Kelompok Pro dan Kontra Proyek IPAL Rapat di Kantor Ombudsman Aceh, Ini Hasilnya

Suasana rapat di Kantor Ombudsman Aceh diikuti pihak yang pro dan kontra proyek IPAL Kota Banda Aceh, Senin, 19 April 2021. (Dok Ombudsman Aceh)

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Pro kontra soal proyek Instalasi Air Limbah (IPAL) Kota Banda Aceh yang berlokasi di Gampong Pande disikapi oleh Ombudsman RI Perwakilan Aceh.

banner 72x960

Seperti diketahui, pihak Ombudsman Aceh beberapa waktu lalu turun melakukan investigasi ke lokasi IPAL secara door  to door dan interview dengan masyarakat serta beberapa instansi terkait.

Kepala Ombudsman Aceh, Dr. Taqwaddin Husin kepada Theacehpost.com mengatakan, tindak lanjut turun ke lapangan, pihaknya menggelar rapat di Kantor Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Senin, 19 April 2021.

Menurut Taqwaddin, peserta rapat berjumlah sekitar 30 orang berasal dari berbagai kalangan, baik yang pro maupun kontra dengan proyek IPAL.  Rapat berlangsung dengan penerapan protokol kesehataan yang ketat.

Unsur eksekutif dan legislatif dari Kota Banda Aceh yang hadir yaitu Asisten II mewakili Wali Kota, Kadis Perkim, dan Ketua Komisi III DPRK.

Juga hadir Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh, Ketua MPU Banda Aceh, BPN Kota Banda Aceh, LSM Mapesa, Yayasan Darud Dunia, dan para aktifis lainnya.

Dihentikan sementara

Asisten II Pemko Banda Aceh, Syamsuar mewakili Wali Kota menyampaikan bahwa pembangunan IPAL sangat bermanfaat bagi publik, namun karena terjadi protes dari beberapa kalangan, sehingga dihentikan sementara.

“Pembangunan IPAL tersebut sudah mencapai sekitar 80 persen, namun karena ada pro dan kontra terkait temuan makam kuno di lokasi tersebut, jadi kita hentikan sementara,” sebut Syamsuar. “Kita berharap, dengan adanya rapat di Ombudsman akan ada hasil yang terbaik terhadap masalah IPAL,” lanjutnya.

Awalnya tak tahu

Kadis Perkim Kota Banda Aceh, Djalaluddin, dalam paparannya di hadapan para peserta rapat menyebutkan bahwa sebelumnya tidak diketahui adanya makam kuno di sekitar proyek strategis nasional (PSN) tersebut.

Setelah dilakukan pengerukan, baru pada kolam kelima ditemukan enam pusara makam kuno. Maka, terjadilah penolakan pembangunan lanjutan dari beberapa kalangan.

Budayawan Nab Bhany, pada kesempatan tersebut menyampaikan bahwa adanya miskomunikasi selama ini antara pemerintah dengan masyarakat, sehingga masyarakat berpendapat tidak sesuai di lokasi tersebut dibangun IPAL.

“Sebelum melihat langsung ke lokasi, saya tergiring dengan opini.  Namun setelah melihat langsung, tidak seperti yang muncul dalam polemic,” kata Nab Bhany.

Perlu analisis dampak

Menanggapi polemik yang terjadi terkait IPAL selama ini, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh, Nurmantias menyebut perlu dilakukan analisis heritage impact assesment (analisis dampak terhadap warisan budaya).

Nurmantias juga menuturkan, pembuatan tambak di sekitar Gampong Pande sebenarnya juga telah mengeksploitasi terhadap situs sejarah. Karena di dalam tambak juga banyak ditemukan batu nisan kuno.

Mengenai pemindahan situs cagar budaya, menurutnya di daerah lain juga pernah terjadi. Karena alasan tertentu, sehingga situs tersebut dipindahkan ke tempat lain.

“Untuk kasus IPAL saat ini, kami memandang perlu dilakukannya analisis heritage impact assesment. Apapun hasilnya nanti harus kita terima bersama. Apakah dilanjutkan atau dihentikan,” kata Nurmantias.

Tetap harus lanjut

Ketua Komisi III DPRK Banda Aceh, Arif Khalifah menyebutkan, saat ini pembangunan IPAL tetap harus lanjut, tapi bersyarat.

Arif juga menyebutkan bahwa Pemko dan DPRK sangat terbuka dengan berbagai kritikan, karena pihaknya juga tidak ingin merusak cagar budaya dan situs sejarah.

“Kita harus saling tabayyun, dengan menyampaikan bukti-bukti yang ada. Alasan menolak harus jelas,” sebut Arif.

Berbicara masalah IPAL, sambung Arif, itu tidak terlepas dari tingkat elevasi. Jadi tidak bisa di sembarang tempat.

Pihak LSM Mapesa dan Yayasan Darud Dunia yang selama ini getol melakukan penolakan terhadap IPAL di lokasi juga meminta dilakukannya heritage impact assesment.

“Mapesa tetap pada prinsip dasar, jika nanti IPAL terus dilanjutkan terserah pada pemko. Pada dasarnya, Mapesa tidak menolak pembangunan,” sebut Masykur dalam rapat tersebut.

Aktifis lingkungan, TM Zulfikar yang hadir dalam rapat tersebut juga berharap segera adanya solusi terkait masalah IPAL Banda Aceh yang sudah lama terhenti.

Pada sesi penutupan rapat tersebut, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh menyampaikan kesimpulan kepada peserta.

Pertama, perlu segera dilakukannya heritage impact assesment di lokasi pembangunan IPAL. Kedua, perlu adanya edukasi dan sosialisasi terkait IPAL kepada masyarakat.

Selanjutnya, perlu adanya tim terpadu dan perlu adanya manajemen media oleh Pemko Banda Aceh terkait IPAL tersebut.

“Kami berharap, hasil dari kesimpulan rapat ini segera ditindaklanjuti oleh Pemko Banda Aceh. Nanti Ombudsman akan merumuskan ini ke dalam laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) yang merupakan hasil dari berbagai kegiatan investigasi atas prakarsa sendiri oleh Ombudsman,” imbuh Taqwaddin.

“LAHP tersebut merupakan produk hukum yang mengikat dan wajib dijalankan oleh Pemko Banda Aceh nantinya,” pungkas pria yang akrab disapa TW tersebut.[]

 

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *