Melintas Bersama Umar, Teungku Sang Pelintas Batas
Tgk Umar Rafsanjani dari Kabilah Ikatan Pelajar Aceh Utara – IPAU, namanya sudah sering terdengar ketika awal Muharram peringatan Haul Abu BUDI Lamno pada tahun 2002, silam.
Saya tidak sempat berjumpa ketika nyantri di BUDI Lamno dengan Tgk Umar asal Pasee itu, baru setelah tamat di Darul Mu’arrif Lam Ateuk, dan saya rencana kuliah di Al Azhar, ketika itulah saya cari Teungku Pelintas Batas ini sekitar tahun 2008.
Dapat info dari kawan, Tgk Umar Al Bangla (mirip bangladesh), sudah pulang ke Aceh, mengabdi dan menetap di Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee.
Via telpon, kami janjian berjumpa di depan toko Sarena Ponsel Simpang Galon Darussalam, milik toke Tami asal Woyla.
Bertemulah dengan Tgk Bangla ini, Ia mengisahkan banyak hal liku-liku belajar diberbagai dayah sampai kairo tanpa dana, bermula di Bustanul Arifin Sp. Dama Tanah Pasir, Dayah Darussalam Labuhan Haji, BUDI Lamno, Dayah Abon Hasbi Nyak Diwa Kota Fajar, Dayah Tgk Marzuki Napai Woyla, Dayah Darussalamah Meulaboh, Universitas Al-Azhar As-Syarif, Az Zaitunah Tunisia setelah perjumpaan itu.
Diantara yang saya ingat, katanya, ” Semua saya lalui dengan semangat dan peukha-kha droe ju (nekad bulat), nanti semua akan mengalir “iprunoe le keadaan” (sikon yang mengajari). Bermodal nekat, insya Allah akan dapat hasil di luar dugaan.”
Saya pun mencoba merintis ikut jejak senior, ikut seleksi, namun sayang tidak lulus, mungkin karena tidak ada persiapan tes.
Dimaklumi bahwa peserta dari dayah Salafiyah Aceh biasanya kurang hafalan quran dan tidak mampu berbahasa Arab aktif.
Mau ikut tahun mendatang, tes dipindah ke IAIN Sumatera Utara, Medan.
Tersebab itu, niat berubah, ikut seleksi masuk di IAIN Ar-Raniry, Jurusan Bahasa Arab, dan lulus.
Karena sudah tau Teungku Umar di Darul Ihsan, saya pun mengajukan lamaran kerja sebagai pengurus dan guru, dan juga diterima.
Saya pun mulai bergabung dengan magezen-magezen di sana (T. Zulkhairi, Nyak dun, Rafa, Uma, Munzir, Syech Edi, Samsul, Sabur, Fadli, Khalid, Karnen dan lain-lain).
Setelah bersahabat lama, sudah 12 tahun, sampai sekarang membuat beberapa gerakan, baik bersifat sosial, agama, ekonomi dan politik.
Saya mendapati seorang Umar, alim muda, qari membaca al-quran, tidak banyak bicara, jika rapat malah sering tidur, jika ditanya pendapat, langsung ajak aksi, tidak suka rapat dan rapat, tapi aksi. berani, nekat, dan suka tantangan baru, dermawan, penyayang yatim tapi galak meupakee.
Sepertinya paradoks, tapi itulah sosok Teungku Umar Sang Pelintas Batas.
Semoga kami berkumpul kelak di dalam “Neraka”, iya “Neraka Wahaby Perampok Sunnah”. Hehehe.
Berharap dikumpulkan bersama Sang Pelintas Batas, guru, keluarga dan sanak family dalam jannatu annaim milik Allah azza wa jalla jalaluhu, Tuhan yang maujud, bilā kaif, walā makān walā yajrii alaihi zamān. Amin YRA. (Tafa)