Nasionalisasi Azan dalam Bahasa Turkiye (1932-1950)
Oleh: Rizqan Kamil, Peneliti ICAIOS Aceh, pernah menempuh studi di Turki
Pada tahun 1932, Mustafa Kemal memprakarsai proyek “nasionalisasi agama” sebagai bagian dari upaya Turkiye untuk mendominasi seluruh aspek kebudayaan. Pada bulan November 1928, sebagai bagian dari proyek ini alfabet Arab diganti dengan alfabet Latin, dengan tujuan untuk melepaskan masyarakat Turkiye dari tradisi Ottoman yang berbasis islam dan menyelaraskan dengan dunia barat. Mustafa Kemal menyatakan ketidaksetujuannya menggunakan bahasa Arab dalam ibadah keagamaan, dengan menyatakan bahwa hal ini akan mengurangi kepekaan nasional orang Turkiye yang beribadah dalam bahasa yang tidak mereka mengerti.
Hafız Yaşar, kepala komposer resmi negara menjelaskan keterlibatannya di bawah arahan Mustafa Kemal. Suatu Ketika pada hari kedua Ramadhan tahun 1932, Mustafa Kemal memintanya untuk membuat daftar para hafiz Qur`an. Hafız Yaşar menurutinya dan membuat daftar delapan hafız yang diundang ke Istana. Di istana, Reşit Galip (Menteri Pendidikan) menyapa para hafiz dan meminta mereka mengucapkan takbir dalam bahasa Turkiye, yang mengubah “Allahu Akbar” menjadi “Allah Büyüktür”. Namun Hafız Ali Rıza Sağman, hafiz ternama di Istanbul tidak setuju dan mencoba menggantikan kata “Allah” dengan kata “Tanrı”. Meskipun para hafız lainnya tidak yakin dengan argumen ini, Mustafa Kemal akhirnya lebih memilih versi yang disarankan oleh Hafız Ali Rıza: “Tanrı Uludur”.
Mustafa Kemal menekankan pentingnya memahami kata-kata tersebut dan menginstruksikan para hafiz untuk membaca terjemahan versi Turkiye selama beribadah di masjid. Termasuk memerintahkan dua pejabat negara untuk mengumumkan kepada pers bahwa hal serupa akan dilaksanakan di masjid-masjid lain mulai tanggal 22 Januari. Mustafa Kemal juga menginstruksikan agar Al-Qur’an Turkiye dibacakan di Masjid Sultan Ahmed pada hari Jumat tanggal 29 Januari dan di Masjid Hagia Sophia pada malam Nuzulul Qur`an.
Berangsur pada tanggal 3 Februari 1923, saat perayaan Maulid, Hafız Sadettin membaca Al-Qur`an Turkiye di Masjid Hagia Sophia dan disiarkan langsung di radio, sekitar 70.000 orang menghadiri acara tersebut. Pada tanggal 5 Februari 1932, khutbah Jumat dibacakan dalam bahasa Turkiye untuk pertama kalinya di Masjid Suleymaniye. Meskipun Al-Qur`an dan khutbah dalam bahasa Turkiye tidak berlanjut, namun azan dalam bahasa Turkiye menjadi praktik permanen yang diberlakukan oleh negara.
Azan untuk pertama kalinya dikumandangkan dalam bahasa Turkiye pada tanggal 30 Januari 1932, sedangkan dekrit azan versi Turkiye mulai dilaksanakan di semua masjid pada tanggal 18 Juli 1932. Pada tanggal 27 November 1932, para muazzin di Istanbul menjalani kursus untuk mempelajari cara membaca azan dalam bahasa Turkiye. Menurut surat kabar Milliyet, pada tanggal 2 Januari 1932 hampir setengah dari 1.200 muazzin di Istanbul berhasil menyelesaikan kursus azan Turkiye.
Pada tanggal 4 Februari 1933, ketua Direktorat Agama Turkiye mengumumkan bahwa muazzin yang enggan mengumandangkan azan dalam bahasa Turkiye akan menghadapi sanksi. Keengganan untuk membaca versi Turkiye ini akan mendapat hukuman sesuai Pasal 526 KUHP Republik Turkiye, dipenjara hingga tiga bulan dan membayar denda mulai dari 10 Lira hingga 200 Lira.
Mengutip surat kabar Cumhuriyet, mulai Februari 1933 azan di Turkiye mulai dikumandangkan secara nasional. Pemerintah mencoba mempromosikan versi baru ini dengan menerbitkan buku-buku dengan azan yang diperbarui dan doa-doa penting dalam aksara Latin. Menteri Pendidikan juga mempertimbangkan untuk mengizinkan Al-Qur`an terjemahan bahasa Turkiye dibacakan saat salat. Namun, gagasan beribadah dalam bahasa Turkiye tidak mendapat dukungan luas di kalangan masyarakat.
