Keluarga Santriwati Kasus Penyekapan di Banda Aceh Diduga Minta Uang Sebelum Lapor Polisi

Gambar ilustrasi. [Foto: Merdekacom]

THEACEHPOST.COM | Banda Aceh – Tim Kuasa Hukum MN, remaja terlapor dalam kasus dugaan penyekapan dan sodomi terhadap seorang santriwati di Banda Aceh, menyampaikan pernyataan resmi sebagai bentuk hak jawab atas pemberitaan yang beredar.

banner 72x960

Dalam pernyataan tertulis yang diterima redaksi Theacehpost.com pada Selasa (6/5/2025), tim kuasa hukum MN menekankan pentingnya menjaga keseimbangan informasi dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan di Polresta Banda Aceh.

“Pernyataan dari kami ini tidak bermaksud untuk menyudutkan siapapun, melainkan untuk menjaga keseimbangan informasi dan mendorong semua pihak, khususnya penegak hukum dan masyarakat untuk memegang prinsip keadilan yang berpihak pada kebenaran dan perlindungan anak,” ujar Koordinator Tim Kuasa Hukum Terlapor MN, Yulfan SH MH.

lebih lanjut, tim kuasa hukum menyoroti status klien mereka yang masih di bawah umur. Mereka menyayangkan pemberitaan yang dinilainya telah membentuk opini publik yang cenderung menghakimi sepihak, padahal proses hukum masih dalam tahap penyelidikan.

“Klien kami masih berstatus anak di bawah umur. Namun, sangat disayangkan, pemberitaan yang beredar di berbagai media dalam beberapa hari terakhir telah membentuk opini publik yang mengarah pada penghakiman sepihak. Padahal, proses hukum masih dalam tahap penyelidikan dan belum masuk ke ranah pembuktian secara objektif dan menyeluruh,” ungkapnya.

Tim kuasa hukum berharap agar semua pihak dapat menahan diri dari spekulasi dan memberikan kesempatan kepada pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan secara profesional dan transparan, demi tercapainya keadilan bagi semua pihak yang terlibat, termasuk perlindungan terhadap anak.

Ingatkan Psikologis Anak

Tim Kuasa Hukum MN, menyayangkan narasi sepihak yang dibangun oleh Tim Kuasa Hukum Pelapor dan disebarluaskan ke media massa tanpa mempertimbangkan dampak terhadap psikologis anak-anak yang terlibat dalam kasus ini.

Menurut mereka, baik anak yang menjadi pelapor maupun terlapor, keduanya adalah subjek hukum yang harus dilindungi martabatnya.

“Mengungkapkan dugaan tindakan sensitif di ruang publik bukan hanya tidak etis, tetapi juga dapat memperburuk trauma dan mempermalukan mereka di tengah lingkungan sosialnya,” tegas Yulfan.

Pihaknya berpendapat, proses hukum seharusnya tidak diiringi dengan eksposur media yang agresif yang hanya berpotensi menyudutkan dan memperburuk situasi bagi semua pihak yang terlibat.

Mereka menegaskan bahwa hukum harus berjalan sesuai prosedur yang berlaku, tanpa dipengaruhi oleh opini publik yang dibentuk sepihak.

“Ini lebih dari sekadar soal hitam-putih antara pelaku dan korban. Kasus ini mencerminkan persoalan sosial yang lebih dalam, seperti lemahnya sistem pendidikan karakter, longgarnya pengawasan keluarga, dan kegagalan institusi sosial dalam membentuk nalar moral remaja,” ungkapnya.

Yulfan menambahkan, kasus hukum yang melibatkan dua remaja ini seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak untuk lebih peduli terhadap kondisi sosial yang ada di kalangan anak muda saat ini.

Menurutnya, kasus ini membuka tabir baru bahwa Aceh sedang dalam keadaan gawat pergaulan bebas, seks pranikah dan kurangnya pendidikan relasi yang sehat di kalangan remaja.

“Oleh karena itu, kami mengajak semua pihak untuk melihat kasus ini dari perspektif yang lebih luas, bukan hanya melalui kacamata hukum, tetapi juga dengan memperhatikan aspek pendidikan, moral dan sosial yang mempengaruhi perkembangan generasi muda kita,” tegasnya.

