Kamp Biawak, Kafe Alam Berorientasi Literasi

Tungang Iskandar saat ditemui Theacehpost.com beberapa waktu lalu di Kamp Biawak. (Foto: Theacehpost.com/Mhd Saifullah)

Cahaya senja coba menembus awan nimbostratus yang menyemiluti langit. Alunan senandung ‘Teman Hidup’ -dipopulerkan oleh Tulus- menggema lembut dari pengeras suara yang ada di dalam sebuah pondok.

Beberapa orang dari berbagai kalangan terlihat duduk di kursi dan meja yang terbuat dari batang-batang pohon, namun telah didekor sedemikian rupa. Mereka larut dalam tawa, canda, dan perbincangan. Di antara itu, ada sebagian orang menyibukan diri dengan memasak menggunakan peralatan tradisional berupa kayu.

Begitulah gambaran sebuah kafe dengan konsep alam terbuka Kamp Biawak. Tempat ini terletak di Gampong Limpok, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar. Kamp ini milik Iskandar, seorang pria asal Blang Jruen, Kecamatan Tanah Luas, Kabupaten Aceh Utara.

***

Kamp Biawak ini terbilang baru. Iskandar dibantu oleh Iqbal dan Riza memulai bisnis mereka pada September 2019 silam. Sebelumnya, tak ada terbesit niat dalam benak pikiran Iskandar bersama dua rekannya tersebut untuk membukan kafe ini hingga seperti sekarang. Sebab menurutnya kala itu, untuk membuka tempat bisnis diperlukan modal yang besar, sedangkan dirinya tidak memiliki finansial mencukupi.

Iskandar menceritakan, Kamp Biawak awalnya hanya sebagi kamp atau tempat berkumpul anak-anak komunitas literasi. Lebih tepatnya, sebagai wadah untuk tempat berdiskusi dan membedah buku di kalangan mereka.

“Muncul kamp ini bukan berawal dari bisnis, tetapi muncul karena sebagai tempat komunitas-komunitas atau anak muda berkumpul sekedar berdiskusi dan bedah buku atau syarah buku,” kata Iskandar menceritakan.

Setiap berkumpul, mereka selalu membawa kopi sebelum memulai diskusi sebagai teman untuk membedah buku. Terkadang, dalam kegiatan itu juga diisi dengan menu makanan sederhana seperti ubi rebus, pisang, hingga tebu.

banner 72x960


Beranjak dari kebiasaan itu, Iskandar kemudian berinsiatif untuk menjual kopi agar nantinya bisa dinikmati oleh para pembedah buku maupun orang yang melakukan diskusi di tempat tersebut. Untuk tidak menghilangkan kebiasaan yang ada, ia pun memvariasikan tebu dalam menu minumannya.

“Berawal dari konsep anak-anak -komunitas- yang sering membawa kopi kemari dan membawa tebu, jadinya kita buat konsep racikan kopi dan tebu.”

Tempat yang dikelola Iskandar semakin dikenal orang usai The Aceh Institute bekerja sama dengan Kamp Biawak, menggelar diskusi tentang ganja pada akhir Januari 2020 lalu. Sejak saat itu, tempat yang dahulunya sering ditemukan biawak tersebut mulai ramai dikunjungi. Ada yang sekedar menikmati kopi tebunya ada juga khusus untuk berdiskusi maupun membedah buku.

Tak hanya itu, bagi pengunjung yang ingin menikmati makanan, Kamp Biawak menyediakan paket memasak. Tentunya dengan peralatan masak yang sederhana, seperti perapiannya menggunakan kayu, temblikar, dan perlengkapan memasak tradisional lainnya. Konsep memasak sendiri bagi pelanggan ini dicetuskan atas ketidakmampuan Iskandar dan kawan-kawan untuk membuat makanan sesuai selera pengunjung.

“Itu karena kita tidak bisa masak, jadinya konsepnya pembeli yang memasak,” ujarnya.

Konsep memasak di alam terbuka yang awalnya menjadi kendala bagi Kamp Biawak, ternyata kini menjadi salah satu ciri khas tersendiri bagi kafe tersebut.

Bagi pengunjung yang ini menikmati sensasi memasak di alam terbuka, disarankan terlebih dahahulu untu memesannya. Tujuannya, agar pihak kafe bisa membeli semua keperluan memasak. Untuk waktu pemesanan bisa dilakukan paling lambat pukul 12.00 WIB jika ingin memasak di hari yang sama.

Satu paket memasak, Kamp Biawak mematok harga Rp200 ribu. Paket ini bisa dinikamti maksimal 6 orang.

Asal Mula Nama Kamp Biawak


Pembubuhan nama pada sebuah tempat biasanya memiliki histori maupun latar belakang. Begitu juga dengan penamaan Kamp Biawak. Pria kelahiran Blang Jruen, 36 tahun silam itu menceritakan, nama itu ia sematkan karena mengingat di lokasi tersebut sering dijumpai biawak ketika dikunjunginya dulu. Kejadian itu terjadi jauh sebelum Kamp Biawak berdiri.

“Latar belakang berdirinya kamp ini juga simpel, berawal dari kita datang kemari untuk memancing. Terus, karena di sini banyak biawak sehingga kita namakan saja Kamp Biawak. Jadi simpel dan tidak perlu banyak berpikir mengenai namanya,” kata pria lulusan master Seni di Institusi Seni Indonesia di Yogyakarta tersebut.

Meski demikian, ada makna lain dari penamaan Kamp Biawak. Pria yang kini masih menempun pendidikan doktoralnya tersebut menyampaikan, jika kata ‘Biawak’ merupakan akronim dari ‘Bikin Anda Waras Kembali’.

Sementara kata ‘Kamp’ bisa diartikan sebagai tempat pelatihan dan sebagainya.

Bekas kandang sapi milik warga ini -sebelum menjadi kafe- memang bukan hanya sekedar tempat tongkrongan biasa, namun sering dijadikan sebagai tempat untuk berbagi ilmu. Bedah buku sering mereka lakukan setiap malam Jumat. Bahkan, di Kamp Biawak juga sering dijadikan tempat menjual buku setiap Sabtu dan Minggu.

Kegiatan bedah buku dan diskusi bukan hal baru dalam dunia Iskandar Tungang -sapaan Iskandar di kalangannya-, akan tetapi sudah rutin ia gelar sejak 2017 silam ketika dirinya di Yogyakarta. Itu ia lakukan juga ketika dirinya mengajar di Kota Jantho -ibu Kota Kabupaten Aceh Besar-. Ia sempat mendirikan Kamp Konsentrasi Seni.

Resiko dan tantangan Kamp Biawak

Awal kehadiran Kamp Biawak tidak serta merta bisa diterima oleh warga sekitar. Ditambah lagi, tempat tersebut sempat viral usai digelar diskusi tentang ganja. Berbagai omongan sempat terdengar hingga ke telinga Iskandar, namun pria yang pernah menempuh pendidikan D3 di di Politeknik Seni Yogyakarta tersebut, tidak terlalu mengambil pusing.

Iskandar menyebut, awal-awal keberadaan Kamp Biawak dia menemukan banyak kendala seperti prasangka dari masyarakat terhadap ramainya pengunjung yang datang ke kafenya padahal hanya berupa kandang sapi.

“Kok bisa ramai, padahal tempatnya hanya berupa kandang sapi, tapi kok bisa ramai?” Itu pertanyaan orang.

Tak saja pertanyaan seperti itu, ada kabar juga kabar mistis yang sampai kepadanya, misalnya pertanyaan apakah ramainya Kamp Biawak karena memakai dukun? “Ssedangkan orang yang berjualan di pinggir jalan lebih bagus tempatnya tetapi tidak ramai,” ceritanya.

Lambat laun, image tersebut mulai terkikis. Iskandar selalu memberikan pemahaman positif kepada warga yang sempat curiga dengan tempat diskusi dan usaha miliknya.

“Sehingga lama kelamaan orang tahu bahwa ini kegiatan positif dan bukan kegiatan negatif. Lama-lama image itu hilang.”

Tak hanya itu, saat ini Kamp Biawak bahkan memanfaatkan apa yang dimiliki warga sekitar untuk dijadikan menu makanan. Misalnya, paket memasak. Bahan-bahan untuk memasak seperti ayam, bebek, serta bumbu lainnya, ia beli dari warga sekitar kafe.

Tantangan lainnya juga datang dari pemerintahan. Hal itu berhubung dengan letak kafe yang memang berada di kawasan daerah aliran sungai (DAS) dari Sungai Lamnyong. Meskipun demikian, tantangan itu dianggapnya bukanlah suatu yang harus ditakutkan. Iskandar siap memindahkan kafenya kapan saja bila memang harus pindah.

“Lokasi ini memang lokasi siap digusur. Jadi kemarin sempat ada isu dan dikasih surat, mungkin akan digusur dan kita siap,” ujar Iskandar.

***

Kamp Biawak, kafe yang berawal dari tempat untuk berdiskusi para pecinta buku. Lahannya merupakan hamparan rerumputan. Dapur kafe yang terbuat dari kayu-kayu bekas sebelumnya adalah bekas kandang sapi.

Kini tempat tersebut telah disulap menjadi kafe bernuansa alam terbuka. Hampir seluruh properti yang dimiliki memanfaatkan alam. Iskandar tidak bekerja sendiri, ia mempekerjakan tujuh orang sebagai partner kerja untuk mengelola Kamp Biawak. Ini adalah bukti, didalam keterbatasan, ada khasanah keilmuan dan kesenian yang mampu dilahirkan Iskandar dari ilmu dan perjalanan wawasan yang ia asah.

Ia adalah seorang perantau, dan penempuh ilmu yang kasab. Selalu ada celah keterbatasan yang ia jadikan keberkahan. Ia juga pernah memimpin sebuah media berbasis kesenian yakni acehmediaart.com, yang memfokuskan diri mengulas kesenian.

Penulis: Mhd Saifullah

Editor: Pilo Poly

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *