolong. Walau kehidupan dan rumah mereka Sangat Sangat Sederhana (SSS). Tapi nilai-nilai kebersamaan dan kesetiaan sangat kental terlihat. Gurun pasir yang membentang di Mesir dan Jazirah arab mendidik mereka menjadi teguh pendirian dan pantang menyerah. Saat saya mengunjungi Matruh dan Siwa, provinsi yang berbatasan langsung dengan Libya, kami melewati perjalanan yang sangat melelahkan di gurun pasir nan panas menghanguskan. Atau ke Provinsi Giza melihat Piramid, saya bertemu seorang wisatawan Korea, Mine Su (28). Dia hampir pingsan dan muntah saat antri tiket menuju Luxor. Padahal dirinya sudah melancong lebih 30 negara. Kami terlibat diskusi panjang dalam metro angkot ala Mesir, kebetulan saya juga pernah mengunjungi Seoul, Mei 2006 lalu.
Bisa dibayangkan bagaimana mereka yang tinggal di pedesaan menjalani kehidupan. Walau demikian khazanah perdaban dan pariwisata melimpah ruah disana, ada telaga di tengah padang sahara, atau danau ajaib tujuh warna, kota jin, kisah Alexander Agung, para dewa Romawi, danau garam, gunung kuburan, Cleopatra, istana semut (Shali), atau sudut Mesir lain yang tak kalah menarik dibanding Turki. Sebut saja puncak Sinai tempat Nabi Musa menerima wahyu, makam Nabi Shaleh As dan juga Nabi Harun As. Semua itu ada di Negeri Kinanah.
Termasuk Kisah Fir’aun yang melegenda sebagai simbol manusia angkuh dan sombong yang dibinasakan. Kisahnya tertulis benderang dalam Al-Quran. Sedangkan di Turki ada kisah raja Namrud di Sanli Urfa yang membakar Nabi Ibrahim As serta Goa Sabar Nabi Ayyub as.
Mesir memang menjadi istimewa karena disebut dalam Al-Quran. Termasuk para penuntut ilmu di Mesir dihadapkan pula pada pilihan, mengikuti mulianya menjadi pengikut Musa As atau mengikuti keledai yang sering dipukul atau tercebur ke jurang yang sama. Di tengah kota Kairo yang semrawut, sampah berserakan, kehidupan yang keras, panas, penuh debu, lalu lintas yang kacau, saya takjub melihat pesona para ulama Al-Azhar yang tulus mengajarkan ilmu. Majelis-majelis ilmu telah membuat saya jatuh cinta pertama sekali di Mesir. Banyak teman mengikuti talaqqi (belajar agama dengan guru) di masjid-masjid, para syekh, ilmuwan, ulama hingga tokoh-tokoh dunia juga hadir dan lahir disini. Penuntut ilmu menghafal Al-Quran dan hadis, menguasai 4 madzhab dan para syekh yang sangat bijaksana, lembut dan penuh kharisma.
Cahaya ilmu Islam masih hidup di Mesir dalam ketulusan para pewaris Nabi itu. Hal demikianlah mungkin yang menyebabkan Mesir sebagai negeri pasca kudeta masih bertahan dalam berkah-berkah peradaban yang ditinggikan derajatnya bagi para penuntut ilmu serta diberi keamanan bagi mereka yang datang padanya.
Bila demikian, maka kita pantas berdoa supaya kisah Mesir dan Turki sebagai negeri dua kudeta mesti terus memberi warna bagi peradaban dunia. Terutama bagi cahaya Islam yang menjadi rahmatan lil’alamin. Bagaimanapun Turki telah bergerak mempromosikan modernitas Islam pasca keruntuhan rezim sekuler, dan Mesir memiliki banyak bahan baku sebagai basis keilmuan dan kajian keislaman dengan Al-Azhar sebagai ujung tombaknya. Maka mengawinkan keduanya akan melahirkan wajah Islam yang lebih sejuk dan dialogis termasuk model serta referensi bagi Indonesia sebagai negara mayoritas muslim dunia harapan di masa depan.
Penulis :
Azwir Nazar, Presiden PPI Turki 2016-2017.