“Kami juga ingin menegaskan bahwa penggunaan istilah “(maaf) disodomi” dalam pemberitaan sangat tidak etis dan tidak profesional. Istilah tersebut memperburuk trauma psikologis korban, menambah stigma, dan bertentangan dengan prinsip jurnalistik yang seharusnya melindungi martabat anak dan menjaga pemberitaan yang sensitif terhadap kondisi mereka,” tambahnya.

Bantah Tuduhan Sodomi dan Penyekapan

Tim Kuasa Hukum MN, remaja terlapor dalam kasus ini, membantah tuduhan sodomi dan penyekapan, serta menyoroti kejanggalan dalam proses visum.

“Terkait tuduhan sodomi, kami dengan tegas membantah bahwa peristiwa tersebut, seperti yang diberitakan, dilakukan oleh terlapor. Jika ada hasil visum yang diklaim menyatakan demikian, biarkan itu diuji dan dibuktikan secara ilmiah dan sah dalam proses hukum yang berjalan,” ungkap Yulfan.

Pihaknya juga mempertanyakan kemungkinan adanya faktor atau pelaku lain jika memang ditemukan luka.

Kemudian, mengenai tuduhan penyekapan, tim kuasa hukum MN menyebutnya “prematur dan manipulatif”. Berdasarkan bukti yang mereka miliki, justru pelapor yang mengatur waktu dan titik penjemputan.

“Komunikasi dan ajakan dilakukan secara sadar oleh pelapor sendiri, sehingga tuduhan penyekapan sangat tidak berdasar dan menyesatkan. Kami memiliki dokumen dan bukti digital yang mendukung hal ini,” tegasnya.

Tim kuasa hukum juga menegaskan bahwa tidak ada unsur pemaksaan, kekerasan, maupun pemerkosaan (jarimah pemerkosaan) sebagaimana diatur dalam Pasal 50 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Mereka berdalih bahwa hubungan antara pelapor dan terlapor terjadi atas dasar suka sama suka dalam konteks pacaran yang telah berlangsung sebelumnya, didukung oleh bukti komunikasi digital.

“Dalam Qanun Jinayat, unsur pemerkosaan mengharuskan adanya tindakan jima’ (hubungan seksual) yang dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, atau dalam keadaan tidak sadar atau tidak berdaya. Unsur-unsur ini tidak terpenuhi dalam peristiwa yang sedang diproses. Oleh karena itu, pemaksaan narasi pemerkosaan dalam kasus ini sangat tidak berdasar secara normatif dan tidak memenuhi unsur jarimah sebagaimana dimaksud dalam Qanun Jinayat,” jelas tim kuasa hukum.

Lebih lanjut, tim kuasa hukum menyoroti perbedaan waktu antara pelaksanaan visum (17 April 2025) dengan pelaporan polisi (28 April 2025). Mereka menduga bahwa visum dilakukan tanpa prosedur hukum yang benar.

“Kami tegaskan bahwa visum harus dilakukan berdasarkan permintaan resmi penyidik sesuai dengan ketentuan Pasal 133 KUHAP, proses yang tidak lazim seperti ini patut dipertanyakan,” pungkas mereka.

Keluarga Santriwati Diduga Minta Uang Sebelum Lapor Polisi

Tim Kuasa Hukum MN mengungkapkan adanya serangkaian pertemuan antara keluarga pelapor dan terlapor sebelum kasus ini dilaporkan secara resmi ke pihak kepolisian. Dalam pertemuan tersebut, pihak keluarga pelapor disebut menyampaikan harapan agar keluarga terlapor memberikan dukungan finansial dalam jumlah besar.

“Sebelum laporan ini masuk secara resmi ke aparat penegak hukum, telah terjadi beberapa pertemuan antara keluarga pelapor dan terlapor. Dalam pertemuan itu, disampaikan harapan dari pihak keluarga pelapor agar keluarga terlapor memberikan dukungan finansial dalam jumlah besar, dengan alasan untuk pemulihan psikologis, biaya pengobatan, dan pendidikan anak,” ungkap tim kuasa hukum dalam pernyataan tertulisnya.

Mereka menyebutkan bahwa permintaan tersebut disampaikan lebih dari satu kali dan bernada serius, bahkan mengarah pada syarat untuk menyelesaikan persoalan ini secara kekeluargaan.

Tim kuasa hukum kemudian mengajak publik untuk merenungkan apakah kasus yang melibatkan anak sebaiknya diselesaikan melalui pendekatan transaksional. Mereka mempertanyakan apakah luka batin dan masa depan anak dapat diselesaikan dengan uang.

“Kami tidak menuduh, namun kami mengajak publik merenung, apakah perkara yang menyangkut anak sebaiknya diarahkan pada pendekatan transaksional? Dapatkah luka batin dan masa depan anak diselesaikan dengan uang?” tanya mereka.

Pihaknya menegaskan bahwa pengungkapan informasi ini bukan bertujuan untuk membuka polemik baru, melainkan agar publik memahami adanya sisi lain yang kompleks dalam kasus ini.

Mereka menekankan keyakinan bahwa proses hukum harus berjalan secara objektif dan bermartabat, tanpa tekanan dan tanpa adanya distorsi narasi.

“Kami percaya proses hukum harus berjalan secara objektif dan bermartabat, tanpa tekanan, dan tanpa dikaburkan oleh narasi yang tidak utuh. Marilah kita jaga anak-anak kita dengan pendekatan yang lebih manusiawi, bukan dengan kompromi yang mereduksi makna perlindungan anak,” pungkas tim kuasa hukum.

Serukan Pendekatan Edukatif dan Preventif

Tim Kuasa Hukum MN menekankan bahwa hukum saja tidak cukup untuk menyelesaikan kasus yang melibatkan anak. Mereka menyerukan pendekatan edukatif dan preventif agar anak-anak yang terlibat dapat kembali ke kehidupan yang sehat.

“Kami percaya bahwa hukum adalah alat yang penting, namun tidak cukup jika hanya digunakan sebagai solusi dalam kasus yang melibatkan anak. Selain penegakan hukum, yang dibutuhkan adalah pendekatan edukatif dan preventif agar anak-anak yang terlibat dapat kembali ke jalur kehidupan yang sehat,” ujar tim kuasa hukum.

Mereka juga mengajak Pemerintah Daerah, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Dinas Pendidikan, dan lembaga sosial lainnya untuk bersama-sama mencari solusi bagi generasi muda Aceh.

Sebagai tim kuasa hukum terlapor, mereka menegaskan bahwa kasus ini tidak hanya persoalan hukum, tetapi juga masalah sosial yang lebih luas, terutama terkait moralitas generasi muda Aceh.

Mereka menekankan pentingnya proses hukum yang objektif dan adil, tanpa dipengaruhi oleh tekanan opini publik atau narasi sepihak.

Pihaknya memilih untuk tidak mengungkapkan rincian perkara di ruang publik demi menghormati etika peradilan, terutama karena kasus ini melibatkan anak.

Mereka berpendapat bahwa hukum harus ditegakkan berdasarkan due process of law, dan semua argumen sebaiknya disampaikan di ruang persidangan, bukan di media.

Mereka juga mengingatkan bahwa hukum bukanlah ajang untuk mencari popularitas atau sensasi. Tim Kuasa Hukum MN mengajak semua pihak untuk menjadikan kasus ini sebagai refleksi bersama dan fokus pada upaya edukasi serta pencegahan demi masa depan anak-anak Aceh yang lebih baik.

“Kami juga menegaskan bahwa hukum bukanlah ajang untuk meraih popularitas atau sensasi. Kami mengajak semua pihak untuk menjadikan kasus ini sebagai refleksi bersama, fokus pada upaya edukasi dan pencegahan untuk memastikan masa depan anak-anak Aceh yang sehat, berkarakter, dan penuh tanggung jawab,” pungkas tim kuasa hukum. (Akhyar)

Baca berita lainnya di Google News dan saluran WhatsApp

Komentar Facebook