Momentum Adinda
Relasi Kanda-Adinda itu telah lama ada. Ya, sejak manusia menyadari diri mereka sebagai zoon politicon.
Dengan demikian relasi Kanda-Adinda itu selalu ada. Di masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang.
Sifatnya selalu dinamis dan fluktuatif. Seperti harga saham di lantai bursa. Kadang anjlok, stabil, atau melonjak.
Redaksi theacehpost.com meminta saya sepekan sekali menulis apa saja terkait relasi Kanda-Adinda di kolom yang diberi nama Canda. Apasa saja itu kalau dalam tradisi kuliner Aceh dikenal dengan gulee rampoe. Jadi saya ditugaskan menulis apa saja terkait dunia Kanda-Adinda serta segala dinamika yang melingkupinya sebagai sebuah narasi “pencerahan”.
Saya sempat bertanya, apakah Canda itu akronim dari Catatan Janda. Katanya, “Bukan!”. Canda itu kepanjangan dari Catatan Kanda. Saya pun nyaman.
Diksi Kanda-Adinda dalam sejarah kelahiran dan prakteknya sangat lah mulia. Sebagaimana kita ketahui, di masa lalu, mayoritas pemuda mahasiswa — berbeda dengan hari ini –yang merantau ke berbagai pusat pemerintahan dan pendidikan, baik di Banda Aceh, Jakarta dan berbagai tempat lainnya, bukanlah berasal dari keluar mampu dan mapan. Mereka bukan dari keluarga kaya, tetapi mereka merantau karena semangat untuk memperbaiki masa depan.
Nah, di rantau itu mereka disatukan oleh senasip dan seperjuangan. Menjadi lebih kuat dan terkonsolidasi lagi ketika mereka disatukan oleh berbagai organisasi kepemudaan/kemahasiswaan yang berbasis ideologi ketika itu.
Di organisasi tersebut mereka bukan hanya dilatih kepemimpinan dan manajemen, tetapi juga dibangun jiwa korsa untuk memunculkan rasa kebersamaan seperti tubuh yang satu. Saling membantu dan menguatkan.
Dari semangat kebersamaan dan kolektif kolegial inilah kemudian termanifestasi dalam interaksi dan komunikasi yang saling mengayomi dan menghormati. Kepada yang tua di sebut Kanda. Kepada yang lebih muda disebut Adinda.
Sebutan ini dalam tradisi organisasi seperti HMI, PII, GMNI, PMII, KNPI, NU, Al-Washliyah, Muhammadiyah dan sebagainya memiliki konsekwensi tanggung jawab moril, organisatoris serta kemanusiaan dengan segala dinamika yang ditimbulkannya.
Di masa lalu, relasi Kanda-Adinda ini sangat romantis sebagai kata ganti sangat ukhuwwah. Sekalipun tidak kenal. Paswordnya tinggal menyebut nama dan organisasi yang digelut. Maka Sang Kanda-Adinda langsung merasa dekat seperti sudah kenal lama dan segala urusanpun menjadi lancar.
Saya pada tahun 1990-an punya pengalaman efektifnya relasi ini.
Ketika itu Koran Republika yang baru dirikan BJ Habibi (ICMI) melakukan rekruitmen reporter dari daerah. Saya ketika itu salah seorang Adinda yang berminta melamar dan jadi reporter Republika.
Suatu waktu bersamaan dengan acara muktamar sebuah ormas di Jakarta, saya minta tolong Bang Miswar Sulaiman tokoh PPP dan PPI untuk bisa berkunjung ke dapur Redaksi Republika yang ketika itu terletak di Jalan warung Buncit Jakarta.
Ternyata tidak mudah masuk kantor koran yang didukung penuh Presiden Soeharto itu. Kami hanya boleh masuk sampai pos satpam. Tidak diizinkan masuk ke dalam.
Maka ketika itu Bang Miswar pun memanfaatkan relasi Kanda Adinda. Bang Miswar menelpon seorang tokoh PII semasanya yang berkantor Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) di Jalan Kramat raya 45 Jakarta Pusat.
Tidak berapa lama sebuah kejutan terjadi. Pak Parni Hardi, Pimred Republika ketika itu langsung menjemput kami. Maka hari itu pun semua urusan tuntas bahkan melebihi target.
Bagi yang pernah menjadi aktifis pemuda –mahasiswa, maka relasi Kanda-Adinda ini penuh warna. Selalu menarik diceritakan ketika waktu luang.
Sekalipun relasi Kanda – Adinda telah lama ada. Tetapi para netizen terutama Facebooker harus berterimakasih kepada seorang Adinda saya yang bernama Sayuti Muhammad Nur.
Adinda inilah melalui akun facebooknya yang berjasa membangun ulang narasi Kanda – Adinda sehingga menjadi “viral” di jagad Facebooker Aceh.
Maka ketika saya ditawar mengisi Kolom Canda ini saya tiba-tiba teringat Adinda Sayuti.
Saya sampaikan apresiasi atas konsistensi Adinda Sayuti — sampai hari ini — mengangkat thema relasi Kanda-Adinda dalam setiap statusnya, lengkap dengan segala perspektif dan dinamikanya.
Relasi Kanda – Adinda memang penuh warna warni. Senang, bahagia, lelah, kecewa, bahkan hingga kisah sukses atau gagal karena relasi Kanda – Adinda.
