Membangun Data Kantung Kemiskinan Terpadu Aceh
Oleh Oktana YS *)
DATA kemiskinan nasional terbaru telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). BPS Aceh pun telah merilis angka kemiskinan Aceh pada posisi per September 2020, yaitu 15,43% atau kurang lebih 800-an ribu orang miskin. Persentase ini masih di atas angka nasional 10,19%.
Rilis ini ternyata diikuti kemudian dengan peringkat kemiskinan seluruh Provinsi. Aceh berada di posisi paling bawah jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi di pulau Sumatera.
Hal ini sempat menjadi perdebatan berbagai pihak, di antaranya pertanyaan atas 800 ribu orang miskin, dimana saja daerah yang banyak penduduk miskinnya serta by name by address penduduk yang termasuk golongan di bawah garis kemiskinan.
Satu hal pasti semua pihak sepakat, bahwa masih banyak penduduk Aceh berada di bawah garis kemiskinan. Penduduk yang masih membutuhkan intervensi pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup kesejahteraannya.
Permasalahan di daerah mana banyak orang miskinnya serta siapa saja yang masuk golongan di bawah garis kemiskinan, menjadi tugas semua pihak, terutama pemerintah pusat dan daerah untuk dapat mencari solusi bagaimana mengentaskannya.
Inisiatif-inisiatif program pengentasan kemiskinan dan data kantung kemiskinan terintegritas Aceh sangat dibutuhkan, selain merupakan upaya mengentaskan kemiskinan juga memastikan program-program tersebut tepat sasaran.
Mengapa data kemiskinan 800 ribu dari BPS tidak dapat diidentifikasi lokasi dan by name by address-nya? BPS dalam mengukur kemiskinan menggunakan metodologi yang disebut dengan Metodologi Kemiskinan Makro.
Metodologi ini menggunakan konsep kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan.
Garis kemiskinan sendiri didefinisikan sebagai nilai rupiah kebutuhan minimum makanan dan non makanan yang dipengaruhi oleh tingkat inflasi regional.
Metodologi ini menggunakan indikator Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan ini. Indikator ini lah yang menjadi dasar perhitungan jumlah penduduk miskin, yaitu penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dari sejumlah sampling berdasarkan jumlah penduduk regional.
Kegunaan dari hasil pengukuran metodologi kemiskinan makro BPS ini adalah dapat menjadi bahan pertimbangan perencanaan dan evaluasi program kemiskinan dengan target geografis, bukan dalam rangka mengumpulkan data by name dan by address penduduk miskin.
Data Terpadu Kemiskinan Aceh
Akibat pandemi Covid-19, pemerintah telah mengambil langkah extraordinary, di antaranya melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Salah satu program PEN ini adalah melakukan refocussing dana desa dengan merelokasinya menjadi Bantuan Langsung Tunai atau dikenal BLT Desa.
BLT Desa dimaksudkan sebagai bantuan bagi penduduk miskin baru akibat dampak pandemi Covid-19. BLT ini menambah deretan program dalam jaring pengaman sosial existing lainnya seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Sosial Tunai dan Bantuan Pangan Non Tunai.
Penduduk miskin yang berhak mendapatkan bantuan tunai ini sesuai Permendesa Nomor 14 Tahun 2020, adalah penduduk yang kehilangan mata pencaharian di masa pandemi, belum terdata (exclusion error) dalam program jaring pengaman sosial existing dan mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun/kronis.
Mekanisme pendataan sasaran keluarga miskin BLT Desa juga sudah diatur dalam Permendesa. Pendataannya dilakukan oleh Relawan Desa Lawan Covid-19 yang difokuskan mulai dari RT, RW, dan desa. Hasil pendataan ini kemudian dibahas dalam musyawarah desa khusus atau musyawarah insidentil.
Menurut ringkasan kebijakan pengutamaan penggunaan dana TNP2K tahun 2020, Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan pentingnya pendidikan dan keterlibatan komunitas dalam penanggulangan Covid-19.
