Menggali Interseksionalitas dalam Perspektif Gender dan Keadilan Sosial di Aceh
THEACEHPOST.COM – Interseksionalitas telah menjadi salah satu pendekatan penting dalam memahami dinamika ketidakadilan sosial, terutama dalam isu gender.
Konsep ini menawarkan cara untuk melihat bagaimana identitas-identitas sosial seperti gender, ras, kelas, dan kemampuan fisik saling berinteraksi dalam menciptakan pengalaman hidup yang unik, baik berupa privilege maupun kerentanan.
Dalam konteks Aceh, di mana adat istiadat dan nilai-nilai budaya kerap mempengaruhi peran sosial individu, pendekatan interseksionalitas menjadi relevan untuk menganalisis tantangan dan peluang menuju masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Melalui diskusi publik bertema “Menggali Interseksionalitas dalam Isu Gender dan Keadilan Sosial di Aceh,” Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry berupaya membuka ruang dialog dan refleksi kritis tentang isu-isu tersebut.
Kegiatan ini tidak hanya membekali mahasiswa dengan pemahaman teoritis, tetapi juga mendorong mereka untuk mengambil peran aktif dalam membangun kesadaran kolektif dan aksi nyata untuk mendukung kelompok rentan.
Diskusi ini sekaligus menjadi bagian dari komitmen institusi pendidikan dalam menghadirkan solusi terhadap ketimpangan sosial yang masih terjadi di tengah masyarakat.
Pada Jumat, 15 November 2024, Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Ar-Raniry sukses menggelar Stadium General dan diskusi publik bertajuk ‘Menggali Interseksionalitas dalam Isu Gender dan Keadilan Sosial di Aceh’.
Acara ini bertujuan meningkatkan pemahaman tentang interseksionalitas, terutama dalam kaitannya dengan gender dan keadilan sosial di masyarakat Aceh.
Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber kompeten di bidangnya, yaitu Dessy Setiawaty dari Yayasan Kesejahteraan Perempuan Indonesia (YKPI) dan Bayu Satria, seorang aktivis muda dari Youth Ide. Diskusi ini dihadiri oleh mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat yang ingin mendalami isu-isu tersebut.
Pentingnya Interseksionalitas dalam Perubahan Sosial
Koordinator acara menyampaikan bahwa Stadium General ini merupakan bagian dari proyek mata kuliah Gender dan Politik. Proyek ini dirancang untuk memberikan ruang edukasi bagi mahasiswa dalam memahami pentingnya isu interseksionalitas, terutama dalam konteks gender dan keadilan sosial di Aceh.
Dessy Setiawaty dalam paparannya menekankan pentingnya merubah pandangan masyarakat terhadap isu gender. “Perubahan sosial dimulai dari perubahan cara pandang individu. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesetaraan gender harus menjadi langkah awal,” ujarnya.
Dessy juga menyoroti pentingnya pemberdayaan perempuan, baik melalui alat maupun sumber daya yang mendukung mereka mencapai potensi penuh.
“Dengan memberdayakan perempuan, kita juga mendukung terciptanya masyarakat yang lebih adil,” tambahnya.
Mengidentifikasi Privilege dan Kerentanan
Bayu Satria, narasumber kedua, mengangkat perspektif tentang bagaimana privilege dan kerentanan seseorang tidak dapat dilihat sekilas.
“Privilege dan kerentanan memerlukan analisis mendalam untuk memahami apa yang menjadi kekuatan atau hambatan seseorang. Hal ini akan membantu kita menciptakan akses yang lebih setara bagi semua kelompok,” paparnya.
Dalam diskusi, Bayu memberikan contoh nyata tentang tantangan kelompok rentan seperti penyandang disabilitas. Ia menyebutkan bahwa kampus sebagai institusi pendidikan masih kurang ramah terhadap mereka.
“Misalnya, tidak adanya jalan khusus untuk penyandang disabilitas dapat menjadi salah satu hambatan yang perlu diatasi. Hal ini bisa menjadi bahan diskusi dan advokasi mahasiswa,” kata Bayu.
Kaum Muda dan Aksi Kolektif
Bayu juga menggarisbawahi peran penting kaum muda, khususnya Gen Z, dalam membawa perubahan sosial. Ia mendorong mahasiswa untuk terlibat aktif dalam kajian-kajian diskusi dan aksi nyata yang mendukung kelompok rentan.
“Saya tidak akan mendikte bagaimana prosesnya, tetapi saya percaya bahwa jika teman-teman memiliki niat membangun diri sendiri dan lingkungan, maka banyak ruang dan jalan yang bisa diakses,” tuturnya.
Ia menutup sesi dengan optimisme bahwa perubahan dimulai dari diri sendiri dan lingkungan sekitar. Menurutnya, mahasiswa memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan sosial, terutama dalam menciptakan lingkungan yang inklusif dan adil.
Interseksionalitas: Sebuah Perspektif Multidimensional
Diskusi ini juga memberikan pemahaman mendalam tentang interseksionalitas sebagai kerangka berpikir multidimensional. Interseksionalitas, menurut para narasumber, adalah konsep yang membantu kita memahami bagaimana identitas sosial seseorang, seperti gender, ras, kelas sosial, dan kemampuan fisik, saling berinteraksi dan menciptakan pengalaman unik dari privilege atau kerentanan.
Isu ini relevan di Aceh, di mana adat dan budaya sering kali menjadi penghalang bagi terciptanya kesetaraan. Dengan pendekatan interseksionalitas, masyarakat Aceh dapat lebih memahami bagaimana perbedaan identitas dapat menciptakan ketimpangan yang perlu diatasi bersama.
Rencana Aksi dan Harapan
Acara ini tidak hanya menjadi ruang diskusi, tetapi juga wadah untuk merancang aksi nyata. Beberapa mahasiswa yang hadir menyatakan kesediaan mereka untuk memulai advokasi di kampus, terutama terkait aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Mereka juga berencana mengadakan kajian rutin untuk mendalami isu-isu gender dan keadilan sosial.
Dessy dan Bayu berharap acara seperti ini dapat diadakan lebih sering, mengingat besarnya potensi generasi muda dalam membawa perubahan.
“Diskusi semacam ini memberikan energi baru bagi kita semua untuk terus berjuang demi kesetaraan,” kata Dessy menutup diskusi.
Acara ini mencerminkan langkah konkret FISIP UIN Ar-Raniry dalam mengedepankan pendidikan inklusif dan berkeadilan sosial, sekaligus memberikan inspirasi bagi kampus-kampus lain untuk melakukan hal serupa.
Penulis: Nazira Husna
Mahasiswi Semester 5 Prodi Ilmu Politik, FISIP, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry