Jamaah Padang Jawa-Woyla Gemuruhkan Dikee Maulid Syaraful Anam di Pasi Pandan
Oleh: Mustafa Husen Woyla
Walaupun di penghujung bulan peringatan maulid dalam tradisi khas Aceh, yakni tiga bulan sepuluh hari hampir berakhir, namun giat pemulia pang ulee rasul anbiya, sayyidul mursalin (penghulu semua para Rasul) masih mengema seantero Aceh, begitu juga di gampong pedalaman bernama Pasi Pandan, Kecamatan Woyla, Aceh Barat, Aceh masih menggema, beralun menghentak seantero kampung dan sekitarnya.
Tepatnya gemuruh zikir dan shalawat itu berada di Gampong Pasi Pandan di pinggir Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Woyla yang dulu pernah heboh dengan buaya muara. DAS itu melintasi sejumlah kecamatan, Hulu ada di Sungai Mas, bagian tengah ada di Woyla dan Woyla Barat serta hilir ada di kecamatan Arongan Lambalek dan muaranya ada di desa Suak Seumaseh kecamatan Samatiga.
Mengapa tidak menghentak dan menggema, bayangkan sesisi tujuh kampung, semua makhluk dari kawum adam, mulai anak kecil, remaja, pemuda dan orang tua, semua diundang secara terbuka melalui mikrofon di meunasah untuk berzikir serentak. Undangan mulia itu berbunyi “dibuka dengan salam, lalu dilanjutkan, ubeuna kaum adam aneukmit, chiek putik tuha muda, lheuh leuhoe geutayoe ta peunuhi undangan dikee molod di Gampong Pasie Pandan (semua kaum adam kecil, muda dan tua, setelah dhuhur harap hadir memenuhi undangan zikir maulid di pasi pandan”.
Saya yang kebetulan di kampung, merasa terpanggil hadir, lebih-lebih lagi, sudah sangat jarang pulang kampung yang kebetulan ada perhelatan maulid nabi, juga saya pikir, ini momen paling tepat untuk membawa anak agam peuturi adat istiadat serta tradisi urueng woyla peumulia pang ulee rasul anbiya. Karena setiap daerah ada khas sendiri dalam peringatan maulid.
Nagan misalnya, terkenal dengan idang meulapeh. Banda Aceh-Aceh Besar, terkenal dengan kuah beulangong dan pajoh sagoe hidangan di meunasah. Dan di Woyla ciri khasnya ada balee teubee, bu meubungong, dikee rayeuk tanpa microphone dalam durasi yang lama sampai 3 jam dengan jamaah seisi kampung.
Anak saya, Muhammad Khaldun namanya, walaupun awal agak menolak, tapi ketika mendekat lokasi dikee, yakni di gempa raya, aneuk agam saya terhentak mendengar semacam paduan suara maha dahsyat di tengah area persawahan warga pasi pandan. Benar adanya ribuan warga yang hadir berzikir menurut geuchik pasi pandan Zainuddin Aiziya, didampingi oleh Dedi Yulisman, jumlah yang diundang secara terbuka tujuh gampong sekitar, yakni Gempa Raya, Padang Jawa, Aron Baroh, Aron Tunong, Pasi Panyang, Ie Sayang dan Ulee Pulo.
Nah, ketujuh kampung itu duduk menurut lokasi yang telah ditentukan menurut gampongmasing-masing. Setiap kampung ada syeh dikee-nya, ada pembantu syeh, dan ada juga semacam pemandu suara peh-peh jaroe untuk lingiek (mengerak-gerakkan badan dan kepala) serta menjaga irama dan nada dikee para jamaah yang ikut larut bershalawat yang dibacakan dari kitab fenomenal karya Syaikh Ja’far Al-Barzanji dengan nama lengkapnya Syaikh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad al-Barzanji (126 H), lahir di Madinah Al-Munawwarah berasal dari Mesopotamia atau makruf disebut dengan Iraq, ia adalah zuriyat rasulullah saw jalur Saidina Husain.
Kita kembali ke dikee maulid Pasi Pandan, sebagai warga lahir dan dibesarkan di woyla, saya tau betul akar budaya dan adat istiadat woyla, kampung sekecil pasi pandan mampu menghelat maulid sebesar itu adalah sesuatu yang ajib, luar biasa, di kampung kecil mungil ini, yakni dengan jumlah 50 Kepala Keluarga, rumah hanya 43 unit dan jumlah total warga cuma 137 jiwa tapi mampu khanduri pang ulee rasul mengundang tujoh boh geuchik.
Mungkin ada benarnya kata Patek Basyah seorang petua adat di Gempa Raya Woyla, katanya “Di Woyla, kemakmuran diukur pada besar-kecil peringatan maulid, bukan pada data statistik awak jeh”.
Saya tergerak menulis ini bukan faktor akrab dan dikasih nasi khusus dan bukan karena kebetulan satu kelas di SD-SMP dengan geuchik daini, begitu panggilan makrufnya, namun karena ta’jub saya pada perkembangan kampung yang dinakhodainya. Bahkan tak hanya di kampungnya, di kampung tetangga, geuchik daini juga sebagai ketua panitia pembangunan dayah istiqamatuddin raudhatul muarrif.
Kisah kenduri maulid nabi Muhammad saw di pasi pandan yang diperingati di ujung tahun masehi, juga akhir bulan maulid dalam almanak Aceh. Sejatinya merupakan miniatur lengkap betapa antusias-nya warga Aceh menyambut hari lahirnya manusia agung itu.
Bahkan saya mendengar langsung komentar dari tamu luar negeri berasal dari Aljazair mengatakan, peringatan maulid sebesar dan dalam rentang waktu seratus hari hanya ada di Aceh. Dan ini luar biasa, semoga Allah berkahi muslim Aceh.
Karena ini zaman digital, semua informasi begitu mudah diperoleh ban sigom donya, besar dan hebat maulid di Aceh membuat decak kagum warga jerman, dan dia ingin ke Aceh hanya meliput acara maulid.
Khabar yang tak kalah menarik dari maulid pasi pandan, Abdullah Spain, seorang Influencer asal spanyol ingin meliput khusus maulid di Aceh. Katanya “ saya hanya membaca maulid nabi dalam sejarah Kekhalifahan Kordoba titisan dari khalifah dinasti umayyah, ternyata ada di Aceh. Sangat igin melihat langsung”
Begitu juga sejumlah komen positif dari sejumlah Negara Arab dan Afrika tentang kekaguman mereka akan budaya dan adat istiadat Aceh dalam memuliakan hari kelahiran penghulu para rasul anbiya ini.
Insya Allah dengan berkat kecintaan umat islam kepada baginda nabi, semoga dengan asbab ini menjadi limpahan syafa’at di yaumil mahyar kelak kita dikumpullkan bersama baginda nabi Muhammad saw. Amin ya rabbal a’lamin.
Penulis adalah Alumni Dayah BUDI Lamno dan Darul Muarrif, juga sebagai Pengamat Bumoe Singet. Saat ini juga menjabat sebagai Wakil Pimpinan Darul Ihsan Abu Krueng Kalee dan Ketua Umum DPP Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh.