Nasi Bungkus

Sulaiman Tripa

Oleh: Sulaiman Tripa

banner 72x960

KADANG-kadang kami lebih memilih jalan praktis. Rumus membanding-bandingkan sering digunakan ketika berbicara nasi bungkus. Ketimbang memasak. Kira-kira jurus itu yang muncul. Dari harga, bisa jadi tidak sebanding. Tapi ada soal dan alasan lain yang tidak biasa. Makanan sendiri lebih terkontrol. Sesuatu yang sedikit lebih mahal, bisa dikontrol kualitasnya. Dengan rasa yang juga selaras.

Apa pentingnya soal rasa? Barangkali pertanyaan itu bisa muncul. Jangan lupa, banyak orang yang mengejar rasa, tidak menyoal berapa besar biaya yang akan dikeluarkan. Orang yang mencari makanan yang enak, sekaligus tempatnya nyaman. Tidak saja soal rasa lidah, tapi juga soal rasa yang lain. Apa yang dirasakan dengan indra, kemudian dikirim sinyal ke rasa batin.

Pada akhirnya, tempat yang bisa menghargai tamunya, akan mendapat tempat bagi banyak hati. Tempat-tempat itu akan dicari dan dari mulut ke mulut akan tersampaikan kepada orang lain. Cara kerja yang sederhana dan berlangsung dalam kehidupan kita. Ada tempat yang bisa mengeluarkan biaya iklan yang tidak sedikit, namun tidak selalu bisa efektif untuk memanggil tamunya untuk datang.

Saya kira jangan terlalu jauh. Soal nasi bungkus. Sebagai salah satu pilihan praktis. Dulu ketika masih mahasiswa, kami hanya membeli lauknya. Tidak membeli nasi. Tentu dengan harga yang sepertiga saja dari harga sebungkus nasi. Bertahun-tahun saya merasakan itu. bersama teman. Kami membeli lauk sepotong. Bergabung dengan teman lain. Jika siang saya yang akan beli, maka untuk makan malam, akan dibelikan teman. Ini juga soal pilihan praktis.

Dengan pilihan praktis, soal nasi bungkus, kami bahkan memiliki sejumlah tempat yang sudah seperti langganan. Istilah ini, dalam bahasa lokal harus dimaknai secara berbeda. Tidak sekedar soal asal kata: langgan. Langganan biasanya akan mendapat tempat berbeda di batin penjual. Soalnya orang yang selalu akan datang. Tidak berganti tempat dan hati, ketika memutuskan untuk membeli sebungkus nasi.

Beberapa warung nasi yang sudah terkenal, akan terasa padat pada jam-jam tertentu. Harus antre. Ada penjual yang bisa menjaga konsistensi. Tidak sedikit yang abai. Saat sedang banyak pelanggan, para penjual sudah tidak menjaga diri. Padahal saat sedikit pembeli, berusaha menarik tamu lebih banyak untuk datang. Tamu diperlakukan secara khusus. Sebaliknya, ketika sudah datang, tidak diperlakukan seperti sebelumnya.

Jika sudah pilihan hati, orang akan memilih antre. Saya merasakan dalam warung kopi juga seperti itu. Pelanggan harus dijaga juga dengan menggunakan hati. Saat orang tidak menjaga pelanggannya, mereka akan bergeser ke tempat lain.

Saya memiliki pengalaman di warung kopi. Juga di warung nasi. Ketika antre, mereka tidak peka untuk melihat orang-orang yang sudah lama antre. Apalagi orang yang datang kemudian, lebih terkenal dibanding kita yang sudah antre lama. Tidak boleh. Mereka harus menjaga hati pelanggannya. Dengan hal kecil, bisa jadi orang tidak akan balik lagi. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

Sudah ditampilkan semua