Masa Jabatan Keuchik Jadi 8 Tahun di Revisi UUPA, Pakar Hukum: Tak Ada Salahnya Dibicarakan
THEACEHPOST.COM | Banda Aceh – Pakar Hukum, Mawardi Ismail mengatakan, tidak ada salahnya bagi pemerintah daerah pasca pengesahan RUU Desa untuk mengadopsi klausul masa jabatan keuchik di Aceh dari enam tahun menjadi delapan tahun ke dalam Revisi Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA).
“Kalau saat ini secara nasional masa jabatan kepala desa sudah berubah, saya kira tidak ada salahnya kalau dalam perubahan UUPA nanti poin-poin tentang pemerintahan gampong itu juga dibicarakan,” kata Mawardi Ismail, Banda Aceh, Senin (1/4/2024).
Menurutnya, perubahan UUPA harus aspiratif, jika mayoritas masyarakat Aceh menghendaki adanya perubahan masa jabatan keuchik, maka aspirasi tersebut tak ada salahnya untuk dijaring.
“Kalau memang ada keinginan dari masyarakat Aceh, saya pikir tidak ada salahnya keinginan itu dikawal masuk ke dalam Revisi UUPA, apalagi UUPA saat ini sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas),” ungkapnya.
Kendati UU Desa telah berubah, Mawardi menekankan bahwa masa jabatan keuchik di Aceh untuk saat ini tetap mengacu kepada UUPA. Masa jabatan keuchik harus tetap selama enam tahun dan tidak boleh sekonyong-konyong langsung mengikuti Perubahan UU Desa.
“Karena (UUPA) masih belum berubah, maka masa jabatan keuchik di Aceh tetap mengikuti UUPA,” tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) atau revisi perubahan kedua atas Undang-Undang No. 6/2014 tentang Desa secara resmi telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Jakarta, Kamis (28/3/2024).
Dimana salah satu poin krusial yang disepakati DPR RI yakni mengenai masa jabatan kepala desa yang menjadi delapan tahun dan dapat dipilih paling banyak untuk dua kali masa jabatan.
Meski pengesahan Perubahan UU Desa telah membawa angin segar kepada aparatur desa di Indonesia, namun para keuchik di Provinsi Aceh belum tentu bisa merasakan efek kebahagiaan yang sama.
Hal tersebut karena Aceh memiliki aturan lex specialis Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) yang subjeknya mengatur mengenai kekhususan pemerintahan Aceh termasuk di dalamnya tentang pemerintahan gampong.
Dalam UUPA Pasal 115 ayat (3) menyebutkan bahwa masa jabatan keuchik hanya enam tahun dan dapat dipilih kembali untuk dua kali masa jabatan.
Kemudian soal petunjuk teknis (Juknis) pemilihan keuchik di Aceh menggunakan UUPA dan aturan turunannya melalui Qanun Aceh sebagai landasan hukum.
Berbeda dengan pemilihan kepala desa di daerah lain yang menggunakan UU Desa dan aturan turunannya melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Kendati antinomi UU Desa dan UUPA ini terkesan dualisme hukum, namun para keuchik di Aceh masih memiliki satu harapan terakhir untuk bisa menikmati masa jabatan delapan tahun.
Harapan itu terdapat pada Revisi UUPA yang saat ini sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 29 Maret 2024 yang lalu.
Pertaruhan Terakhir Masa Jabatan Keuchik di Revisi UUPA
Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Aceh, Muksalmina, berharap agar nomenklatur yang mengatur masa jabatan keuchik di Aceh disesuaikan dengan UU Desa yang telah direvisi hari ini.
Menurutnya, ketimpangan dua aturan yang mengatur pemerintahan gampong, baik melalui UU Desa maupun UUPA, telah menyebabkan distorsi dan kebingungan di tengah-tengah masyarakat Aceh.
Karenanya, ia berharap agar klausul di dalam UUPA yang mengatur masa jabatan keuchik atau yang mengatur tata kelola pemerintahan gampong lainnya bisa disesuaikan dengan UU Desa yang telah direvisi.
“Kalau ada iktikad baik dari Pemerintah Aceh, saya pikir Revisi UUPA nantinya juga bisa menyentuh pasal-pasal pemerintahan gampong yang kita soroti selama ini, sehingga kita harapkan tidak ada lagi dualisme aturan, tidak ada lagi kesan yang aneh-aneh,” ujar Muksalmina, Banda Aceh, Jumat (29/3/2024).
Muksalmina mengatakan, tata kelola pemerintahan gampong di Aceh selama ini kebanyakan tidak menggunakan kearifan lokal sebagai landasan hukum, tetapi banyak menggunakan nomenklatur nasional.
Oleh karenanya, kata dia, tidak ada salahnya bagi pemerintah gampong di Aceh mengharapkan adanya political will (kemauan politik) dari Pemerintah Aceh dan DPR Aceh dalam proses Revisi UUPA untuk mensimetriskan aturan pemerintahan gampong yang ada di dalam UUPA dengan hasil revisi UU Desa.
“Ini salah satu momentum yang sangat baik kami rasa untuk menyelaraskan dua kebijakan yang berkaitan dengan tata kelola pemerintahan desa (UU Desa dan UUPA). Kalau toh nanti di revisi UUPA kita sepakat dengan model Aceh, yasudah kita ambil yang kekhususan Aceh, tetapi aturannya harus jelas, jangan setengah-setengah,” ungkapnya.
“Kalau di Revisi UUPA kita mau mengadopsi aturan nasional, ayo kita adopsi nasional, terutama yang berkaitan dengan tiga Pasal yaitu Pasal 115, 116 dan 117. Karena banyak permasalahan sering muncul di situ,” sambungnya.
Di sisi lain, Muksalmina mengatakan, meski UU Desa hari ini telah direvisi dan disetujui DPR RI, namun tata kelola pemerintahan gampong di Aceh masih menyisakan satu tantangan lagi, yaitu pertaruhan terakhir di Revisi UUPA.
“Kita (APDESI Aceh) tetap akan merapatkan barisan, kita akan kawal revisi UUPA khususnya yang bersinggungan dengan pemerintahan gampong. Persoalan nanti apakah UU Desa bisa berjalan atau tidak di Aceh, itu nanti kita kembalikan kepada mekanisme yang berlaku, tetapi kita tetap akan mengawal itu,” pungkasnya. (Akhyar)