Kritik atas Ketidakadilan Ekologis di Aceh Barat Daya

Dalam beberapa pekan terakhir, publik dikejutkan oleh keluhan warga Desa Padang Baru, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya, yang menyampaikan protes keras terhadap aktivitas truk pengangkut bijih besi milik PT Juya Aceh Mining. Truk-truk tersebut melintas setiap hari di jalan utama desa untuk membawa hasil tambang dari wilayah Babahrot ke Pelabuhan Susoh, sebelum akhirnya dikirim ke Morowali, Sulawesi Tengah. Aktivitas ini telah memicu kerusakan lingkungan, pencemaran udara, serta penurunan kualitas hidup warga yang tinggal di sepanjang jalur lintasan truk.

banner 72x960

Keluhan warga tidak hanya bersifat reaktif, melainkan telah disampaikan berulang kali kepada pihak terkait. Seperti yang dilansir berbagai media lokal TheAcehPost.com, Bimcmedia.com, Sarannews.net, dan Krusial.com, warga menuturkan bahwa aktivitas pengangkutan bijih besi tersebut menyebabkan debu pekat yang menyelimuti rumah mereka, mengotori dagangan, serta mengganggu kesehatan pernapasan. Keluhan-keluhan tersebut menyiratkan realitas tragis bahwa keuntungan ekonomi dari aktivitas pertambangan justru dibayar mahal oleh warga dalam bentuk polusi dan penurunan kualitas hidup.

Dari informasi yang dihimpun, truk-truk pengangkut bijih besi beroperasi dari pagi hingga malam hari dengan intensitas yang cukup tinggi. Dalam satu hari, puluhan truk melintas tanpa henti, menimbulkan gumpalan debu yang beterbangan di sepanjang jalan desa. Warga mengaku, dalam sehari hanya dilakukan penyemprotan air sebanyak dua kali oleh pihak perusahaan. Namun, kondisi jalan yang cepat kering membuat upaya itu tidak efektif dalam menekan jumlah debu yang timbul. Akibatnya, warga harus melakukan penyemprotan mandiri di halaman rumah demi mengurangi paparan langsung debu terhadap keluarga mereka.

Dampak dari aktivitas yang dilakukan pengelola tambang sangat nyata terhadap penurunan kualitas hidup masyarakat Desa Padang Baru. Warga mengalami gangguan pernapasan seperti sesak dan batuk. Bukan hanya itu, keselamatan dalam berkendara juga sangat mengkhawatirkan mengingat truk-truk tersebut melintas di jalan masyarakat yang notabene sempit. Para pedagang mengalami penurunan omzet karena dagangan mereka dianggap kotor dan tidak layak konsumsi.

Jika dikaji lebih dalam, permasalahan yang terjadi di Abdya merupakan pola ketidakadilan ekologis yang lebih luas. Ketidakadilan ekologis terjadi ketika kelompok-kelompok tertentu, terutama masyarakat miskin dan terpinggirkan harus menanggung dampak lingkungan dari aktivitas ekonomi yang tidak mereka nikmati manfaatnya. PT Juya Aceh Mining memperoleh keuntungan dari eksploitasi sumber daya alam, sedangkan masyarakat harus menanggung beban lingkungan dan sosial yang ditimbulkan.

Ketimpangan ini tidak hanya dibiarkan, tetapi seolah-olah disahkan secara diam-diam oleh negara. Minimnya pengawasan terhadap pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), tidak adanya respons dari pemerintah daerah, serta tidak terkontrolnya operasional truk-truk tersebut mengindikasikan adanya pembiaran struktural yang memperkuat dominasi ekonomi atas keselamatan dan kesejahteraan rakyat.

Negara seharusnya menjadi pelindung hak-hak dasar warga negara, termasuk hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Namun, dalam praktiknya, negara kerap kali tunduk pada logika pasar dan investasi.

Negara sering kali berpihak pada pemodal besar dengan alasan pembangunan demi pertumbuhan ekonomi, investasi, dan penciptaan lapangan kerja. Namun, retorika pembangunan tersebut menjadi kosong ketika rakyat di sekitar proyek justru mengalami penderitaan dan kemunduran kualitas hidup. Pertanyaan mendasarnya: pembangunan ini untuk siapa?

Jika pembangunan yang diklaim demi kemajuan justru menyengsarakan rakyat, maka sesungguhnya kita sedang menyaksikan kemunduran yang dibungkus dengan narasi kemajuan.

Sebagai mahasiswa, penulis tidak bisa hanya diam. Isu ini bukan hanya milik warga Desa Padang Baru, tetapi milik semua rakyat yang berhak atas kehidupan yang sehat dan layak. Mahasiswa harus mendorong transparansi pelaksanaan dan pengawasan Amdal, mendesak evaluasi operasional perusahaan tambang, dan menuntut kebijakan perlindungan yang berpihak kepada rakyat.

Apa yang terjadi di Aceh Barat Daya merupakan refleksi kegagalan sistemik dalam mengelola pembangunan secara adil dan berkelanjutan. Ketika rakyat kecil harus menyiram jalan demi bertahan hidup, sementara perusahaan leluasa mengangkut kekayaan alam, maka jelas ada yang timpang dalam praktik kebijakan publik kita.

Penulis: Amirudin, mahasiswa dan pemerhati isu sosial dan lingkungan.

Komentar Facebook