Kehancuran Bangsa Besar
Oleh: Mukhsin Rizal, S.Hum., M.Ag., M.Si. *)
RUNTUH dan hancurnya sebuah bangsa atau kerajaan disebabkan oleh perilaku bangsa itu sendiri. Perilaku yang penulis maksud adalah daya tahan, kemampuan menghargai diri sendiri, serta kesadaran kolektif yang dimiliki oleh pengendali bangsa (kerajaan).
Pernyataan di atas sebagai upaya menyadari diri kita sendiri, di posisi mana kita berperan memperbaikikah atau peran yang sedang kita geluti adalah perusak.
Yuk kita lihat beberapa kondisi kerajaan tempo dulu menjelang kehancurannya. Kita mulai dari Aceh.
Kemunduran Kerajaan Aceh Darussalam dimulai ketika Sultan Iskandar Muda wafat pada Desember 1636. Para pengganti Sultan Iskandar Muda tidak begitu peduli pada kebesaran kerajaan, terutama pondasi hukum yang telah diletakkan oleh Sultan Iskandar Muda.
Padahal kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam tidak hanya dikenal di seputaran nusantara, melainkan sampai ke seluruh dunia sebagai salah satu kerajaan terbesar di Asia Tenggara.
Efek dari melemahnya penerapan hukum dan kebanggaan terhadap kerajaan, serta ambisi ingin menjadi sultan di lingkungan keluarga membuat Kerajaan Aceh Darussalam melemah dan semakin mudah dipengaruhi oleh luar.
Kesultanan Aceh Darussalam terus menjadi incaran asing, ketika bangsa barat (Belanda) mulai menguasai Aceh melalui trik perjanjian Traktat London dan Traktat Sumatra. Kemudian, satu langkah berikutnya yang dilakukan oleh Belanda adalah menyatakan perang kepada Kerajaan Aceh Darussalam pada 26 Maret 1873.
Saat diserang Belanda inilah masyarakat Aceh mulai bersatu dan memberikan perlawanan kepada Belanda. Namun, tidak terkendalikan lagi. Pertikaian yang berlangsung selama sekitar 30 tahun itu membuat Kesultanan Aceh berakhir.
Sultan Aceh terakhir, Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa harus mengakui kedaulatan Belanda di Aceh. Setelah kejadian itu, wilayah Aceh masuk secara administratif ke Hindia Timur Belanda (Nederlandsch Oost-Indie). Meskipun kelanjutan perlawanan masih tetap berlangsung sampai tahun 1942 dengan melakukan sabotase jalur lalu lintas yang di bangun Belanda.
Kemudian, kita coba untuk melihat hancurnya Kerajaan Majapahit di Jawa. Majapahit mulai mengalami kemunduran setelah Hayam Wuruk wafat pada tahun 1389.
Penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antaranya, konflik perebutan tahta setelah Hayam Wuruk wafat pada tahun 1389 Masehi, yang melibatkan Bhre Wirabhumi (anak selir Hayam Wuruk) dan Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk).
Konflik ini menyebabkan pecahnya persatuan keluarga dan bangsawan Kerajaan Majapahit hingga akhirnya berubah menjadi perang besar.
Selanjutanya, kita melihat faktor yang menyebabkan melemah dan hancurnya Dinasti Bani Umayyah sebagai dinasti yang memiliki kesempatan berkuasa hampir satu abad setelah khulafaur rasyidin.
Di antara faktor kehancurannya adalah sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
Kemudian dilihat dari latar belakang terbentuknya Dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan juga dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali, sehingga Syiah (pengikut Ali) dan khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka maupun secara tersembunyi.
Selain itu, pada masa kekuasaan Bani Umayyah pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing.
Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Di samping itu, sebagian besar golongan Mawali (non-Arab), terutama di Irak, merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas.
Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana, sehingga anak-anak khlilafah tidak sanggup memimpin kerajaan dengan baik tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
Penyebab langsung tergulingnya Dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuasaan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syiah, serta kaum Mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
Akumulasi dari berbagai penyebab tersebut mengantarkan Dinasti Umayyah runtuh, meskipun keruntuhannya dilakukan oleh kekuatan politik Dinasti Bani Abbasiyah pada masa Khalifah Marwan bin Muhammad pada 127 Hijriah (744 M).
