Mabuk Budaya Impor Ala Pang Geureuop
Oleh: Tgk. Arika Amalia, S.Pd. Pengurus DPW ISAD Aceh Barat, Dewan Guru Dayah MUDI MESRA Samalanga & Staf Lajnah Bahatsul Masael LBM MUDI
Aceh merupakan salah satu provinsi yang dikenal bukan hanya syariat Islam dan pariwisata saja. Aceh juga dikenal dengan kearifan lokal atau adat istiadat yang masih kental. Banyak wisatawan mancanegara berbondong-bondong ke Aceh untuk melihat kulturalisme masyarakatnya yang sudah dikenal oleh dunia. Banyak adat istiadat Aceh yang menarik untuk dinikmati. Namun, adat istiadat Aceh tidak lepas dari pengawasan syariat, karena Aceh merupakan salah satu Provinsi yang dikenal dengan julukan Serambi Mekkah. Setiap budaya Aceh tetap bersifat Syari’at, baik budaya berupa seni rapai saman, meuseudati, dan kebudayaan lainnya seperti makanan khas Aceh seperti karah, bue thoe, boh husen, dan makanan khas lainnya.
Islam adalah salah satu agama yang mengakomodasi adat, seperti dalam kaidah fikih dikatakan, “Al-Adah Muhakkamah ma lam yukhalif al-Syar’” (Tradisi itu diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariah).
Seringkali kita mendengar ungkapan hadih maja Aceh: “Adat bak poteumeureuhom, hukom bak syiah kuala, kanun bak putroe phang, reusam bak laksamana.”
Maksud adad bak poteumeureuhom adalah pemegang kekuasaan eksekutif dan kebesaran tanah Aceh keputusan adat dicetus oleh raja-raja yang pernah memimpin di Aceh pada masa kesultanan Iskandar Muda. Maksud dari ungkapan hukom bak syiah kuala adalah Aceh mempunyai nuangsa agamis dalam hukum keagamaan sebagai integritas Aceh. Maka hukum islam di Aceh pada saat itu dipegang oleh ulama sebagi pemegang yudikatif mereka bertugas mengatur setiap permasalahan yang mengenai syari’at juga berisi permasalahan kehidupan. Dikiyaskan kepada Syiah kuala, karena pemberlakuan ini pertama kali terjadi di kerajaan Aceh pada masa Syaikh Abdurrauf bin Ali al-Singkili sebagai Wali al-Mulk pada masa itu. Antara hukum dan adat tidak bisa dipisahkan seperti ungkapan pepatah Aceh ;
“Hukom ngen adat lage zat ngen sifeut, tawiet han meulipat, tatarek han meujeu’eut”.
Maksud dari kanun bak putroe phang adalah qanun merupakan peraturan-peraturan daerah yang ditetapkan qanun tersebut ditetapkan setalah adanya musyawarah cendikiawan atas dasar saran dari putroe phang seorang pemaisuri dari sultan Iskandar Muda yang dibawa pulang dari Pahang, kenapa harus saran dari putro phang karena putro phang pada saat itu bukan hanya seorang pemaisuri raja, juga sekaligus penasehat raja. Sedangkan reusam adalah kebiasaan bangsa Aceh atau bisa diartikan sebagai adab atau tata krama sehingga adanya reusam di Aceh menunjuki bahwa tingkat budaya Aceh berada pada tingkat yang lebih baik. Salah satu contoh reusam di Aceh seperti menyapa tamu dengan Ranup Lampuan, laksamana adalah kata kiasan dari pada keperkasaan, kearifan dan keberagaman adad yang terdapat dalam kebiasaan. Dikiaskan kepada laksamana karena supaya kita menjunjung tinggi Reusam Indatu.
Mungkin bagi orang Aceh sendiri sudah mengetahui filosofi dari ungkapan hadih maja tersebut. Namun, sangat disayangkan bahwa zaman kekinian banyak terjadi perubahan, bahkan banyak adat Aceh yang sudah diintegrasikan dengan budaya-budaya barat sehingga tidak lagi mencerminkan norma-norma agama Reusam adat Aceh sudah mulai hilang satu-persatu. Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi.?
Dalam hal ini, kita memerlukan pembenahan atau evaluasi terutama dalam melestarikan adat Aceh yang masih kental sejak masa lalu. Hal ini membutuhkan perhatian khusus dari pihak yang berwenang untuk memperbaiki.
Baru-baru ini, Tgk Mustafa Husen Woyla atau yang akrab dipanggil dengan nama (Buya Woyla) menggugat MAA untuk mengganti nama-nama kue yang dinilai tidak sesuai dengan norma-norma agama, seperti kue boh sen yang sekarang dinamai boh husen, dan banyak lagi nama kue lainnya yang dinilai vulgar. Memang ada ungkapan “apalah sebuah namah, namun tanpa nama bukanlah apa-apa,” maka nama adalah aspek terpenting yang harus diperbaiki.
Kekeliruan tidak hanya terjadi pada nama kue, tetapi juga banyak budaya yang sudah bercampur baur ala kebarat-baratan. Salah satu yang baru-baru ini marak terjadi adalah saat prosesi lamaran (khitbah), di mana calon suami memasang cincin tunangan kepada calon istri. Perbuatan demikian jelas bertentangan dengan syariat sebagaimana yang dikemukakan oleh Az-Zuhayli. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa hukumnya haram jika calon suami memasang cincin untuk calon istri. Hal ini menunjukkan bahwa budaya luar telah menyusup ke dalam kearifan lokal Aceh. Padahal, tempo dulu, budaya bertunangan atau khitbah sesuai dengan ketentuan syariat yang memakai cincin kepada calon istri atau tunangan adalah ibu dari calon suami atau calon mertua. Bahkan, ada sesi foto prewedding, foto prewedding yang dilakukan sebelum menikah maka dalam perspektif agama adalah haram karena saat sesi foto banyak sekali adegan gaya romantis pengang-penggangan tangan, peluk-pelukan yang jelas bertentangan dengan syariat karena mereka bukan mahram.
Maka, kami sangat berharap adanya evaluasi dari pihak-pihak terkait untuk mengembalikan marwah keabsahan kulturalisme Aceh masa lalu tanpa mengubah kekentalan kearifan lokal yang sesuai dengan konsekuensi syariat.
Jangan sampai generasi Aceh seperti dalam hadis madja Pang Geureuop, Boh Ata Droe, Cok Ata Gob.