Menyoal Peukateun Siliek Darah Bak Ujong Peudeung
THEACEHPOST.COM – Diksi ‘siliek darah bak ujong peudeung’ acap kali muncul pasca konstelasi politik usai setelah kandidat/paslon tertentu dinyatakan sebagai pemenang dalam perhelatan demokrasi seperti Pilpres, Pilkada, Pileg, Pemilihan Rektor, pemilihan pimpinan ormas, bahkan sampai level pemilihan keuchik pun demikian adanya.
Istilah ini secara etimologis kira-kira bermakna mengoleskan darah di sebilah pedang, seolah-olah ia berhasil membunuh musuh di medan peperangan.
Secara terminologis, reaksi seseorang terhadap klaim orang lain atau beberapa orang lain yang menyebutkan dirinya paling berkontribusi aktif dalam laga politik yang baru saja mendapatkan kemenangan dalam berbagai konstelasi politik.
Reaktifitas tersebut sebagai gambaran kekesalan atas subjek orang tertentu. sikap ini terkadang hanya dianggap sebagai sebuah lelucon nyeleneh namun tak bisa dipungkiri ada pula yang menunjukkan kesan raut wajah serius, hal ini sering dilihat di kedai-kedai kopi maupun di dinding media sosial dengan sindiran-sindiran yang amat menohok bahkan amat sangat “lucu” (haek takhem).
Fenomena ini menarik untuk dikuliti mengingat sebuah fakta peristiwa yang dalam dinamika kehidupan masyarakat yang heterogen seperti di Meulaboh. Potret sosial semacam ini jarang disorot dan dieksplorasi padahal bisa dijadikan sebagai narasi sejarah sosial sekaligus pembelajaran oleh generasi kita pada masa yang akan datang.
Perilaku “siliek darah bak ujong peudeung” kononnya bertujuan agar mendapat perhatian lebih dari subjek hukum orang (penguasa) yang memenangkan konstelasi politik dengan harapan bisa mendapatkan keuntungan secara pribadi dalam berbagai hal, seperti jabatan, akses, proyek dan lain sebagainya.
Tidak hanya berhenti sampai di situ, potensi fitnah pun biasanya akan terjadi antar sesama yang diklaim sebagai tim pemenangan, hal ini merujuk pada beberapa pengalaman sebelumnya sehingga perilaku ini bisa menampik keberadaan dan peran orang lain untuk memperoleh akses fasilitas ruang dan lain sebagainya, bukankah ini ending ceritanya?
Semua ini terjadi atas dasar syahwat yang tidak terkendali, motifnya ekonomi pribadi semata seperti ingin cepat kaya dan lain sebagainya. Namun semua ini sangat tergantung pada penguasa dimaksud apakah ia ingat atau tidak ketika susah dan payahnya saat berjuang dulu, objektif atau tidak.
Perilaku semacam ini terkategori tidak elok, tidak sepatutnya dilakukan oleh orang-orang berilmu dengan alasan apapun, dalam Islam kebenaran itu tidak bersifat relatif akan tetapi ada standarisasinya, yaitu baik dan buruknya sebuah perbuatan sudah ada klasifikasinya.
Wallahualam bissawab.
Penulis: M Yunus Bidin SH MH
Pemerhati Sosial
Baca berita dan artikel lainnya di Google News dan saluran WhatsApp