Penolakan terhadap nasionalisasi azan
Ada protes terhadap pengenalan azan Turkiye pada tahun 1930-an. Salah satu protes terjadi ketika seorang pengkhutbah berbicara menentang azan Turkiye di sebuah masjid di Bursa. Protes lain terjadi pada 16 November 1932 yang terkenal dengan “Insiden Bursa”, ketika muazzin masjid sedang tidak ada, baik azan maupun ikamat dilantunkan dalam bahasa Arab oleh dua orang jemaah masjid. Malangnya yang melantunkan azan ini kemudian diinterogasi oleh polisi. Tindakan ini menimbulkan perdebatan, sekitar 80-90 orang protes ke Direktorat Agama setempat, namun polisi melaporkan kejadian tersebut ke Ankara, dan menyatakan bahwa protes ini adalah kegiatan reaksioner.
Insiden ini dengan cepat digambarkan sebagai tindakan reaksioner terhadap Azan Turkiye. Pimpinan dari berbagai daerah di Turkiye mengirimkan telegram kepada Presiden yang mengecam kaum reaksioner di Bursa dan menyatakan dukungan mereka terhadap azan Turkiye. Insiden tersebut kemudian diselidiki, yang berujung pada penangkapan beberapa orang, termasuk Mufti (pemimpin agama) Bursa, yang dituduh menyatakan bahwa azan Turkiye tidak diperbolehkan menurut hukum Islam.
Selain insiden di Bursa, ada kejadian lain di mana seseorang ditangkap karena tidak membaca azan dalam bahasa Turkiye. Dua muazin ditangkap karena membacakan azan dalam bahasa Arab, dan dalam kasus lain, seorang imam mengajak seorang muazin untuk melakukan hal yang sama dan kemudian ditangkap. Terdapat dokumen resmi di arsip negara di Ankara yang menunjukkan komunikasi antara berbagai lembaga pemerintah terkait kasus ini. Misalnya, pada tahun 1936, empat orang diadili karena mengumandangkan azan dalam bahasa Arab di dua masjid (Masjid Erenköy dan Masjid Beyoğlu Ağa) di Istanbul selama bulan Ramadhan. Demikian pula, ada laporan pada bulan Oktober 1936 bahwa azan dalam bahasa Arab dikumandangkan di wilayah Maraş.
Selain pelanggaran-pelanggaran ini, ada strategi lain yang digunakan untuk menghindari azan Turkiye. Memoar orang tua di Turkiye misalnya, ketika mereka masih kecil, mereka sering diminta oleh para tetua desa untuk membacakan azan Turkiye karena tidak ada dari para tetua desa yang ingin mempelajari atau melafalkannya. Kisah ini menunjukkan keengganan masyarakat terhadap kewajiban azan dalam bahasa Turkiye.
Setelah era Atatürk
Hingga tahun 1941, pemerintah Turkiye mewajibkan pembacaan azan namun hanya mengatur pemberlakuannya secara tidak langsung melalui hukum pidana. Pada tahun 1941, sebuah undang-undang disahkan yang menyatakan bahwa siapa pun yang membacakan azan dan doa lainnya dalam bahasa Arab dapat dipenjara atau didenda. Amandemen ini dibenarkan sebagai cara untuk menghilangkan pengaruh bahasa Arab dan tradisi terkait dari masyarakat. Pada saat yang sama, İsmet İnönü, penerus Mustafa Kemal Atatürk, berupaya menghidupkan kembali reformasi Bahasa yang dianggap melambat setelah meninggalnya Atatürk. İnönü memainkan peran penting dalam mempertahankan dan memperkuat reformasi terkait dengan azan Turkiye, pada masa kepresidenannya terdapat penerapan yang lebih ketat atas larangan unsur Arab dalam azan.
Menteri Kehakiman Fuat Sirmen menyatakan bahwa pada tahun 1946, empat puluh satu orang ditangkap karena melanggar larangan azan berbahasa Arab, dan pada tahun 1947, dua puluh sembilan orang ditangkap. Pada tahun 1948, ada langkah-langkah resmi yang diperkenalkan oleh Direktorat Agama yang mengecualikan hukuman bagi yang mengumandangkan takbir Arab selama maulid, pembacaan Al-Qur’an, dan selama hari raya lebaran. Namun, membaca azan atau takbir dalam bahasa Arab di dalam atau di luar masjid tetap mendapat sanksi.
Masalah azan Turkiye memicu perdebatan sengit antara mereka yang mendukung reformasi Kemalis dan mereka yang melihatnya sebagai pelanggaran kebebasan hati nurani. Ketika Partai Demokrat memenangkan mayoritas (487 kursi) pada pemilihan umum Mei 1950, mereka mendukung pandangan terakhir. Tindakan pertama Partai Demokrat di parlemen adalah mencabut larangan azan berbahasa Arab. Hal ini dicapai melalui undang-undang baru yang menghapus pernyataan tentang orang yang mengumandangkan azan. Positifnya, orang-orang yang dituduh melanggar hukum sebelum amandemen akhirnya berhasil dibebaskan.