Keterlibatan komunitas dalam pemanfaatan dana desa untuk BLT Desa maupun kegiatan penanganan wabah Covid-19 menjadi bagian yang penting.
Selain itu, berbagai studi di Indonesia menunjukkan bahwa penetapan sasaran bantuan tunai yang berbasis komunitas memberikan tingkat kepuasan dan akuntabilitas yang baik.
Catatan Penelitian Smeru tahun 2020 menyebutkan keberhasilan desa dalam menjalankan program BLT Desa dipengaruhi setidaknya tiga faktor kunci.
Pertama, terdapat kesiapan kelembagaan dan komitmen aparat di desa serta para pendamping yang terlibat langsung dalam proses pendataan calon penerima dan penyaluran bansos.
Kedua, kriteria calon penerima bantuan yang digunakan desa tidak rumit. Hal ini memudahkan desa dalam menyeleksi calon penerima BLT Desa. Desa pun memiliki keleluasaan untuk menambah komponen kriteria penerima. Selain itu, desa memiliki kewenangan untuk mengatur siapa yang layak mendapat bantuan, misalnya, dengan membandingkan kondisi antar calon penerima, termasuk melakukan pemeringkatan.
Ketiga, desa melibatkan masyarakat dalam menentukan calon penerima bantuan. Dalam hal ini, aktivitas kelembagaan yang secara efektif digunakan adalah musyawarah. Melalui musyawarah, upaya transparansi dapat dilakukan dengan menilai kelayakan sebuah keluarga untuk menjadi penerima BLT Desa.
Bahkan, di beberapa desa, ruang partisipasi dibuka mulai dari musyawarah tingkat RT atau dusun. Akuntabilitas pun terjaga karena penetapan daftar calon penerima bantuan dilakukan bersama sehingga hasilnya bisa diterima semua pihak.
Jika prosedur Permendesa dan rekomendasi di atas dilakukan dengan baik oleh desa atau gampong, setidaknya gampong di Aceh telah memiliki data penerima BLT Desa dan data bukan penerima BLT Desa karena bukan golongan miskin atau golongan miskin yang sudah menerima bantuan tunai dari program existing lainnya seperti PKH, BST dan BPNT.
Data ini adalah data kemiskinan di tingkat desa atau gampong, yang semestinya juga dapat diintegrasikan per kecamatan, per kabupaten atau kota, serta dapat menjadi data kemiskinan Aceh.
Data ini tentunya dapat diolah lebih lanjut sehingga dapat diperoleh peringkat kemiskinan dengan tingkat ketepatan sasaran penerima manfaat yang tinggi mengingat mekanisme social control yang dapat dijalankan lebih baik di desa sebagai komunitas atau entitas pemerintah terkecil.
Data ini nantinya bukan menjadi data tandingan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial. Namun data ini akan menjadi pelengkap atau bahkan dapat menjadi data dasar bagi dinas sosial kabupaten dan kota untuk melakukan update data kemiskinan DTKS.
Secara simultan tingkat validitas ketepatan sasaran Program PKH, BST, BPNT dan lainnya di Aceh akan meningkat mengingat dasar penetapan penerima manfaat program-program existing tersebut adalah DTKS.
Untuk itu, sudah saatnya perangkat pemerintah Aceh seperti Bappeda, TKP2K, Dinas Sosial, Dinas DPMG, Dinas Kominfo dan perangkat lainnya beserta unit vertikal pemerintah pusat seperti BPS, BPKP dan Kemenkeu duduk bersama untuk mencari, merumuskan dan menetapkan karakteristik dan arsitektur data kemiskinan Aceh yang komprehensif, berangkat dari data BLT Desa.
Sementara itu, data tersebut juga dapat menjadi panduan dalam merealisasikan program-program pemberdayaan usaha masyarakat kecil pemerintah Aceh maupun pemerintah pusat, terutama pada pemberdayaan usaha sektor UMKM. []
*) Penulis adalah Pegawai Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Aceh