Menyoal Peukateun Siliek Darah Bak Ujong Peudeung

Gambar ilustrasi. [Foto: Ist]

THEACEHPOST.COM – Diksi ‘siliek darah bak ujong peudeung’ acap kali muncul pasca konstelasi politik usai setelah kandidat/paslon tertentu  dinyatakan sebagai pemenang dalam perhelatan demokrasi seperti Pilpres, Pilkada, Pileg, Pemilihan Rektor, pemilihan  pimpinan ormas, bahkan sampai level pemilihan keuchik pun demikian adanya.

banner 72x960

Istilah ini secara etimologis kira-kira bermakna mengoleskan darah di sebilah pedang, seolah-olah ia berhasil membunuh musuh di medan peperangan.

Secara terminologis, reaksi  seseorang  terhadap klaim orang lain atau beberapa orang lain yang menyebutkan dirinya  paling berkontribusi  aktif dalam laga politik yang baru saja mendapatkan kemenangan dalam berbagai  konstelasi politik.

Reaktifitas tersebut sebagai gambaran kekesalan atas subjek orang tertentu. sikap ini terkadang hanya dianggap sebagai sebuah lelucon nyeleneh namun tak bisa dipungkiri ada pula yang menunjukkan kesan raut wajah serius, hal ini sering dilihat di kedai-kedai kopi maupun di dinding media sosial dengan sindiran-sindiran yang amat menohok bahkan amat sangat “lucu” (haek takhem).

Fenomena ini menarik untuk dikuliti mengingat  sebuah fakta  peristiwa yang dalam dinamika kehidupan  masyarakat yang heterogen seperti di Meulaboh. Potret sosial  semacam ini jarang disorot dan dieksplorasi padahal bisa dijadikan sebagai narasi sejarah sosial sekaligus pembelajaran oleh generasi kita pada masa yang akan datang.

Perilaku “siliek darah bak ujong peudeung” kononnya bertujuan agar  mendapat perhatian lebih dari subjek hukum orang (penguasa)  yang memenangkan konstelasi politik dengan harapan bisa mendapatkan keuntungan  secara pribadi dalam berbagai hal, seperti jabatan, akses, proyek dan lain sebagainya.

Tidak hanya berhenti sampai di situ, potensi fitnah pun biasanya akan terjadi antar sesama yang diklaim sebagai tim pemenangan, hal ini merujuk pada beberapa  pengalaman sebelumnya sehingga perilaku ini bisa menampik keberadaan dan peran orang lain untuk memperoleh akses fasilitas ruang dan lain sebagainya, bukankah ini ending ceritanya?

Semua ini terjadi atas dasar syahwat yang tidak terkendali, motifnya ekonomi pribadi semata seperti ingin cepat kaya dan lain sebagainya. Namun semua ini sangat tergantung pada penguasa dimaksud apakah ia ingat atau tidak ketika  susah dan payahnya saat  berjuang dulu, objektif atau tidak.

Perilaku semacam ini terkategori tidak elok,  tidak sepatutnya dilakukan  oleh orang-orang berilmu dengan alasan apapun, dalam Islam kebenaran itu tidak bersifat relatif akan tetapi ada standarisasinya, yaitu baik dan buruknya sebuah perbuatan sudah ada klasifikasinya.

Wallahualam bissawab.

 

Penulis: M Yunus Bidin SH MH

Pemerhati Sosial

Baca berita dan artikel lainnya di Google News dan saluran WhatsApp

Komentar Facebook