Mengatasi Residivis Bukan Hanya dengan Penjara
THEACEHPOST.COM | Banda Aceh – Fenomena residivis, atau berulangnya seseorang melakukan tindak pidana kejahatan setelah sebelumnya dihukum, menjadi tantangan serius bagi penegakan hukum dan upaya rehabilitasi di Indonesia, khususnya di Aceh.
Berbagai faktor kompleks melatarbelakangi fenomena tersebut, salah satunya adalah kesulitan ekonomi dan keterbatasan lapangan pekerjaan bagi para mantan narapidana.
Gelombang keresahan melanda masyarakat di berbagai daerah seiring dengan maraknya kasus residivis yang kembali melakukan tindak pidana.
Keberadaan mantan narapidana yang seharusnya telah menjalani hukuman dan diharapkan dapat kembali berintegrasi dengan masyarakat, justru kembali melakukan tindak kriminal, menimbulkan rasa tidak aman di tengah masyarakat.
Menyahuti kompleksitas fenomena residivis, Hakim Tinggi Ad Hoc Tipikor di Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Dr H Taqwaddin SH SE MS, menyampaikan pandangannya. Menurutnya, fenomena berulangnya tindak pidana yang dilakukan oleh mantan narapidana merupakan isu multidimensional yang memerlukan penanganan holistik.
Sebelum menyampaikan pandangannya lebih jauh, Dr Taqwaddin lebih dulu menjelaskan dua bentuk pelaku kejahatan, yaitu white collar crime dan blue collar crime.
White collar crime adalah kejahatan kerah putih, kejahatan kelas atas yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan dan kewenangan tertentu di dalam pemerintahan.
Kategori kejahatan kerah putih ini seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, pidana perbankan, pidana perpajakan dan lain-lain, yang para pelaku itu umumnya adalah orang-orang berpendidikan tinggi.
“Bagi terpidana dalam perkara-perkara ini jarang kita dengar mereka mengulangi kejahatannya sehingga menjadi residivis, karena jika mereka ditangkap, langsung dicopot jabatannya. Lagi pula, bagi mereka itu hukuman penjara terasa berat sekali, nestapa derita yang mereka hadapi,” ujar Dr Taqwaddin kepada Theacehpost.com, Banda Aceh, Jumat (16/5/2025).
Berbeda dengan blue collar crime atau kriminal jalanan yang umumnya dilakukan oleh preman kelas bawah. Bagi sebagian mantan narapidana, terutama mereka yang bergumul dengan kesulitan ekonomi ekstrim dan kurangnya dukungan sosial, kehidupan di luar tembok penjara justru terasa lebih berat dan menyiksa.
Ironisnya, bagi kelompok ini, penjara dapat menjelma menjadi sebuah “rumah kedua” yang paradoks. Di dalam penjara, kebutuhan dasar seperti makanan, minuman, dan penerangan terjamin. Rutinitas yang terstruktur, meskipun terbatas kebebasannya, memberikan kepastian yang kontras dengan ketidakpastian dan kerasnya kehidupan di luar.
“Bagi sebagian orang yang tidak punya apa-apa di luar sana, penjara itu justru memberikan rasa aman dan terjamin. Ada makanan setiap hari, tempat tidur, dan tidak perlu pusing mencari uang untuk bertahan hidup,” kata Dr Taqwaddin.
Lebih lanjut, Dr Taqwaddin mengatakan, sistem pemasyarakatan yang ada saat ini tidak lagi cukup efektif untuk mencegah seseorang kembali melakukan kejahatan. Buktinya, kata dia, hampir seluruh Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di seluruh Indonesia penuh sesak, tak terkecuali di Provinsi Aceh.
“Semuanya full capacity (penuh), ini artinya mereka lebih enak hidup di dalam penjara dibandingkan di lingkungan masyarakat, apalagi masyarakat menolak dan mencurigai kehadiran mereka,” ungkap Dr Taqwaddin yang juga Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Aceh.
Jurus Jitu Tekan Angka Kriminalitas
Untuk mencegah kejahatan kembali berulang, Dr Taqwaddin mengatakan, pendekatan yang hanya mengandalkan penegakan hukum yang ketat kurang efektif jika tidak diimbangi dengan upaya nyata dalam mensejahterakan masyarakat.
Menurutnya, akar permasalahan kejahatan itu umumnya disebabkan oleh faktor ekonomi, sehingga pemerintah daerah dalam hal ini memiliki tanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan umum.
“Pemerintah harus bertanggungjawab. Secara konstitusi jelas dinyatakan bahwa kewajiban pemerintah untuk memajukan kesejahteraan umum. Nah, kejahatan yang terjadi di masyarakat itu umumnya terjadi akibat faktor ekonomi,” tegas Dr Taqwaddin.
Dalam penjelasannya, Dr Taqwaddin mencontohkan negara-negara maju dengan tingkat kesejahteraan tinggi seperti Belanda, Jerman, Swedia, Swiss, dan wilayah Skandinavia lainnya, dimana tingkat kejahatan cenderung rendah dan penjara relatif kosong.
Hal ini, menurutnya, menjadi indikasi bahwa kesejahteraan masyarakat memiliki korelasi yang kuat dengan tingkat kriminalitas.
“Untuk mencegah kejahatan, menurut saya, bukan hanya dengan cara penegakan hukum yang ketat. Tetapi lebih pada upaya memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya,” jelasnya.
Secara spesifik, Dr Taqwaddin juga menyoroti pentingnya fokus Pemerintah Aceh dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Langkah konkret yang ia usulkan adalah penghentian praktik korupsi secara menyeluruh, mulai dari tingkat dana desa hingga dana provinsi.
“Pemerintah Aceh harus fokus mensejahterakan masyarakatnya. Harus segera stop korupsi mulai dari dana desa hingga dana provinsi,” tandasnya.
Pernyataan dari Dr Taqwaddin menggarisbawahi pandangan bahwa pencegahan kejahatan yang berkelanjutan memerlukan pendekatan yang lebih holistik, tidak hanya berfokus pada penindakan setelah kejahatan terjadi, tetapi juga pada upaya preventif melalui peningkatan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat serta pemberantasan korupsi yang menghambat tercapainya kesejahteraan tersebut.
Pendapat ini memberikan perspektif penting dalam diskursus mengenai penanggulangan kejahatan di Indonesia, khususnya di Provinsi Aceh. (Akhyar)
Baca berita lainnya di Google News dan saluran WhatsApp