Makanan
Oleh: Sulaiman Tripa
DALAM dua minggu ini, saya punya dua agenda. Di sisi sebelah barat Aceh, saya memiliki kewajiban mendampingi mahasiswa yang akan melaksanakan kuliah kerja nyata. Bukan koh-koh naleung –sebagaimana dulu diplesetkan oleh sebagian orang. Kesan ini, antara lain karena tidak semua mahasiswa trampil dan kreatif saat berada di lapangan. Harap dimaklumi, tidak semua mahasiswa memiliki latar belakang yang sama.
Mereka berangkat dari berbagai keadaan. Lalu bersatu di bangku kuliah. Wajar jika kemudian ditemukan ada di antara mereka yang tidak memahami semua hal. Keikutsertaan mereka dalam rombongan, tetapi tidak tahu mau mengerjakan apa, kesan inilah yang dimunculkan.
Di sisi sebelah utara Aceh, saya dan keluarga mengunjungi kerabat. Menyambung tali silaturrahim. Disambung dan menyambung. Menyambung dan disambung. Dalam masyarakat kita, satu perbuatan baik, akan dibalas berulang-ulang. Begitulah idealnya. Tidak masalah berapa yang akan mereka ganti, menyeimbang dari apa yang dibawa. Anda mungkin akan selalu ingat apa yang pernah dibawa orang terhadap kita. Tidak semua bisa dikalkulasi dengan harga. Bisa jadi pada saat itu, harga barang yang dibawa lumayan murah.
Namun kita tidak bisa memenuhinya waktu itu. Sehingga barang itu sangat bernilai bagi kita. Saat posisi sebaliknya, kita sudah mampu membeli apa pun, barangkali keadaan bisa berubah. Tapi yang tadi, soal harga dan nilai, harus dilihat dalam posisi yang penting.
Saya ingin menceritakan soal perjalanan. Kedua sisi Aceh itu, di jalan saya temui ternak yang bertebaran di jalan. Bukan satu atau dua ekor saja. Kerbau yang dominan di sisi barat-selatan. Sapi atau lembu di sisi bagian utara-timur. Jumlahnya kadang-kadang bisa menutupi jalan. Bahkan kalau malam, saat konsentrasi berkurang, berbagai hal memungkinkan terjadi.
Banyak ternak yang bermalam di jalan. Saya tanya pada sejumlah orang yang saya kenal, soal ternak menyandar di aspal ini. Orang yang saya kenal menyebut soal kehangatan. Apalagi aspal yang tadinya menerima suhu panas, tiba-tiba hujan, maka hawa yang tersimpan itu masih memungkinkan untuk dilepaskan. Ternyata keadaan yang sering dinikmati kawanan kerbau atau lembu.
Lantas jika terjadi kecelakaan, menjadi tanggung jawab siapa? Seseorang yang saya baru kenal di jalan, tempat saya dan istri menepi, memberi ilustrasi mengesankan. Katanya, semua ternak itu, jika hidup, pasti ada pemiliknya. Tapi ketika ia tertabrak, atau mati di jalan, sudah tidak ada yang mengakui sebagai pemilik. Begitulah dunia para pemilik hewan.
Padahal ternak seharusnya harus dijaga dengan baik, seiring juga dengan suatu saat akan menuai hasilnya. Di jalan, kita menyaksikan kehidupan yang sebaliknya. Hewan itu seolah hidup sendiri. Tidak ada yang mengontrol. Tidak ada yang bertanggung jawab. Termasuk pada saatntya nanti ketika ada korban, dari keberadaan ternak yang tidak terkontrol ini, di jalan-jalan. Mudah-mudahan ada pemilik yang membaca kolom ini, dan segera menjemput ternaknya yang masih di jalan. []
Baca juga:Â Kisah Touring Empat Wartawan Jakarta hingga Aceh: Seram Ketemu Sapi