Janda Bolong
Hidup ini adalah perjalanan panjang nan berliku mencari dan memanfaatkan momentum.
Panggung yang kita sebutkan sebagai momentum itu adalah sebuah pasar bebas yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang memiliki kapasitas mengidentifikasi dan mengambil keputusan cepat dan tepat.
Momentum itu tidak hadir secara statis tepat waktu. Seperti waktu shalat.
Momentum itu muncul secara dinamis. Hadir sewaktu-waktu di mana saja dan kapan saja yang sulit diprediksikan.
Sekali lagi hanya mereka yang memiliki kemampuan mengidentifikasi dan mengambil keputusan cepat yang tahu dan sadar bahwa momentum itu telah hadir dan dia segera bersiap berperan dan memanfaatkannya.
Dalam catatan sejarah, sebuah momentum itu jarang berulang. Dia hanya sekali.
Seseorang yang tidak berhasil melihat dan memanfaatkan momentum maka dia akan menjadi fosil sejarah. Menjadi pelengkap atau objek penderita dalam sebuah altar sejarah yang dilaluinya.
Banyak catatan sejarah mengirimkan pesan verbal kepada kita terkait tokoh-tokoh yang mampu mengidentifikasi momentum kemudian memanfaatkannya secara cepat dan akurat serta di saat bersamaan ada sejumlah tokoh yang ragu memanfaatkan momentum kemudian secara pelan tenggelam dibawah karpet sejarah.
Tiga peristiwa berikut ini paling tidak jadi contoh.
Pertama, ketika peristiwa G30S/ PKI. Ketika itu AH Nasution sebagai KASAD ragu memanfaatkan momentum pemberontakan PKI. Justru, Soeharto sebagai Wakasad berhasil membaca momentum kemudian memanfaatkannya.
Soeharto kemudian menjadi Presiden bekuasa penuh selama 32 tahun sedangkan Nasution paska ditunjuk Soeharto sebagai Ketua MPRS terus meredup pelan seperti pelita kehabisan minyak.
Kedua, peristiwa yang dialami Amin Rais paska Sidang Paripurna Istimewa menolak LPJ Presiden Habibi tahun 1998.
Saat-saat genting itu adalah momentum Amin jadi Presiden, karena di samping sebagai tokoh reformasi juga banyak yang mendukung.
Tapi alih-alih maju diri sebagai Capres justru ketika itu Amin mendukung Gus Dur jadi Presiden. Kemudian Gus Dur terpilih dan menunjukkan Megawati sebagai Wapres.
Pada pilpres selanjutnya baru Amin Rais nyapres. Tapi momentumnya telah hilang dan disaat bersamaan dia telah ikut membesarkan Megawati karena keputusannya tidak memanfaatkan momentum capres paska Habibi.
Ketiga, banyak anak muda dan tokoh pasca MoU Helsinki merasa telah melewati dan tidak memanfaatkan momentum bergabung dengan GAM. Karena pasca MoU Helsinki dan beberapa periode selanjutnya adalah momentum komunitas GAM menguasai panggung.
Inti dari ketika peristiwa di atas: Pemenang adalah mereka yang cepat dan cermat memanfaatkan momentum. Sedangkan pecundang adalah sebaliknya.
Karena itu saya berbeda pendapat dengan beberapa pihak yang tidak sepakat dengan keputusan adik-adik mahasiswa melakukan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja.
Pihak yang tidak sepakat berargumen, “Ngapain mahasiswa demo, emang mereka sudah baca seluruh pasal UU tersebut sehingga ditolak”.
Di luar tepat atau tidak subtansi mahasiswa menolak, saya memahami UU Cipta Kerja adalah momentum bergerak dan pemantik konsolidasi bagi mahasiwa.
Kalaulah yang disuarakan itu absurd, atau yang disuarakan itu sebuah kebenaran tapi kebenaran yang didengung adek-adek mahasiswa tidak gol, paling tidak mereka mendapat panggung untuk latihan berorganisasi, mengelola emosi, mengasah rasa percaya diri, praktek pidato, negoisasi dan lain sebagainya.
Keterampilan ini penting setelah nanti mereka tidak lagi jadi mahasiswa. Saat menjadi anggota legislatif misalnya.
Kalau saya Rektor sebuah perguruan tinggi mungkin saja akan menambah syarat Sidang Skripsi: Seorang mahasiswa tidak diperkenankan ujian skripsi jika yang bersangkutan tidak pernah ikut demo.
Bagi anak muda — seperti mahasiswa — fakta yang salah atau benar yang dijadikan isu demo sebenarnya hal biasa. Namanya aja latihan. Dalam sebuah latihan sering tidak sempat berpikir langsung bertindak.
Bagi anak muda bertindak tanpa berpikir adalah biasa-biasa saja. Tapi sekelompok orang tua yang bertindak tanpa berpikir matang adalah kebablasan.
Coba kalau adek-adek mahasiswa selagi masih di bangku kuliah tidak ikut demontrasi, nanti setelah jadi sarjana nyesal tak punya pengalaman sebagai demonstran.
Atau kalau nanti jadi pejabat, akan terlihat grogi ketika didemo. Ya seperti siklus alam, beberapa senior mahasiswa yang dulu tukang demo sekarang justru kena demo.
Viralnya talas hutan yang disebut dengan Janda Bolong menginspirasi kita bahwa momentum itu dapat muncul kapan saja dengan objek yang biasa-biasa saja.
Janda bolong adalah broeh uteun talas hutan yang selama ini tidak berharga sama sekali. Tapi ketika Janda Bolong mendapatkan momentum banyak pihak yang tergila-gila untuk memilikinya. Harta jika harus mengurangi belanja dapur sekalipun.
Artinya, objek yang selama ini dilihat tidak berkualitas dan tidak berharga, dalam kondisi tertentu dapat saja mendapat momentum luar biasa.
Dulu ada frame berpikir bahkan realitas bahwa orang-orang terpelajar atau sekolahan saja yang berpeluang memimpin negeri ini. Orang-orang berpendidikan saja yang akan mendapat momentum dan menguasai panggung politik dan pemerintahan.
Ternyata momentum yang terjadi membalikkan keadaan. Pasca reformasi banyak orang yang berpendidikan S2 dan S3 kekurangan pekerjaan. Justru mereka yang berijazah Paket C mendominasi kepala daerah dan anggota legislatif.
Jadi, Catatan Kanda sederhana saja. Siapapun kita jangan pernah lemah dan putus asa. Harapan dan peluang itu selalu ada.
Iringilah dengan ikhtiar dan doa. Selalu sabar dan jangan marah-marah.
Janda Bolong aja bisa. Konon lagi kita-kita. []