Maulid

Ilustrasi: Warga Banda Aceh memperingati Maulid Raya di Lapangan Blang Padang tahun 2019. (Foto: Eko Deni Saputra)

Oleh: Sulaiman Tripa

banner 72x960

BAGI masyarakat Aceh, momentum maulid itu diperingati secara khusus. Tidak tanggung-tanggung, maulid diperingati sampai tiga bulan. Mauled awai, meuled teungoh, dan mauled akhe. Bersamaan dengan even ini, diselingi dengan makan bersama. Khanduri atau khawuri.

Selama ini saya merasakan keragaman bagaimana masing-masing kampung dalam menyelenggarakan khanduri ini. Di tempat saya, sangat khas dengan kuwah beulangong. Menggunakan daging kambing atau lembu, yang dengan mudah bisa diperoleh, terutama kawasan yang dekat dengan Kota Banda Aceh.

Masakah khas ini, menjadi tradisi dalam hampir setiap jenis kenduri. Bahkan ia menjadi tren dalam berbagai event: baik perhelatan biasa maupun yang khusus dilaksanakan berbagai kalangan. Bahkan ada kesan, seperti kurang afdal jika tidak ada kuwah beulangong. Saya kira hingga pada titik ada, ada keberhasilan bagaimana memadukan antara perhelatan –termasuk kultural dengan keseyogiaan menyediakan makanan dalam menyambut tamu.

Sebenarnya kuwah beulangong juga dimiliki masyarakat lain di Aceh. Kebiasaan memasak ini, terutama yang sangat kental dilakukan masyarakat pesisir. Tapi ada perbedaan dalam masyarakat lain. Bahan penting kelapa dalam kuah, bagi masyarakat lain digunakan santannya. Jadi kalau kita ke pesisir utara-timur, kita akan dapatkan kuwah beulangong namun dengan teksttur kuah yang sedikit berbeda.

Untuk rasa, saya kira sangat tergantung pada masing-masing yang menikmatinya. Orang pesisir barat atau timur, yang tinggal lama di kawasan Aceh Besar, membuat mereka terbiasa dengan kuwah beulangong di sana. Ketika sudah sangat terbiasa, tidak bisa lagi menghindar dan berbeda ketika menikmati jenis kuwah beulangong yang lain –termasuk dari kawasan asalnya. Ada rasa yang dinikmati terus-menerus, akan mengubah penerimaan indra terkait makanan itu. Bisa saja sebaliknya. Mereka yang terbiasa dengan masakan pesisir timur, akan merasa masakan yang lain kurang afdhal di lidahnya.

Begitulah fenomena makanan. Saya menceritakan ini, terkait dengan acara meuled. Saya memahami hal ini, sebagai cara orang Aceh memuliakan momentum kelahiran Rasul. Saya ingin melihat dari sisi yang berbeda. Apalagi dalam bulan ini, saya mendapatkan sejumlah undangan kegiatan lain.

Saat saya melaksanakan survei untuk kepentingan mahasiswa yang akan kuliah kerja nyata (KKN), saya mendapat sambutan khusus untuk hadir di meunasah. Ada masyarakat tertentu, yang merasa memuliakan tamu lebih penting jika di meunasah, bersama tamu yang lain. bersama-sama. Ada juga yang merasa menerima tamu di rumah, lebih terhormat di banding di tempat lain. Saya kira perbedaan semacam ini harus dipahami dalam konteks bagaimana masing-masing memaknai sebuah even.

Ada catatan. Jangan sampai gara-gara ingin menikmati makanan, Kita lupa acara hakikinya. Jangan sampai pula, kita menikmati event dengan makanannya, sedangkan kita lupa bershalawat sebagai alasan event itu dilaksanakan. Maulid itu sebagai momentum kita memperkuat cara hidup Rasul pada diri kita. Dengan demikian, orang-orang yang memperbesar hari kelahirannya, seyogianya tidak melakukan hal-hal yang tidak selaras dengan yang dilakukan Rasul. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. Ping-balik: Maulid – kupiluho
Sudah ditampilkan semua