Beralih ke kerajaan Islam berikutnya yaitu Kekhalifahan Turki Utsmani yang beribu kota di Istambul, berada di Laut Hitam dan Laut Tengah yang langsung berhubungan dengan daratan Asia dan daratan Eropa.
Meskipun kekuasaannya sangat kuat, tetapi pada akhirnya daulat tersebut mengalami kemunduran sejak Sultan Sulaiman al-Qanuni wafat (1566 M). Sejak itu tidak ditemukan pengganti sultan yang kuat.
Pada akhir abad ke-18, serangan negara-negara imperialis Eropa semakin gencar dilakukan melalui perang pemikiran. Alhasil, lahir nasionalisme Turki dan Arab yang membuat Turki Utsmani terpecah-pecah.
Keadaan tersebut menyebabkan gerakan pembaharuan dalam Islam yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani. Gerakan tersebut bertujuan untuk menyatukan seluruh kaum muslimin di bawah payung Islam. Namun, usaha tersebut tidak berhasil ketika wilayah Turki Utsmani dijajah oleh negara-negara Eropa.
Mustafa Kemal Ataturk kemudian muncul untuk mengadakan pembaharuan yang mengacu pada Barat. Tanggal 3 Maret 1924, Ia berhasil meruntuhkan kekhalifahan Turki Utsmani.
Sebagai proses pembaratan, Mustafa Kemal Ataturk menerapkan sekulerisme di Turki yang dilakukan secara ekstrem. Bahkan perluasan sekulerisme rezim Kemalis telah melampaui Islam formal yang terlembaga.
Sekulerisasi yang dilakukan secara ekstrem terlihat dari pengambilan secara menyeluruh hukum-hukum dan kebudayaan Barat di Turki.
Gerakan yang paling terkenal dalam upayanya menentang berdirinya Turki dan diterapkan sekulerisme yaitu pemberontakan suku Kurdi dan gerakan An-Nur.
Kondisi internal dan eksternal mengantarkan proses keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani yang kalau kita runut mulai dari peristiwa gerakan Turki Muda, kekalahan Turki Utsmani dalam Perang Dunia I, kemudian Mustafa Kemal Ataturk mengadakan pembaharuan untuk meruntuhkan kekhalifahan Turki Utsmani.
Kemudian kita coba melihat kehancuran bangsa Yunani, yang berdiri pada abad 8 sampai 6 sebelum masehi. Bangsa Yunani memiliki pengaruh kuat pada munculnya Kekaisaran Romawi, tetapi runtuh juga pada fase akhir Antikuitas.
Peristiwa itu disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya berkembangnya ajaran atau paham yang diberikan oleh para filsuf Yunani dan banyaknya pemikiran tersebut menimbulkan kebimbangan dalam masyarakat terhadap norma-norma yang lama.
Kemudian, semua partai dalam negara terlalu memikirkan paham dan kepentingannya sendiri atau egois, sehingga sering menimbulkan perbedaan paham yang sulit dipertemukan dan dipecahkan permasalahannya.
Serta yang terakhir adanya perang antarnegara kota di Yunani. Terutama Perang Peloponessos yang telah menghancurkan Athena sebagai negara utama Yunani. Inilah yang membuat bangsa Yunani runtuh berantakan.
Dari beberapa catatan sejarah runtuhnya kerajaan-kerajaan besar dulu, terlihat bahwa faktor dominan kehancurannya terletak di dalam kerajaan itu sendiri, meskipun faktor luar (eksternal) juga mempengaruhi kondisi dalam sebuah negara.
Catatan penting dari ini adalah dengan kondisi negara dan daerah yang demikian ruwet, maka kita harus senantiasa berhati-hati. Karena, jika kita menggunakan rumus/pengalaman sejarah di atas, kita sedang menuju fase keruntuhan tersebut, nauzubillahiminzalik.
Kajian sejarah ini sebagai penguatan diri kita semua untuk dapat berperan maksimal menjaga keutuhan dan kemajuan sebuah bangsa atau daerah. Tentunya, dengan peran kita di posisi masing-masing tetap saling menghargai antar sesama dan bangga terhadap identitas diri kita sebagai anak bangsa.
Wallahualam bissawab.
*) Penulis Adalah Magister Ilmu Sejarah Tamaddun Islam, UIN Ar-Raniry Banda Aceh