Semua warna warni kisah relasi Kanda-Adinda menjadi lucu, menggelikan dan menjadi hiburan ketika para pelakunya telah menjadi mantan Adinda. Biasanya ketika kumpul di warung kopi atau acara reuni semua warna warni itu menjadi bahan tertawaan yang saling menghibur.
Dalam dunia aktifis, perlu diketahui sekalipun “eselon” Adinda lebih rendah dari “Eselon” Kakanda tidak selamanya Adinda menjadi objek prank Kanda.
Itu mah tergantung keahlian masing-masing. Bila Adinda lebih ahli maka Kanda yang jadi objek olahan. Begitu juga sebaliknya.
Tapi biasanya fifty-fifty. Tergantung waktu beruntung dan waktu sial.
Sayuti adalah salah satu sosok yang pernah menjadi Adinda, dan dikala tertentu seiring usianya kadang juga cukup syarat dan rukun untuk memposisikan dirinya sebagai Kanda.
Perjalan hidup Sayuti sebagai Adinda membuatnya banyak makan asam garam aktifis dalam kontek relasi Kanda-Adinda.
Maka dari itu, setiap kita membaca status Facebook nya tentang Kanda- Adinda membuat kita terkocok perut tertawa.
Sayuti pernah berperan sebagai Adinda di kampus, HMI, KNPI dan berbagai komunitas lainnya. Hatta pernah juga berperan sebagai Adinda ketika sebuah pasangan calon Gubernur Aceh menunjukkan ya sebagai Jubir. Dengan segala dinamikanya.
Maka setiap membaca statusnya di Facebook cukup alasan kita untuk tertawa terhadap berbagai kekonyolan yang pernah dialami Adinda.
Karena apa yang ditulisnya itu adalah ekstrak pengalaman nya sebagai Adinda. Baik menyenangkan, susah, atau tidak menentu. Mungkin berkali kali dibohongi Kanda dan sekali-kali membohongi Kanda. Seperti anak bebek yang secara alamiah pandai berenang, maka seorang Adinda juga jadi pandai olah ketika dia berkali terlatih diolah oleh para Kakanda.
Saya yakin, ketika kolom ini diberi nama Canda — Catatan Kanda — pasti terinspirasi dari status Adinda Sayuti yang selama ini konsisten memposting thema ini .
Dalam nama Kolom itu terangkum saripati memori relasi Kanda – Adinda yang tidak hanya mencubit bekas luka lama, tetapi juga darinya ada inspirasi dan pencerahan.
Salah satu inspirasi dalam pola relasi Kanda – Adinda adalah momentum.
Seorang Adinda akan sukses menjadi Kanda yang sukses bila yang bersangkutan telaten memanfaatkan momentum.
Kata orang tua momentum itu hanya sekali, jarang-jarang berulang berkali.
Hukum besi sejarah telah menorehkan sebuah kebenaran bahwa momentum itu dipergilirkan. Termasuk antara Kanda dan Adinda. Dengan narasi lain setiap waktu ada orangnya, dan setiap ada waktunya.
Maka dari itu untuk menggapai momentum yang tepat seorang Adinda harus sabar dan jeli melihat dan memanfaatkan momentum. Tidak boleh cepat marah atau suka marah-marah.
Mengakhiri catatan ini saya ingin menceritakan peristiwa lucu, lugu dan menggelikan antara Kanda dan Adinda.
Suatu pagi beberapa adinda diajak Kanda sarapan pagi di sebuah warung.
Kepada para Adindanya, Sang Kanda mengajak makan nasi bungkus sambil menyerumput kopi. Semua Adinda patuh terhadap arahan kanda. Mereka hanya minum segelas kopi dan satu bungkus nasi guri.
Ada seorang Adinda yang bergaya lain. Seakan tidak mau memberatkan biaya yang harus dikeluarkan Kanda, dia bilang, “Sya makan kue aja Kanda, nggak usah nasi”.
Kanda pun mengiyakan dan mempersilakannya makan kue saja dan segelas kopi.
Ketika bubar dan membayar sarapan pagi tersebut, Sang Kanda pun terkejut bukan kepalang. Ternyata harga yang harus dibayar untuk jumlah kue yang dimakan Adinda itu tiga kali lebih mahal dari harga sarapan para Adinda lainnya. Rupanya Adinda ini makan kue lebih dari sepuluh potong.
Nyan ban. Pada saatnya semua kita akan jadi Kakanda. Bersabar saja !.[]
Tinggalkan Balasan
1 Komentar
-
Masya’Allah tabarakallah…
Memang kalo bercerita kanda dan adinda + ayunda…
Ada kesan tersendiri, namun saya hanya sedikit meberikan komentar bahwa dlm tulisan di atas paragraf ke 10, disitu tertulis sebutan Tradisi dalam organisasi seperti HMI, PII, GMNI, PMII, KNPI, NU, Al-Washliyah, Muhammadiyah. Dalam hal ini saya ingin meluruskan bahwa, panggilan kanda dan adinda itu khususan untuk PII dan HMI, sedangkan organisasi lain punya masing2 khas panggilannya.
Kemudian sepertinya saya tidak asing dengan sosok Sayuti Muhammad Nur, apakah beliau politisi partai Golkar? Kebetulan beliau adalah satu tim dengan saya ketika memperjuangkan ayahanda Dr. Tarmizi Akarim, M. Sc, sebagai kandidat Gubernur Aceh..
Salam buat beliau…