Membangun Pendidikan yang Berkualitas dan Berintegritas

waktu baca 3 menit
H Musannif

Oleh: H Musannif, Ketum DPP Pemuda Islam RI, Ketua Yayasan Darul Ihsan Abu Krueng Kalee dan Dewan Pakar DPP ISAD Aceh

Ada selaksa carut-marut pekerjaan rumah di dunia pendidikan kita hari ini. Dimana kita setiap tahun perguruan tinggi di Indonesia mewisudakan sarjana sebanyak 1,7 juta mahasiswa jenjang sarjana lulus setiap tahunnya. Namun jumlah itu bisa saja menjadi ancaman bagi kemajuan bangsa jika para lulusan tersebut tidak siap kerja. Demikian sebagaimana disampaikan oleh Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi, Kemendikbudristek pada seminar pendidikan.

Juga data mencengangkan jumlah perguruan tinggi negeri di Indonesia sudah mencapai 183 kampus pada tahun 2023. Ditambah jumlah kampus swasta di Indonesia mencapai 3.760 unit pada tahun 2023.

Dengan demikian, Indonesia berada di urutan ke-2 terbesar di dunia dengan jumlah kampus mencapai 4.528 perguruan tinggi. (sumber : https://pddikti.kemdikbud.go.id)

Bayangkan, kalau ‘mesin’ yang memproduksi sarjana strata 1- sampai 3, sejumlah 3.760 unit dengan ‘produk nya’ sebanyak 1,7 juta /pertahun yang kurang berkualitas dan berintegritas?
Sungguh, ini menjadi bom waktu dan menjadi potensi minus yang mengerikan bagi kemajuan bangsa kita.

banner 72x960

Di antara ‘bobrok’ yang menganga pada sarjana kita adalah karena tidak siap kerja dan tidak siap berinteraksi sosial dengan mumpuni dalam berbagai situasi dan kondisi, sehingga terjadilah pengganguran intelektual.

Dari uraian database yang validitasnya tidak diragukan, memperihatikan tidak?
Tentu jawabnya iya, sangat mengkhawatirkan, karena itu akan menjadi tsunami sosial bagi bangsa Indonesia.

Dalam amatan saya selaku pimpinan lembaga pendidikan, selama ini motode pembelajaran kita terlalu bertumpu pada satu kecerdasan saja, yakni, kecerdasan intelektual saja.

Dan, itu menjadi porsi penilaian dengan bobot nilai yang paling besar dalam setiap ujian dan evaluasi semesteran. Parahnya, seolah kolaborasi Tri Pusat Pendidikan, Pertama, lingkungan keluarga sebagai penanggung jawab utama terpeliharanya fitrah anak. Kedua, lingkungan sekolah untuk mengembangkan segala bakat dan potensi manusia sesuai fitrahnya.

Ketiga, lingkungan masyarakat sebagai wahana interaksi sosial bagi terbentuknya nilai-nilai keagamaan dan kemasyarakatan, Nampaknya dalam pembelajaran kontekstual tidak memiliki pengaruh besar.

Sebagai contoh kasus, mayoritas 2 dari 3 tri pusat pendidikan, yakni orang tua dan sekolah selalu bangga pada kecerdasan intelektual saja, sehingga nilai A atau A+ menjadi serbuan dan incaran peserta didik. Malahan ada orang tua memotivasi anak akan memberikan sejumlah hadiah jika dapat nilai kognitif meningkat atau dapat dipertahankan.

Padahal masih ada dua kecerdasan lain, yaitu kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Dua kecerdasan ini sering tidak serius menjadi perhatian dan diajarkan di lembaga pendidikan, tetang bagaimana seorang murid bisa berinteraksi dengan sesama dengan tidak saling ejek atau menjatuhkan, tapi saling mengisi dan memahami kekurangan dan menghargai kelebihan masing-masing anak.

Semestinya, kecerdasan spiritual tingkat kecerdasan inilah yang tertinggi pors dan bobot nilainya, yaitu seseorang sudah tau siapa dia, mau kemana dia dan buat apa dia ada.

Dengan kemampuan spiritual inilah kita sudah mengenal kenapa kita diciptakan, dan oleh siapa diciptakan?

Kecerdasan spiritual adalah orang yang dapat mempergunakan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosionalnya bukan lagi untuk kepentingan sempit, semata untuk pribadi dirinya saja, tapi sudah bisa mempergunakan semua kecerdasannya hanya semata untuk Sang Penciptanya, tempat kita akan pulang dan hidup secara abadi.

Kesimpulannya adalah, jika kita ingin mengubah generasi , maka harus dimulai dari pendidikan, dan tentunya harus diperbaiki pula metode dan cara pandang kita terhadap peserta didik yang sukses adalah pribadi yang bermanfaat bagi semua. Inilah maksud kalam manusia agung “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR Ahmad dan ath-Thabrani)

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *